Mohon tunggu...
Triska Zagoto
Triska Zagoto Mohon Tunggu... Administrasi - Merasakan Pemikiran. Memikirkan Perasaan.

Mengurai rasa. Menenangkan nalar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Delapan Tahun Berpisah: di Balik Persiapan Perayaan 17 Agustus, Aku Mengenangnya

16 Agustus 2020   11:54 Diperbarui: 18 Agustus 2020   17:56 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa orang dengan mata sembab yang berkerumun dekat tempat tidur itu memberi saya ruang untuk mendekat.
Aku mendekati pribadi yang sudah tak bernyawa itu yang masih beberapa jam yang lalu melawan kesakitannya. Aku mengingat kembali keadaan menegangkan pagi hari tadi, di tengah kondisi dimana dia mungkin melawan kesakitannya sekaligus berserah karena tahu dia akan pergi. Aku mengingat jelas tatapannya yang dalam pagi itu seakan memintaku "tetaplah disini", tetapi aku malah memilih berangkat ke sekolah.

Hal yang paling menyakitkan saat itu bahwa aku tidak bisa menangis. Aku hanya banyak diam mengingat kembali perjuangannya melawan kanker otak kurang lebih dua tahun.

Tiap hari aku menyaksikan setiap detail kesakitannya, perjuangannya, obat-obat yang dikonsumsinya. Mengingat kembali saat gantian dengan Mama untuk menyuapinya, memandikannya, memijit kepalanya, dan sebagainya.

Mungkin itulah alasan mengapa aku tidak sanggup menangis dihari kepergiannya. "Dia sudah tak merasakan sakit" gumamku. Dibalik kelegaan itu aku juga merasa terusik akan kenyataan bahwa "kanker telah mengalahkannya". Didalam kenyataan saat itu aku tidak mengerti mengapa itu harus terjadi. Mengapa duka ini menimpa keluarga kami. Hal itu belum bisa kupahami sebagai seorang remaja yang masih duduk di bangku kelas dua SMA.

***
Sejak kepergiannya banyak hal yang berubah, salah satunya adalah makan malam bersama sudah tidak ada lagi yang biasanya kursi tempatku duduk tepat di sebelah kanannya. Setelah kepergiannya, kalau tiba makan malam masing-masing orang mengambil makanannya, makan di ruang tamu sambil menonton TV. Itu hanya salah satu dari sekian banyak perubahan yang kami alami. Kenyataannya, ditinggal oleh seorang kepala keluarga bukan hal yang mudah, bukan hal yang bisa kami lalui tanpa kesulitan.

***
Tahun demi tahun berlalu. Tepat delapan tahun hari ini. Sedikit demi sedikit aku mulai memahami dan menerima keadaan ini. Bukan karena sudah tidak ada kesulitan. Bukan. Kesulitan pasti akan tetap ada selama kita di dunia.

Tetapi karena di dalam keyakinanku akan Pemilik Hidup ini. Sang Penghulu Hidup yang telah menciptakanku, menyelamatkanku, dan memelihara hidupku.

Di dalam keyakinan rancangan dan rencana-Nya baik dan sempurna.
Di dalam keyakinan bahwa Dia menopang dalam anugerah-Nya.
Di dalam keyakinan bahwa Dia tidak akan meninggalkanku.
Dia, Sang Pengendali Kehidupan.
Setiap kita yang hidup berada didalam kendali kebaikan-Nya.

***
"Kita masih bertemu matahari.." sepenggal lirik lagu Ebiet G. Ade menjadi alarm bagi kita bahwa kita masih hidup. Ketika membuka mata di pagi hari, kita melihat matahari berarti ada sesuatu yang masih harus kita lakukan.

Selamat mengenang mereka yang pernah hadir di hidup ini. Selamat merayakan hidup.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun