Sesekali, aku merasa ingin hidup seperti manusia---yang merdeka dalam memilih. Tetapi kemudian, aku pernah melihat seseorang menangis mengutuk kehidupannya yang membuatku terkadang urung memimpikannya.Â
Malam itu, Mat keluar dari tubuhku dengan membawa sepotong roti kering bekas gigitan. Ia terbatuk-batuk saat menyapaku. "Aku hanya dapat sepotong roti, hanya ini! Bagaimana cara membaginya dengan keluargaku yang banyak?" keluhnya sambil memegang rotinya yang rapuh. Tikus beranak banyak itu melanjutkan, "Jika begini terus, anak dan istriku bisa mati kelaparan. Yang parah, Si Bungsu bisa kurang nutrisi. Mereka banyak, kau tahu, banyak sekali!" Ironi terasa menamparku, bagaimana Mat menjadi gambaran wajah penduduk yang gemar membuat anak dari suatu negara berkembang yang terjepit di garis kemiskinan.Â
"Kau berusaha lagi, Mat. Siapa tahu masih ada rezeki untukmu," saranku. Namun, tikus itu menggeleng. "Aku sudah berusaha sejak  kemarin malam," katanya sambil tersenyum lelah. Aku bisa merasakan keputusasaan dalam suaranya.Â
Aku memandangi punggung Mat yang mengecil dari pandanganku dengan perasaan asing, semacam iba, sekaligus perasaan tak berdaya yang sudah sering kurasakan. Aku tong sampah, tugasku hanya menampung apa yang dibuang. Bagaimana aku bisa mengerti arti kelurga bagi Mat? Meskipun sedikit  terbayang beban berat yang dipikulnya seorang diri di usianya yang kini sudah tidak muda lagi. Tetapi bagi Mat, tikus kecil beranak banyak itu tahu bahwa perannya sebagai ayah tidak mengenal batas usia demi keluarganya.Â
Aku  melihat manusia bertubuh tegap, tinggi, bersih, dan wangi berdiri sedikit lama di depanku setelah Mat beranjak. Pandangannya tajam, tetapi lelaki itu tidak bisa menyembunyikan lelah di sorot matanya. Pria itu menghela napas, lalu kemudian duduk di ujung bangku di sebelahku setelah ia melemparkan sesuatu seperti karet balon yang penuh dengan cairan kental dari kantung kiri celananya.Â
Lalu, ponsel berlogo apel tergigit itu dikeluarkan dari kantung celana kanannya bersamaan dengan suara getar yang berbunyi. Kuperhatikan dengan seksama suara anak kecil yang keluar dari benda tipis itu. Angin menyapaku bersamaan dengan dedaunan kering yang berkumpul di bawah, suaranya yang dingin dan sinis melemahkan indera pendengaranku dari percakapan mereka.Â
"Nanti Papa pulang, ya, Sayang," ucapnya samar kudengar.Â
Pria itu mengusap wajahnya dengan gusar setelah benda itu dimatikan, lalu tanpa aba-aba menendangku keras sehingga mengeluarkan berbagai macam isi perutku. Lalu, ia pergi meninggalkanku yang kesusahan, menunggu seseorang yang mau mengulurkan bantuan. Untungnya, seseorang berseragam hijau membantuku untuk berdiri, tak hanya itu dia juga memunguti isi tubuhku sehingga lega aku dapatkan.Â
Keesokannya, Mat tidak datang. Lalu, dua hari setelahnya pun ia tidak lagi mengais di dekatku. Sempat khawatir memikirkannya, mungkinkah sesuatu terjadi kepada Mat? Kekhawatiranku sirna ketika angin menyapaku dengan suara yang tidak begitu dingin, bahkan kurasakan hangat.Â
"Ada apa? Kau nampak bahagia hari ini?" tanyaku pada angin. Ia melirikku lalu berhenti sambil berkata di sebelahku. "Mat sudah mendapatkan tempat makanan yang layak," lanjutnya.Â