Mohon tunggu...
Trisya Sonia Ikrimah
Trisya Sonia Ikrimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa Ilmu Keperawatan yang senang berbagi pandangan dan pengalamannya tentang perjalanan hidupnya, khususnya dalam lingkup pembelajarannya sebagai mahasiswa ilmu keperawatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Profesionalisme Perawat dalam Komunikasi Empatis dan Dukungan Psikologis saat Menyampaikan Berita Buruk kepada Pasien dan Keluarga

30 Desember 2024   15:56 Diperbarui: 30 Desember 2024   15:55 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bayangkan saat dimana seorang ibu harus menerima kabar bahwa putranya mengalami kecelakaan serius, atau ketika seorang suami mendengar bahwa istrinya terdiagnosis penyakit terminal. Momen-momen seperti ini menjadi titik balik dalam kehidupan seseorang, dimana dunia seakan berhenti berputar dan emosi yang kompleks membanjiri pikiran (Taylor et al., 2011). Dalam situasi yang penuh ketegangan ini, perawat sering kali menjadi penghubung antara realitas medis yang keras dan kebutuhan emosional pasien serta keluarga. Perawat tidak hanya berperan sebagai pemberi informasi, tetapi juga sebagai pendukung emosional yang memahami betapa beratnya beban yang harus ditanggung oleh penerima berita (Berman et al., 2022).

Interaksi perawat dengan pasien dan keluarga yang jauh lebih tinggi dibandingkan tenaga kesehatan lainnya. Di garis terdepan pelayanan kesehatan, perawat memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan informasi medis yang kompleks dapat dipahami dengan baik oleh pasien dan keluarga (American Nurses Association, 2015). Terlebih lagi, cara penyampaian berita buruk dapat mempengaruhi bagaimana pasien dan keluarga menghadapi situasi sulit tersebut, serta dampaknya terhadap proses penyembuhan dan adaptasi mereka kedepannya. Keterampilan komunikasi empatis yang dimiliki perawat menjadi kunci dalam membantu pasien dan keluarga melewati masa-masa sulit ini dengan lebih baik (Alligood, 2014).

Profesionalisme dalam konteks keperawatan tidak hanya berbicara tentang kompetensi teknis, tetapi juga kemampuan untuk menjalin hubungan terapeutik yang efektif dengan pasien dan keluarga. Komunikasi empatis dalam praktik keperawatan melibatkan kemampuan untuk mendengarkan secara aktif, menggunakan bahasa tubuh yang mendukung, dan memilih kata-kata yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi pasien (Baumann, 2007). Sebagai contoh, seorang perawat yang profesional akan duduk sejajar dengan pasien, menjaga kontak mata yang tepat, dan menggunakan nada suara yang menenangkan saat menyampaikan informasi sensitif. Sikap profesional ini menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi pasien serta keluarga.

Berita buruk seringkali membawa dampak psikologis yang signifikan bagi penerimanya, mulai dari stres akut hingga depresi berkepanjangan. Perawat memiliki peran krusial dalam membantu mengurangi beban psikologis ini melalui pendekatan yang terstruktur dan penuh empati (Harkreader et al., 2007). Teknik-teknik dukungan psikologis seperti validasi emosi - mengakui dan menerima perasaan pasien tanpa menghakimi - serta reassurance - memberikan keyakinan dan rasa aman - menjadi sangat penting dalam proses ini. Perawat juga perlu memahami bahwa setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam merespons berita buruk, dan karenanya pendekatan yang personal sangat diperlukan (Johnson et al., 2019). 

Protokol SPIKES merupakan panduan terstruktur yang dikembangkan untuk membantu tenaga kesehatan menyampaikan berita buruk dengan cara yang efektif dan empatis. SPIKES adalah singkatan dari Setting up (persiapan lingkungan), Perception (persepsi pasien), Invitation (undangan dialog), Knowledge (penyampaian informasi), Emotions (respon emosional), dan Strategy/Summary (strategi dan rangkuman). Metode ini dikembangkan oleh Baile dan rekan-rekannya untuk meningkatkan kualitas komunikasi antara tenaga kesehatan dan pasien (Baile et al., 2020). Penggunaan protokol SPIKES secara konsisten dapat mengurangi tingkat kecemasan pasien saat menerima berita buruk. Pendekatan sistematis ini membantu perawat tetap profesional sambil menunjukkan empati yang tulus. Salah satu elemen penting dari pendekatan SPIKES adalah menunjukkan empati kepada pasien, mengakui dan memverifikasi perasaan mereka, mempelajari bagaimana pasien memahami dan menerima berita buruk, dan memberikan informasi tentang solusi potensial (Kaplan, 2010).

Setting up sebagai langkah pertama protokol SPIKES memerlukan persiapan lingkungan yang tepat dan privat. Perawat perlu memastikan ketersediaan waktu yang cukup untuk diskusi tanpa gangguan. Pemilihan ruangan yang nyaman dan privat memberikan rasa aman bagi pasien dan keluarga. Persiapan mental perawat sendiri juga menjadi bagian penting dari tahap ini (Seifart et al., 2020). Perawat harus mengumpulkan semua informasi yang relevan sebelum memulai pembicaraan.

Perception dan Invitation menjadi tahap krusial dalam memahami kesiapan pasien. Perawat perlu menggali pemahaman awal pasien tentang kondisi kesehatannya. Tingkat kesiapan pasien menentukan seberapa detail informasi yang akan disampaikan. Pasien memiliki hak untuk menentukan seberapa banyak informasi yang ingin mereka terima. Proses ini membantu perawat menyesuaikan pendekatan komunikasi dengan kebutuhan individual pasien (Berman et al., 2022).

Knowledge harus disampaikan secara bertahap dan dengan bahasa yang mudah dipahami. Perawat perlu menghindari penggunaan istilah medis yang kompleks. Pemberian jeda yang cukup memungkinkan pasien dan keluarga mencerna informasi. Konfirmasi pemahaman pasien perlu dilakukan secara berkala. Penyampaian informasi secara terstruktur membantu mengurangi kebingungan dan kecemasan (Baile et al., 2020).

Tantangan profesional perawat muncul dalam berbagai bentuk saat menyampaikan berita buruk. Dalam menjalankan peran ini, perawat menghadapi berbagai tantangan yang tidak mudah. Mereka harus mengelola emosi mereka sendiri sambil tetap memberikan dukungan profesional kepada pasien dan keluarga (Alligood, 2014). Beban kerja yang tinggi dan keterbatasan waktu seringkali menjadi hambatan dalam memberikan dukungan emosional yang optimal. Ditambah lagi, tidak semua perawat mendapatkan pelatihan khusus dalam hal komunikasi empatis, padahal keterampilan ini sangat krusial dalam praktik keperawatan modern. 

Sistem pendukung komprehensif menjadi kebutuhan mendasar bagi para perawat. Pelatihan komunikasi empatis yang berkelanjutan menjadi kebutuhan mendasar yang perlu dipenuhi oleh institusi kesehatan (Harkreader et al., 2007). Manajemen rumah sakit perlu memberikan dukungan dalam bentuk kebijakan yang memungkinkan perawat memiliki waktu yang cukup untuk memberikan dukungan emosional kepada pasien. Pembentukan kelompok pendukung sesama perawat juga bisa menjadi wadah untuk berbagi pengalaman dan strategi dalam menghadapi situasi-situasi sulit. 

Program konseling dan dukungan psikologis bagi perawat menjadi sama pentingnya dengan pelatihan teknis yang harus dilakukan perawat (Chang et al., 2023). Perawat juga membutuhkan dukungan psikologis untuk diri mereka sendiri. Menghadapi situasi emosional yang berat secara terus-menerus dapat menyebabkan kelelahan emosional atau bahkan burnout (American Nurses Association, 2015). Program konseling dan dukungan psikologis bagi perawat menjadi sama pentingnya dengan pelatihan teknis yang mereka terima. Menciptakan lingkungan kerja yang supportif dimana perawat merasa aman untuk mengekspresikan kesulitan mereka juga merupakan aspek penting dalam menjaga kesehatan mental mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun