Mohon tunggu...
Fery Mulyana
Fery Mulyana Mohon Tunggu... Administrasi - Entrepreneur

Posibilis - Non Delusional

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kemarin

29 April 2024   15:00 Diperbarui: 29 April 2024   15:02 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Model: B. Shivka C - Dokumen Pribadi

Gelora cita-cita menjadi tuhan segera ditampik oleh kedua orang tua ku. "Pamali", katanya, itu adalah hal yang tidak boleh dicita-citakan bahkan tabu untuk dibicarakan. Ya.. typical orangtua saat itu. Melarang tanpa memberikan penjelasan.

Ada saat di mana aku sangat Bahagia dan terpatri dalam ingatanku sampai sekarang. Dimana kami, aku dan kakak laki-laki saya dibelikan celana dalam. Kami memang tidak punya celana dalam, bahkan cenderung aneh bagiku untuk memakai celana dalam. Kami berbagi hari untuk menggenakan celana dalam ungu tersebut. Aku juga sering memamerkannya ke teman-teman dikampung bahwa aku memakai celana dalam. Kekaguman teman-teman kampung ku menjadi kebanggaan yang tidak terhingga bagiku. Suatu hari, kami kehilangan celana dalam kami, celana dalam kami hilang entah kemana. Ibu biasanya mengeringkan pakaian yang baru dicucinya di pagar depan rumah kami. Tapi entah kenapa, berhari-hari, berminggu-minggu kami kehilangan celana dalam ungu kami satu-satunya. Kamipun tidak pernah memakai celana dalam lagi hingga beberapa bulan kedepan sampai suatu hari kami melihat tetangga kami, seorang anak perempuan besar tetangga depan rumah kami, menjemur celana dalam ungu, persis seperti celana dalam kami yang telah hilang berbulan lalu. Rupanya, celana dalam kami memang  diambil dan tentu saja dipakai oleh anak perempuan yang berbadan besar itu. Perlu sedikit perjuangan bagi kami untuk memastikan dan merebut kembali celana dalam itu. Tapi untunglah kami berhasil dan kembali bisa memakainya walaupun saat itu, celana dalam itu telah sedemikian lusuh dengan karet pinggang yang melebar.

Setelah kakekku meninggal sekitar tahun 1987, beliau meninggalkan banyak buku-buku pengobatan berbahasa mandarin. Mulailah ayahku mempelajarinya dan berganti profesi menjadi pengobat tradisonal atau lebih popular dengan sebutan sinshe. Seluruh keluarga ikut sibuk dengan profesi baru ayahku. Karena selain kami harus membeli bahan-bahan obat yang diresepkan ayahku, juga harus menggiling bahan-bahan obat tersebut menjadi serbuk seduh untuk jamu atau bentuk lainnya.

Kami memiliki toko bahan obat langganan yang terletak dalam sebuah gang kecil di pasar. Ko Aching pemiliknya. Seringkali ibuku pulang pergi berkali-kali dalam satu hari untuk membeli bahan obat di toko itu, maklumlah saat itu memiliki telpon atau fax adalah hal yang sangat jarang. Berkali-kali juga aku disuruh ibuku untuk menemaninya naik angkot dan berjalan sekitar 1 km pergi menerjang basahnya hujan atau panasnya terik matahari dan beceknya pasar untuk sampai ke toko ko Aching.

Tapi tak disangka, toko dengan bau khas obat tradisional bercampur dengan bau ikan asin toko sebelahnya menjadi penyemangat bagiku untuk lebih giat berolah raga. Tiap kali aku sampai di toko obat itu mataku biasanya langsung menjelajahi berbagai gambar laki-laki yang memamerkan otot-ototnya yang menghiasi kemasan jamu-jamu yang terpampang banyak sekali di etalase toko. Aku ingin berbadan seperti orang yang menjadi cover kemasan jamu itu, pikirku, badanku akan menjadi besar dan kuat jika meminum jamu yang berlabel "Obat Kuat" itu. Hasilnya, aku tak pernah dibelikan jamu kuat oleh ibuku, sekalipun aku merengek memohon tiap kali kami berkunjung ke toko ko Aching.

Masa remaja menuju dewasa ku pun sebenernya tak kalah seru. Aku pernah ditinggal hamil oleh pacar yang aku pacari 9 tahun, hingga ditinggal pacar yang lain meninggal karena leukimia. Aku sekolah sampai tingkat S2 di universitas terkemuka, sempat bekerja dan belajar di luar negeri dan kini aku bahagia karena menikahi orang yang kini menjadi istriku dan telah memberikan keturunan dua orang putri yang cantik-cantik. Cerita mengenai ini mungkin akan aku tulis dilain waktu.

Beberapa minggu sebelum tulisan ini aku buat, aku sempat bertaruh nyawa karena penyakit empyema. Penyakit yang mengharuskan menyedot cairan nanah yang ada di pembungkus paru-paru ku. Sembilan hari aku di ICU dengan total hari perawatan di berbagai rumah sakit selama 42 hari. Tindakan penyedotan cairan dari dalam tubuh ternyata sempat membuat nafas dan jantungku terhenti. Sungguh pengalaman ini menguji seluruh aspek dalam kehidupanku. Aku tersadar dengan berbagai peralatan medis dan selang yang menempel di tubuhku. Dengan teknologi dan ilmu pengetahuan aku tetap hidup.

Hidup memang misterius, tapi tak semesterius individu yang mendatangkan tuhan dalam dirinya, misterius karena mungkin menuntut kita menghadapi hidup lebih serius. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di hari esok, maka jika hidup adalah pertandingan, setidaknya, mari kita menangkan hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun