Kemarin adalah senja yang dibungkus hangat matahari, dibasahi hujan dan kemudian diinjak-injak penari kehidupan.
Â
Aku terlahir akhir tahun 70-an dari keluarga biasa saja, bahkan bisa dibilang dengan tingkat ekonomi yang pas-pasan atau bisa dikatakan cukup kekurangan. Lahir di tengah keluarga di kampung dengan tiga bersaudara, dan aku anak yang ketiga.
Ayahku seorang keturunan Chinese generasi kedua, sedangkan ibuku Chinese-Sunda generasi ketiga yang sudah sangat kental dengan kehidupan budaya pedesaan suku Sunda.
Lahir di rumah yang berlantaikan tanah, kamar dengan pintu kain menyerupai gorden lusuh, tanpa wc. Hanya sumur pompa tangan, satu-satunya fasilitas yang biasanya kami gunakan untuk sekedar minum atau cuci piring.
Untuk buang hajat atau mandi kami harus pergi jauh kebelakang rumah kami, dimana ibu kami biasa mencuci baju dan memandikan kami bertiga.
Pada awal tahun 80-an seingatku, ayahku berprofesi sebagai montir elektronik atau lazimnya disebut tukang service. Keahlian service nya dipelajari sejak awal 60-an. Dengan profesinya, banyak orang yang sengaja datang membawa bermacam pekakas elektonik rusak untuk diperbaiki, hal ini biasanya membuat kami bahagia karena walaupun kami tidak memiliki tv atau radio, kami bisa menikmati peralatan tersebut setidaknya beberapa hari sebelum barang-barang itu kembali ke pemiliknya. Dari sanalah kami mengenal apa itu mesin cuci, kulkas dan perabotan canggih lainnya di masa itu.
Selain berprofesi sebagai tukang service, ayahku juga memiliki keahlian akupuntur yang dipelajarinya sekitar akhir tahun70-an. Agak jauh memang switching profesinya, tapi itulah ayahku. Dengan demikian rumah sederhana kami menjadi rumah service electronik sekaligus praktek akupuntur.
Saat itu aku paling dekat dengan kakak laki-laki ku, dia banyak memberikan warna dalam kehidupan anak kecil lusuh bermata sipit satu-satunya ini di kampung tempat aku dilahirkan. Kakak perempuan ku mulai beranjak remaja ketika aku mulai mengingat masa kecil ku ini.
Selayaknya anak kecil masa itu, tidak ada gadget, tidak ada medsos, permainan dan kesenangan kami adalah main layang-layang dan kelereng. Cita-cita ku menjadi polisi atau tantara, sosok yang terlihat gagah dimata kami, anak kecil era pertengahan tahun 80-an. Tapi suatu hari kegagahan dan keperkasaan polisi atau tentara mulai rapuh dalam pikiran ku ketika kakakku mulai memperkenalkan konsep sederhana tentang Tuhan yang mungkin baru dia dapatkan dari guru ngaji atau guru agamanya di sekolah. Maka, dengan cerita keperkasaan, kesaktian dan kekuatan serta kegagahan tuhan, aku serta merta merubah cita-citaku untuk menjadi tuhan. Cita-citaku menjadi tuhan bukan tanpa sebab yang rumit, bagiku, aku tentu ingin menjadi orang yang lebih gagah dari tentara dan lebih kuat dari superman. That's it.. nothing else.