Suara adzan magrib berkumandang tanda waktunya sholat sekaligus waktunya berbuka puasa, hari itu hari terakhir bulan ramadhan, setidaknya itu yang aku simpulkan dan yakini dari berita sore tadi waktu tv mulai menyiarkan sidang isbat tahun itu.
Aku tergopoh menghampiri ruang rawat inap di pojokan rumah sakit, terlihat dari luar bayang sosok laki-laki tua menyantap makanan yang kami siapkan tadi sebelum magrib. Â Makannya pelan, maklumlah dia telah menginjak usia 70 tahun, raut mukanya terpancar keletihan, tapi rambutnya tetap rapi, perawakan sedang, tegap tapi bukan typical orang yang suka berolah raga, cuma memang untuk usianya yang senja, beliau ini tergolong kuat dan sehat. Makanan yang disantapnya juga tergolong tidak seperti biasanya, alias makan di wadah styrofoam seadanya, seperti lazimnya orang yang menunggu di rumah sakit.
Dalam remang senja dan suasana kamar yang redup, gordyn pun belum ditutup rapat, begitupun pintu terbuka sedikit, aku masuk kedalam, bingung, darimana harus memulai, hati menerka-nerka apa kiranya responnya jika aku berkata itu, suasana bathin ku berkecamuk, entahlah, berat aku menyampaikan, takut salah. Tapi sepertinya aku yakin, apa yang akan aku sampaikan adalah sesuatu yang benar, setidaknya akalku berkata demikian.
Sedikit aku memulai menyapaikan kata..Â
"pih.. kataku sedikit bergetar". Dia diam tak menjawab tetap asik dengan makannya yang disantap. kembali aku mencoba berkata lagi, kali ini agak panjang aku menyapa.
"pih... kayaknya.. kita udah aja ya.." kataku sambil masih bingung bagaimana aku harus menyampaikan.Â
papih terdiam, sedikit dia melirikkan pandangannya padaku. matanya sedikit memincing, seolah mencari tahu apa maksud omongan ku, paham dengan maksud pandangan matanya akupun berusaha menjelaskan.
"pih.. " kataku pada ayah ku itu.Â
"nafasnya sudah dipompa pake tangan, seolah-olah dia bernafas, tapi kayaknya sudah gak ada pih.. " jelasku sebisa mungkin menahan rasa emosional dalam dada. papi terdiam, dia simpan makanan dalam styrofoam yang sedang dia santap ke atas meja dekat TV.
Dia tarik kacamata tebalnya ke atas mendekati dahi, dia angkat kedua tangannya, telapaknya menutup mata yang mulai berair, menahan beban besar untuk mencurahkan rasa sedih yang berat menimpa dadanya, sayup terdengar tangis lirih dari mulutnya, aku terdiam, setidaknya ini adalah kali kedua melihat beliau menangis sedih, itupun sudah lama sekali, waktu itu dia menangis karena melihat aku tergolek lemas meratapi nasib buruk yang pernah menimpaku.
"semuanya sudah takdir pih.. sebenernya kita semua menuju kesana, kita antri, ini hanya masalah waktu saja, dia sudah lepas dari sakit, dia bukan tiada tapi justru ada, bahkan hidup disisi allah.." Â Ucapku sebisa-bisa menenangkan dirinya sambil berusaha tetap tegar melihat pemandangan yang ada didepanku.
"kita pulang aja ya.." Â sambungku.. papih kembali terdiam. Â sayup suara takbir mulai terdengar, tanda besok adalah hari lebaran, malam itu adalah malam yang berat yang pernah aku alami, tapi aku sadar, harus ada orang yang tegar menghadapi suasana, kalau tidak begitu, kuatir tidak beres, atau setidaknya cukup tegar untuk membereskan dan mengatur segala hal, mulai administrasi rumah sakit sampai dengan membawa jenasah ke kampung halaman ku.
" Ya udah urus aja.". terdengar papih menimpaliku.Â
"tapi pih.. " sambutku, "gimana si mamih?" Â tanyaku.
Mamih orang yang paling setia menemani kakak ku, setelah suami terakhir kakak ku pergi tanpa kejelasan, beliaulah yang setia terus mendampingi kakak ku, selama di rumah sakit, di rumah, bahkan ke tanah suci untuk menunaikan ibadah umroh,  kala  itu kakak ku tiba-tiba menyampaikan keinginannya untuk umroh.
"sekaliii... aja setidaknya seumur hidup... " kata mamih yang menirukan kalimat kakak ku ketika menyampaikan harapannya dihadapanku. Â Aku berusaha memenuhi keinginannya, setidaknya memang itu adalah mimpi setiap muslim, apalagi sakit ginjal kakak ku tidak mungkin untuk bisa disembuhkan.. dalam pikiran dan pemahaman ku. Semoga menjadi bekal yang baik, karena usia adalah rahasia ilahi.
Mamih memang hebat. gambaran kasih ibu sepanjang jalan, beliau tidak pernah "melepas" kakak ku selama sakit, kurang lebih setidaknya dalam waktu 1 tahun terakhir ini, pernah aku menghampiri beliau yang sedang beristirahat dalam kamarnya, aku melihat rambutnya memutih. surprised bagi ku, karena aku tidak pernah melihat hal itu sebelumnya, entah selama ini rambutnya memang masih hitam dan kemudian memutih atau memang sudah putih tapi selalu disemir dengan warna hitam? Setidaknya, hal itu juga membuat aku terhenyak, betapa beliau tidak sempat mendandani diri, papih berkelakar waktu itu..Â
"nah geus nini-nini" Â (sudah nenek-nenek).. katanya ketika aku berkata "mih.. rambutnya putih".. henyakku terhenti.
"rambut putih itu tandanya letih, tapi juga tanda lambang kebijaksanaan", tambahku... mamih hanya tersenyum  kecil menanggapi celoteh receh ku.
Seharian ini mamih tak mau lepas, ICU rumah sakit cikini pun menjadi bukti sekaligus ajang beliau meluapkan emosi dan rasa sedih, menunggui neneng kakak perempuanku satu-satunya, mamih tidak mau melepas harap, seolah menuduh dokter yang menangani kakak ku menyembunyikan kemampuannya untuk menyembuhkannya. tak henti-hentinya dia pingsan tak sadarkan diri, menangis tersedu melihat kondisi kakak ku  yang sepertinya mulai pasrah dengan semua ini, hal ini pula yang menjadi halangan bagiku untuk memisahkan kebersamaan mereka. apa mungkin mamih mau melepaskan neneng yang sebenarnya menurutku sudah tiada saat itu.Â
"Suruh aja kesini, bilang  disuruh papih.."  papih menimpali memecah waktu yang tadi sejenak bagai terhenti, seolah paham arah pertanyaan ku , sekilas beliau  terlihat mulai bisa mengendalikan dirinya.
Aku bergegas menuju ruang ICU, aku sampaikan pesan papih ke mamih.. mamih yang tadinya terfokus meratapi sosok yang tergeletak didepannya mulai beringsut, kaget mendengar kabar papih memintanya untuk kembali ke ruang perawatan yang dengan sengaja kubuat drama seolah ada sesuatu yang sangat penting terjadi pada dirinya.
"ada apa?" Katanya. "gak tau" kataku.. "pokoknya papih manggil mamih"... tak lama mamih akan meninggalkan kami bertiga, aku sampaikan ke rony anak kedua kakak ku , sambil berbisik," beresin kamar hotel kita pulang sekarang", angga, Â "kamu sama saya", kataku ke anak pertama dari kakakku.
Tinggallah kami berdua, dokter jaga sudah mengerti maksud kedatanganku.
