Pemandangan sama seperti keraton lain dengan adanya beberapa bangunan pendopo yang dibiarkan terbuka tanpa dinding dengan jumlah tiang berbeda dan berbeda pula maknanya.Â
Secara keseluran dapat disimpulkan jumlah tiang-tiang tersebut maknanya sangat bersentuhan dengan keislaman. Sementara makna terbukanya dinding bangunan agar pihak keraton bisa berinteraksi lebih dekat dengan masyarakat. Rasanya tak perlu pemandu disitu karena nisan informasi sudah begitu lengkap tertulis.
Melangkah masuk menuju area bagian dalam keraton melalui gapura kedua, disambut bangunan pendopo yang lebih besar dari sebelumnya.Â
Bedanya, pendopo ini lantainya dibiarkan sejajar rata dengan tanah dengan area rerumputan kosong di depannya serta adanya gerbang utama tempat keluarga dan tamu keluar masuk di sisi bagian depan.
Berapa gapura yang harus dilewati, saya lupa tepatnya. Semua gapura disana mirip sekali dengan gapura yang ada di Bali.Â
Namun, yang saya tak lupa hanya banyak sekali pengemis dengan perawakan berantakan memelas dan pungutan berkedok sumbangan sukarela dengan panitia berpakaian beskap lengkap.Â
Entah benar untuk Keraton ntah tidak, tapi sayang sekali kewibawaan Keraton harus sedikit turun karena pembiaran kegiatan "ngemis" seperti itu.Â
Begitu kesan pribadi saya. Kalau sumbangannya tersebar dimana-mana rasanya bukan lagi sukarela tapi berubah menjadi dukalara karena tanpa sadar melihat isi dompet kian menipis.Â
Lagipula kenapa sekelas keraton harus disumbang oleh pengunjung, sih? Tetapkan saja HTM yang pantas, gapapa agak mahal sedikit asalkan nyaman berada di dalamnya. Begitu saja rasanya sudah cukup.
Sifat pelit saya sekonyong-konyong bertambah menjadi kian pelit plus sikap cuek saat beberapa kali bertemu hal serupa.Â