"Benarkah?" tanyaku tak percaya.Â
Angin mengangguk mengiyakan, lalu pergi meninggalkanku yang penuh dengan pertanyaan. Meski lega, hatiku tidak benar-benar sepenuhnya tenang. Meskipun banyak makanan yang terbuang di luar sana, aku belum bisa memastikan ada rezeki Mat di antara yang terbuang itu.
Malam itu, Mat menemuiku sambil membawa banyak makanan. Dengan langkah yang terburu-buru, ia sempat bercerita. Katanya, ketika ia sedang mengeluh soal makanan, ia tak sengaja melihat sebuah rumah besar di ujung jalan sana. Halamannya bersih, tetapi di tempat sampahnya ada banyak sekali makanan yang terbuang. Mat menjelaskan dengan sangat detail, tanpa melewatkan sedikit pun. "Kau tahu, semudah apa aku menemukan makanan di sana?" tanyanya. Aku menggeleng. "Semudah aku membuat anak," katanya tertawa sementara aku  hanya terdiam.
Keesokan harinya, aku dipindahkan oleh petugas kebersihan. Mereka seperti Tuhan bagi benda sepertiku, karena seperti undian, nasibku ditentukan oleh mereka. Dibawa, dilempar, dan diletakkan di mana saja tanpa kasihan. Kadang di taman kota, kadang di gang kota yang gelap, terkadang, jika beruntung, diletakkan di rumah keluarga seperti saat ini. Nasib membawaku ke rumah besar itu, di depannya dua pilar putih menopang dengan keangkuhannya. Di halaman, rumput terpangkas dengan sempurna. Di depannya, dua mobil  hitam terparkir rapih seolah menegaskan keagungan pemiliknya. Aku melihat pria yang datang tempo hari itu bersama seorang anak perempuan yang ia gendong setelah pintu rumah itu terbuka. Seorang wanita cantik dengan gaun di atas lutut turut menemani pria itu masuk ke dalam mobil. Namun yang paling mengesankan adalah bagaimana udara di tempat itu yang segar berbau kemewahan, kontras sekali dengan debu jalanan tempatku hidup dan Mat mengais makanan.
Tak lama setelah itu, pelayan membawa sekantong kresek hitam dan tanpa rasa sayang melemparkannya ke arahku. Aku dibuat takjub dengan apa yang aku dapat ... makanan untuk Mat. Hidup selalu seperti itu; sebab, karena punya pilihan, kita bisa membuang, sementara di takdir yang lain, hanya bisa memilih apa yang sudah terbuang.Â
Angin menyapaku ketika malam tiba. Keluarga itu telah berkumpul kembali keperaduannya sejak jam lima, kemudian istri dan anak itu pergi memakai salah satu mobil mereka, sementara mobil yang lain datang. Pria yang baru melepas anak dan istrinya dengan hangat kini menyambut wanita lain dengan ramah yang tidak dibuat-buat, seolah memang sudah biasa. Aku menghembuskan napas dengan berat; sebagai tong sampah, adakalanya juga ingin hidup sebagai manusia supaya bisa bercerita tentang apa yang aku lihat dengan suara yang lantang. Pemandangan pagi yang menyejukkan itu berganti menjadi pemandangan panas ketika kedua insan tanpa ikatan itu tengah berciuman.Â
Aku ini hanya kotak sampah, saksi bisu bagi yang ditinggalkan, yang dilupakan, yang dianggap tidak berati. Tetapi andai saja bisa berbicara aku ingin mengucapkan satu hal: betapa semua hal yang kulihat dan kurasakan ini mempunyai makna. Betapa sederhananya hidup  ini pun adalah anugerah, bahkan untuk makhluk keras seperti batu dan sehelai sampah. Namun, sekarang perasaanku berubah, jika diizinkan berbicaara  pun aku akan memilih diam, karena sejak kapan suara ini didengar dan dibutuhkan kecuali saat akan pemungutan suara?
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H