Mohon tunggu...
triutari
triutari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Kesmas ter-cool yang pernah kamu lihat

Mahasiswa semester tiga kesehatan masyarakat yang sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sudut Pandang

14 Desember 2024   11:48 Diperbarui: 14 Desember 2024   11:48 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tong Sampah (Sumber:Dephositofoto)

Sesekali, aku merasa ingin hidup seperti manusia---yang merdeka dalam memilih. Tetapi kemudian, aku pernah melihat seseorang menangis mengutuk kehidupannya yang membuatku terkadang urung memimpikannya. 

Malam itu, Mat keluar dari tubuhku dengan membawa sepotong roti kering bekas gigitan. Ia terbatuk-batuk saat menyapaku. "Aku hanya dapat sepotong roti, hanya ini! Bagaimana cara membaginya dengan keluargaku yang banyak?" keluhnya sambil memegang rotinya yang rapuh. Tikus beranak banyak itu melanjutkan, "Jika begini terus, anak dan istriku bisa mati kelaparan. Yang parah, Si Bungsu bisa kurang nutrisi. Mereka banyak, kau tahu, banyak sekali!" Ironi terasa menamparku, bagaimana Mat menjadi gambaran wajah penduduk yang gemar membuat anak dari suatu negara berkembang yang terjepit di garis kemiskinan. 

"Kau berusaha lagi, Mat. Siapa tahu masih ada rezeki untukmu," saranku. Namun, tikus itu menggeleng. "Aku sudah berusaha sejak  kemarin malam," katanya sambil tersenyum lelah. Aku bisa merasakan keputusasaan dalam suaranya. 

Aku memandangi punggung Mat yang mengecil dari pandanganku dengan perasaan asing, semacam iba, sekaligus perasaan tak berdaya yang sudah sering kurasakan. Aku tong sampah, tugasku hanya menampung apa yang dibuang. Bagaimana aku bisa mengerti arti kelurga bagi Mat? Meskipun sedikit  terbayang beban berat yang dipikulnya seorang diri di usianya yang kini sudah tidak muda lagi. Tetapi bagi Mat, tikus kecil beranak banyak itu tahu bahwa perannya sebagai ayah tidak mengenal batas usia demi keluarganya. 

Aku  melihat manusia bertubuh tegap, tinggi, bersih, dan wangi berdiri sedikit lama di depanku setelah Mat beranjak. Pandangannya tajam, tetapi lelaki itu tidak bisa menyembunyikan lelah di sorot matanya. Pria itu menghela napas, lalu kemudian duduk di ujung bangku di sebelahku setelah ia melemparkan sesuatu seperti karet balon yang penuh dengan cairan kental dari kantung kiri celananya. 

Lalu, ponsel berlogo apel tergigit itu dikeluarkan dari kantung celana kanannya bersamaan dengan suara getar yang berbunyi. Kuperhatikan dengan seksama suara anak kecil yang keluar dari benda tipis itu. Angin menyapaku bersamaan dengan dedaunan kering yang berkumpul di bawah, suaranya yang dingin dan sinis melemahkan indera pendengaranku dari percakapan mereka. 

"Nanti Papa pulang, ya, Sayang," ucapnya samar kudengar. 

Pria itu mengusap wajahnya dengan gusar setelah benda itu dimatikan, lalu tanpa aba-aba menendangku keras sehingga mengeluarkan berbagai macam isi perutku. Lalu, ia pergi meninggalkanku yang kesusahan, menunggu seseorang yang mau mengulurkan bantuan. Untungnya, seseorang berseragam hijau membantuku untuk berdiri, tak hanya itu dia juga memunguti isi tubuhku sehingga lega aku dapatkan. 

Keesokannya, Mat tidak datang. Lalu, dua hari setelahnya pun ia tidak lagi mengais di dekatku. Sempat khawatir memikirkannya, mungkinkah sesuatu terjadi kepada Mat? Kekhawatiranku sirna ketika angin menyapaku dengan suara yang tidak begitu dingin, bahkan kurasakan hangat. 

"Ada apa? Kau nampak bahagia hari ini?" tanyaku pada angin. Ia melirikku lalu berhenti sambil berkata di sebelahku. "Mat sudah mendapatkan tempat makanan yang layak," lanjutnya. 

"Benarkah?" tanyaku tak percaya. 

Angin mengangguk mengiyakan, lalu pergi meninggalkanku yang penuh dengan pertanyaan. Meski lega, hatiku tidak benar-benar sepenuhnya tenang. Meskipun banyak makanan yang terbuang di luar sana, aku belum bisa memastikan ada rezeki Mat di antara yang terbuang itu.

Malam itu, Mat menemuiku sambil membawa banyak makanan. Dengan langkah yang terburu-buru, ia sempat bercerita. Katanya, ketika ia sedang mengeluh soal makanan, ia tak sengaja melihat sebuah rumah besar di ujung jalan sana. Halamannya bersih, tetapi di tempat sampahnya ada banyak sekali makanan yang terbuang. Mat menjelaskan dengan sangat detail, tanpa melewatkan sedikit pun. "Kau tahu, semudah apa aku menemukan makanan di sana?" tanyanya. Aku menggeleng. "Semudah aku membuat anak," katanya tertawa sementara aku  hanya terdiam.

Keesokan harinya, aku dipindahkan oleh petugas kebersihan. Mereka seperti Tuhan bagi benda sepertiku, karena seperti undian, nasibku ditentukan oleh mereka. Dibawa, dilempar, dan diletakkan di mana saja tanpa kasihan. Kadang di taman kota, kadang di gang kota yang gelap, terkadang, jika beruntung, diletakkan di rumah keluarga seperti saat ini. Nasib membawaku ke rumah besar itu, di depannya dua pilar putih menopang dengan keangkuhannya. Di halaman, rumput terpangkas dengan sempurna. Di depannya, dua mobil  hitam terparkir rapih seolah menegaskan keagungan pemiliknya. Aku melihat pria yang datang tempo hari itu bersama seorang anak perempuan yang ia gendong setelah pintu rumah itu terbuka. Seorang wanita cantik dengan gaun di atas lutut turut menemani pria itu masuk ke dalam mobil. Namun yang paling mengesankan adalah bagaimana udara di tempat itu yang segar berbau kemewahan, kontras sekali dengan debu jalanan tempatku hidup dan Mat mengais makanan.

Tak lama setelah itu, pelayan membawa sekantong kresek hitam dan tanpa rasa sayang melemparkannya ke arahku. Aku dibuat takjub dengan apa yang aku dapat ... makanan untuk Mat. Hidup selalu seperti itu; sebab, karena punya pilihan, kita bisa membuang, sementara di takdir yang lain, hanya bisa memilih apa yang sudah terbuang. 

Angin menyapaku ketika malam tiba. Keluarga itu telah berkumpul kembali keperaduannya sejak jam lima, kemudian istri dan anak itu pergi memakai salah satu mobil mereka, sementara mobil yang lain datang. Pria yang baru melepas anak dan istrinya dengan hangat kini menyambut wanita lain dengan ramah yang tidak dibuat-buat, seolah memang sudah biasa. Aku menghembuskan napas dengan berat; sebagai tong sampah, adakalanya juga ingin hidup sebagai manusia supaya bisa bercerita tentang apa yang aku lihat dengan suara yang lantang. Pemandangan pagi yang menyejukkan itu berganti menjadi pemandangan panas ketika kedua insan tanpa ikatan itu tengah berciuman. 

Aku ini hanya kotak sampah, saksi bisu bagi yang ditinggalkan, yang dilupakan, yang dianggap tidak berati. Tetapi andai saja bisa berbicara aku ingin mengucapkan satu hal: betapa semua hal yang kulihat dan kurasakan ini mempunyai makna. Betapa sederhananya hidup  ini pun adalah anugerah, bahkan untuk makhluk keras seperti batu dan sehelai sampah. Namun, sekarang perasaanku berubah, jika diizinkan berbicaara  pun aku akan memilih diam, karena sejak kapan suara ini didengar dan dibutuhkan kecuali saat akan pemungutan suara?

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun