Sebagai guru yang ditugaskan oleh Kemendikbud, tentu membuat ekspektasi guru lokal dan masyarakat menjadi tinggi. Guru SM-3T dianggap mumpuni dan mau tidak mau tidak hanya tahu kondisi itu saja, tapi juga harus mencari formula menuntaskan permasalahan tersebut.Â
Rekan-rekan yang ditempatkan di Papua misalnya, yang mengemukakan pengakuan bahwa sepanjang satu tahun penugasan ada pula yang tidak pernah bertemu dengan kepala sekolah.Â
Merekalah yang menjadi pioneer berjalannya program-program sekolah dan menggantikan peran kepala sekolah. Apakah ini bisa terjadi di sekolah perkotaan? Saya rasa tidak.
Memperluas networking
Ketika kita datang di suatu tempat yang baru, yang perlu kita lakukan adalah mempelajari budayanya. Salah satu sumber informasi budaya yang sangat penting adalah masyarakat setempat.Â
Sebagai seorang guru, kita akan menemui banyak orang-orang baru. Mulai dari Bupati, kepala dinas, kepala desa, ketua adat, kepala sekolah, sampai pada kelompok masyarakat.
Tak sedikit diantara guru SM-3T ini yang tetap berhubungan dengan orang-orang di penempatan, sekalipun sudah terpisah jauh. Bahkan ada pula yang merambah kerjasama di luar bidang pendidikan, misalnya berdagang.
Menjelajah potensi wisata
Tidak dipungkiri, Indonesia memiliki alam geografis yang mengagumkan, termasuk wisata yang berdekatan dengan daerah penugasan SM-3T. Bagi teman-teman di ujung Aceh mungkin tak boleh melewatkan kesempatan mengunjungi titik 0 kilometer di Sabang. Pulau Kalimantan dengan sungai-sungai besarnya yang mempesona.Â
Di Nusa Tenggara Timur (NTT) tak lengkap jika tidak menengok situs dunia Pulau Komodo atau Danau Kelimutu. Bagaimana dengan Sulawesi? Sulawesi memiliki pantai-pantai yang masih sangat asri, tentu saja dengan ombak yang relatif tenang, sama halnya pantai-pantai di Kepulauan Maluku. Papua tidak pernah kalah, mereka selalu membawa cerita tentang Raja Ampat yang megah.
Program SM-3T memberikan keuntungan bagi guru-guru muda berpetualang menjelajahi tempat-tempat wisata itu dengan lebih terjangkau.Â