"ada apa?" Katanya. "gak tau" kataku.. "pokoknya papih manggil mamih"... tak lama mamih akan meninggalkan kami bertiga, aku sampaikan ke rony anak kedua kakak ku , sambil berbisik," beresin kamar hotel kita pulang sekarang", angga, Â "kamu sama saya", kataku ke anak pertama dari kakakku.
Tinggallah kami berdua, dokter jaga sudah mengerti maksud kedatanganku.
"sudah aja dok.. sudah cukup.." kataku.Â
"baik kalau begitu, saya putuskan pada tanggal dan waktu sekarang ya.. " kata dokter menimpaliku..Â
"iya dok" Â kataku.. "siapa yang mau tanda tangan?" Â
"biar saya aja dok, eh.. ini ada anaknya biar dia aja yang tanda tangan", kataku. Dokter dan perawat mulai melepas semua peralatan medis yang menempel di badan kakak ku, terlihat wajah sendu dan tenang, tak lagi terlihat rasa sakit, tak ada lagi terdengar suara ringisan menahan perih, Â bekas linangan air mata pun terlihat di pipi, menetes dari kedua kelopak mata kakak ku yang telah tertutup, itulah masa terakhir ku memandang jelas wajah kakak ku.
"pileuleuyan.. " kataku dalam hati. Â kertas pun ditanda tangani angga entah apa isinya, seraya dokter menyampaikan "nanti saya hubungi ke ruang perawatan, bapak tunggu aja disana. nanti, jenasahnya kami bawa ke ruang jenasah".
Bergegas kami keluar ruang ICU. tanggis angga pun meledak di depan ruangan. aku peluk tubuh kecilnya seraya menyuruhnya menarik nafas panjang agar bisa mengendalikan kecamuk dalam dirinya, walaupun mungkin kecamuk hati ku tak jauh beda dengan dirinya.
Kami menuju sukabumi malam itu juga, saya dan angga bersama dalam mobil jenasah, sedangkan yang lain, papih, mamih, roni, dan seorang teman menyopiri mereka semuanya dalam satu mobil yang lain. Mereka kurang lebih satu jam berangkat lebih awal dibanding mobil jenasah yang kami tumpangi. Mamih, khususnya tidak mengetahui kondisi bahwa neneng telah tiada... Â aku berusaha untuk menyembunyikan hal ini di depan mamih, kuatir beliau tidak bisa mengendalikan kesedihannya, biar bagaimanapun aku tidak mau mamih berbuat yang tidak-tidak selama perjalanan menuju sukabumi, kasihan juga papih jika harus menangani luapan kesedihan mamih di perjalanan.
Aku berhasil melewati itu semua, mengantar ke ruang jenasah sepanjang lorong rumah sakit, rasa kuatir muncul jika tiba-tiba mobil yang ditumpangi mamih dan papih lewat di pinggir aku yang sedang mendorong ranjang jenasah almahummah kakak ku, apa yang mungkin terjadi jika mamih melihat itu semua. Takdir... siapa yang tahu... aku menulis memoar ini dengan banyak helaan nafas panjang, mengingat-ngingat detil  yang membekaskan kesedihan tak berujung dalam hati, berat...  kadang muncul rasa cemburu, ingin rasanya aku seperti kakak ku, melewati seluruh hidupnya bersama kedua orang tua sampai akhir hayat, dipeluk, dicium, menerima kasih mereka yang tulus... dari lahir sampai liang lahat... ingin rasanya untuk tidak pernah merasakan kehilangan orang yang dicintai.. ah... hidup tidak boleh egois..
Pernahkah kita berpikir bagaimana rasanya menjadi orang yang ditinggalkan? Sakit... tidak ada orang tua yang mau ditinggalkan mati anaknya... maka, selama waktu ini masih berputar, berbaktilah  tanpa batas, berjuanglah... bahkan hanya jika untuk dirimu sendiripun tanpa membaginya dengan mereka, akan tetap membuat mereka bangga, setidaknya itu yang menjadi acuan hidup ku seiring pengalaman panjang menjadi saksi betapa kedua orang tua ku tulus menyayangi kakak ku sampai dengan akhir hayatnya.