"sudah aja dok.. sudah cukup.." kataku.Â
"baik kalau begitu, saya putuskan pada tanggal dan waktu sekarang ya.. " kata dokter menimpaliku..Â
"iya dok" Â kataku.. "siapa yang mau tanda tangan?" Â
"biar saya aja dok, eh.. ini ada anaknya biar dia aja yang tanda tangan", kataku. Dokter dan perawat mulai melepas semua peralatan medis yang menempel di badan kakak ku, terlihat wajah sendu dan tenang, tak lagi terlihat rasa sakit, tak ada lagi terdengar suara ringisan menahan perih, Â bekas linangan air mata pun terlihat di pipi, menetes dari kedua kelopak mata kakak ku yang telah tertutup, itulah masa terakhir ku memandang jelas wajah kakak ku.
"pileuleuyan.. " kataku dalam hati. Â kertas pun ditanda tangani angga entah apa isinya, seraya dokter menyampaikan "nanti saya hubungi ke ruang perawatan, bapak tunggu aja disana. nanti, jenasahnya kami bawa ke ruang jenasah".
Bergegas kami keluar ruang ICU. tanggis angga pun meledak di depan ruangan. aku peluk tubuh kecilnya seraya menyuruhnya menarik nafas panjang agar bisa mengendalikan kecamuk dalam dirinya, walaupun mungkin kecamuk hati ku tak jauh beda dengan dirinya.
Kami menuju sukabumi malam itu juga, saya dan angga bersama dalam mobil jenasah, sedangkan yang lain, papih, mamih, roni, dan seorang teman menyopiri mereka semuanya dalam satu mobil yang lain. Mereka kurang lebih satu jam berangkat lebih awal dibanding mobil jenasah yang kami tumpangi. Mamih, khususnya tidak mengetahui kondisi bahwa neneng telah tiada... Â aku berusaha untuk menyembunyikan hal ini di depan mamih, kuatir beliau tidak bisa mengendalikan kesedihannya, biar bagaimanapun aku tidak mau mamih berbuat yang tidak-tidak selama perjalanan menuju sukabumi, kasihan juga papih jika harus menangani luapan kesedihan mamih di perjalanan.
Aku berhasil melewati itu semua, mengantar ke ruang jenasah sepanjang lorong rumah sakit, rasa kuatir muncul jika tiba-tiba mobil yang ditumpangi mamih dan papih lewat di pinggir aku yang sedang mendorong ranjang jenasah almahummah kakak ku, apa yang mungkin terjadi jika mamih melihat itu semua. Takdir... siapa yang tahu... aku menulis memoar ini dengan banyak helaan nafas panjang, mengingat-ngingat detil  yang membekaskan kesedihan tak berujung dalam hati, berat...  kadang muncul rasa cemburu, ingin rasanya aku seperti kakak ku, melewati seluruh hidupnya bersama kedua orang tua sampai akhir hayat, dipeluk, dicium, menerima kasih mereka yang tulus... dari lahir sampai liang lahat... ingin rasanya untuk tidak pernah merasakan kehilangan orang yang dicintai.. ah... hidup tidak boleh egois..
Pernahkah kita berpikir bagaimana rasanya menjadi orang yang ditinggalkan? Sakit... tidak ada orang tua yang mau ditinggalkan mati anaknya... maka, selama waktu ini masih berputar, berbaktilah  tanpa batas, berjuanglah... bahkan hanya jika untuk dirimu sendiripun tanpa membaginya dengan mereka, akan tetap membuat mereka bangga, setidaknya itu yang menjadi acuan hidup ku seiring pengalaman panjang menjadi saksi betapa kedua orang tua ku tulus menyayangi kakak ku sampai dengan akhir hayatnya.
Selamat Ulang Tahun Kakak Ku, kami menyayangi mu tapi Allah lebih menyayangimu, beristirahatlah dengan  tenang di alam sana...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H