Mohon tunggu...
Trisno S. Sutanto
Trisno S. Sutanto Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang yang selalu gelisah dan mencari

Setelah lama "nyantri" di STF Driyarkara, menjadi penulis lepas untuk berbagai media dan terlibat dalam gerakan antar-iman. Esai-esai terpilihnya dikumpulkan dan diterbitkan dalam buku "Politik Kebinekaan: Esai-esai Terpilih", oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta, Desember 2021.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Cerita Silat

4 Juli 2022   10:46 Diperbarui: 4 Juli 2022   11:02 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lin Yutong sebagai Huang Rong (sumber: Asian Stars)

Sejak kecil, saya selalu suka dengan cerita silat bersambung. Buku-buku alm. Asmaraman Kho Ping Hoo yang berjilid-jilid itu, hampir selalu menemani kamar tidur saya. 

Kadang saya lupa makan atau mandi, bahkan tidur, demi menikmati kehebatan Bu Kek Sian Su, tenggelam di "Istana Pulau Es", atau membayangkan diri belajar lwekang (tenaga dalam) dan ginkang (ilmu meringankan tubuh) lalu melompat dari satu atap ke atap lain. 

Apalagi waktu itu saya tinggal di daerah Pecinan di Tegal yang sebagian masih merawat rumah-rumah lama dengan arsitektur peninggalan ala Tiongkok klasik.

Tapi membaca berbeda dengan menonton film. Dalam film, apa yang cuma bisa saya bayangkan jadi "riil". Apalagi jika digarap ala Crouching Tiger, Hidden Dragon besutan Ang Lee (2000) yang menyabet lebih dari 40 penghargaan. 

Di tangannya, duel Li Mu Bai dengan si cantik Jen Yu (saya jatuh hati pada Zhang Ziyi) di atas ranting daun bambu, adalah sajian sinematik kelas satu yang tidak ada duanya. 

Begitu juga Hero besutan Zhang Yimou (2002). Orang terpesona pada bagaimana Jet Li berduel di tengah hujan, dan bagaimana tetesan hujan itu seperti bermain-main dengan pedangnya. 

Patut disebut juga House of Flying Dagger (2004). Lagi-lagi Zhang Yimou memanjakan mata lewat tarian indah Zhang Ziyi yang tak ada taranya.

Tapi terasa ada yang kurang dari semua film itu: terlalu pendek! Film silat untuk bioskop memang, mau tak mau, harus selesai dalam satu kali pemutaran. 

Padahal kenikmatan menontonnya, atau membacanya, justru ketika cerita itu berjilid-jilid, seakan tanpa kesudahan. Seperti jilid-jilid seri yang ditulis Kho Ping Ho dulu itu. 

Di situ film seri yang diadaptasi dari cerita silat jadi pemuas dahaga. Saya masih ingat bagaimana dulu, lebih dari 30 tahun lalu, saya menonton film seri bersama alm. Oom Tan hampir setiap malam. 

Selama masa pandemi yang mengurung saya di rumah, saya kembali menemukan kebahagiaan lama yang sederhana itu: tenggelam dalam film seri (kini tak perlu video VHS, cukup lewat internet) karya klasik dalam dunia Kangow. Trilogi Kisah Rajawali, karya akbar Jin Yong (asli: Louis Cha Leung-yung), jadi penghibur lara saat tubuh ini harus di rumah saja, mengikuti nasihat pemerintah. 

Konon, menurut Wikipedia, saking mahsyurnya Jin Yong sebagai pengarang cerita silat, sampai muncul area kajian khusus untuk meneliti karya-karyanya yang disebut Jinology.

Saya tidak pernah membaca karya-karya Jin Yong dalam bentuk cetak. Tetapi legenda petualangan  Guo JIn (di sini mungkin lebih dikenal sebagai Kwee Ceng) dan si centil Huang Rong (Oey Yong) dari Sia Tiauw Eng Hong sudah lama saya dengar sebagai cerita yang hidup dalam masyarakat peranakan Tionghoa. 

Jin Yong seakan mengolah dan menghidupkan seluruh fantasi tentang kependekaran, dunia Kangow, kesetiaan, cinta, patriotisme, dstnya. Tidak heran, trilogi Kisah Rajawali yang dia tulis (The Legend of Condor Heroes, The Return of the Condor Heroes dan The Heaven Sword and the Dragon Sabre, yang pertamakali muncul sebagai cerita bersambung di koran pada 1 Januari 1957), saat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dijuluki sebagai "the Lord of Ring from China".

Sangat banyak adaptasi sudah dilakukan terhadap karya itu, termasuk edisi komiknya dalam bahasa Indonesia (2000). Saya sendiri lebih menyukai adaptasi televisi tahun 2017 yang saya tonton berhari-hari. 

Alasannya sederhana: saya jatuh hati pada penampilan Li Yutong yang memainkan karakter Huang Rong. Gayanya yang centil, jenaka, penuh akal tapi mencintai Guo Jin dengan tulus, sungguh memukau. 

Poster The Legend of the Condor Heroes 2017 (sumber: Wikipedia)
Poster The Legend of the Condor Heroes 2017 (sumber: Wikipedia)

Jalan ceritanya sendiri? Kadang saya heran mengapa orang bisa, seperti saya, tergila-gila membaca atau menonton serial cerita silat yang berjilid-jilid. Tapi kini saya mulai sadar. Jika Anda menonton atau membaca serial itu, maka ada beberapa hal menarik yang, menurut saya, sudah menjadi "pakem" cerita sejenis:

Pertama, hampir tidak ada hubungan sama sekali antara jalannya cerita dengan judul yang dipilih! Ini sungguh aneh. Misalnya, Crouching Tiger itu hampir tak berkaitan dengan kisah Li Mu Bai.

Begitu juga, walau Guo Jin disebut "pendekar pemanah rajawali", tapi cerita memanah rajawali itu sendiri hanyalah salah satu sub-plot cerita, saat Guo Jin masih remaja di Mongolia. Setelah itu, hampir tidak ada kaitan lagi dengan si rajawali.

Kedua, cerita itu seperti beranak-pinak tanpa batas. Pada masing-masing bagian, si pengarang seakan membiarkan saja imajinasi liarnya, lalu menelusuri kisah masing-masing tokoh yang menjadi sub-plot cerita. 

Mungkin inilah alasan utama yang membuat orang terpesona dan diseret masuk ke dalam plot (dan sub-plot) cerita yang hampir tidak dapat diduga sebelumnya. Apalagi kalau sub-plot itu (hampir selalu) dipenuhi oleh adu silat yang mengasyikkan, dengan permainan efek sinematik yang memanjakan mata. 

Karena itu, ketiga, jauh lebih mengasyikkan menonton serial film silat ketimbang menonton film utuh di bioskop. Di bioskop, cerita sang pengarang hampir tidak bisa beranak-pinak, dengan bermacam sub-plot tak terduga. Anda 'kan tidak bisa diharapkan nonton di bioskop berhari-hari. 

Dalam film seri yang bisa 52 episode (ini The Legend of Condor Heroes, edisi 2017), kita bisa mengikuti seluruh seluk-beluk sub-plot dengan adegan pertarungan masing-masing secara utuh. 

Apalagi kalau Anda, seperti saya, jatuh hati pada kecentilan dan kepintaran Huang Rong yang dimainkan sangat bagus oleh Li Yutong. Ilmu silat dan lwekangnya sih tidak tinggi-tinggi amat. Tapi otaknya sangat encer. 

Dengan kemampuan otaknya, ia mampu membongkar misteri pembunuhan lima guru Guo Jin di Pulau Persik, yang hampir membuat kandas kisah cintanya. Seakan-akan Huang Rong mau membuktikan, tidak perlu jurus sakti, lwekang dan ginkang yang tinggi-tinggi. Pakai otakmu, bukan ototmu!

Itu sebabnya Tiongkok kini tidak lagi memproduksi para pesilat tangguh yang hidup bertapa mengolah tenaga dalam di Gunung Thay San, tetapi berlomba merebut teknologi paling maju untuk bersaing dengan Paman Sam yang masih suka memakai pistol. Hanya saja, ini akan membuat dunia Kangow jadi sepi dan tak lagi memesona.

Syukurlah masih ada serial fim silat yang bisa saya tonton...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun