Mohon tunggu...
Triska Zagoto
Triska Zagoto Mohon Tunggu... Administrasi - Merasakan Pemikiran. Memikirkan Perasaan.

Mengurai rasa. Menenangkan nalar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Delapan Tahun Berpisah: di Balik Persiapan Perayaan 17 Agustus, Aku Mengenangnya

16 Agustus 2020   11:54 Diperbarui: 18 Agustus 2020   17:56 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada akhirnya kita akan menemui akhir hidup kita.
Kapan itu kita tidak tahu. Misteri.
Ibarat antrian tanpa nomor.
Bersyukurlah untuk orang-orang yang pernah
dan sedang Tuhan hadirkan di hidup kita.
Mereka yang pernah Ia hadirkan di hidup kita,
patut dikenang.
***

Kala itu, seperti biasa dalam menyambut perayaan 17-an tidak ada aktivitas belajar-mengajar, H-1 sekolah mengadakan lomba antar kelas beberapa diantaranya mendekorasi kelas, menghias taman depan kelas, hanya ini yang bisa ku ingat dari beberapa lomba yang diadakan. Yang jelas suasana kelas: sibuk.

Namun, entah mengapa aku memilih untuk berdiam diri. Duduk di kursi dimana biasanya aku duduk ketika aktivitas belajar berlangsung. Aku mengalihkan pandangan keluar ke arah kiri kelas dari jendela dan aku hanya menatap lapangan sepak bola yang saat itu sekitarnya masih dipenuhi berbagai jenis pepohonan.

Menatap jauh keluar jendela pikiranku kembali melayang pada suasana menegangkan di rumah sesaat sebelum berangkat ke sekolah. "Mungkin ini yang membuatku sama sekali tidak tertarik untuk sibuk mempersiapkan lomba 17-an ini seperti teman-teman yang lain" gumamku dalam hati.

Seharusnya suasana di rumah pagi itu cukup menjadi alasan untuk aku tidak terlalu memaksakan diri berangkat ke sekolah ditambah tidak ada aktivitas belajar-mengajar. Cukup lama aku merasa bersalah dan entah mengapa mataku sesekali memandang ke arah gerbang sekolah: merasa sesaat lagi ada yang menjemputku.

Sekitar jam sembilan pagi itu masih dengan posisiku, Pak Guru (kami memanggilnya Pak Duha) berjalan dari kantor guru menuju kelas kami (posisi kelas kami dan kantor guru berhadapan jadi sangat terlihat jelas kalau ada guru yang menuju kelas kami). Beberapa teman merasa aneh dengan pemandangan itu, wajar saja sebab tidak adanya aktivitas belajar-mengajar saat itu.

Seakan sudah tertebak, Pak Duha dengan ekpresi datar dan mendesak menuju ke arahku "Silakan ambil tasmu, ada yang jemput". Kalimat singkat itu cukup membuatku bergegas dan menuju gerbang sekolah ditemani Pak Duha, tanpa tanya dari ku, tanpa kata-kata yang keluar dari mulutku. Aku juga bisa merasakan pandangan dari teman-teman ke arahku ketika aku keluar.

Di gerbang sekolah aku melihat sepupuku yang menjemputku, tanpa pemberitahuannya, tanpa ku tanyai, aku langsung naik ke motor dan kami berangkat saat itu juga. Dalam diam, dalam hening, begitulah aku menikmati perjalanan kami menuju rumah dengan cuaca yang cukup dingin semakin memperjelas tetesan hangat yang keluar dari mataku. 

Aku cepat-cepat menghapusnya, tidak mau ketahuan dari kaca spion. Lima belas menit didalam perjalanan membuatku cukup memikirkan, merasakan, dan mempertanyakan banyak hal. Sedih, takut, gelisah, marah, bingung. "Apakah aku cukup sanggup melewati ini nantinya?" "Setelah ini terlewati, ada apa kedepannya?" "Akankah diri ini dan orang-orang disekitarku akan baik-baik saja?". Yang ada saat itu hanya keheningan, sampai kami tiba di rumah...

Dari halaman rumah beberapa orang sibuk dan kesana-kemari, sesekali memberi instruksi kepada yang lain. Aku turun dari sepeda motor, melangkahkan kaki ke rumah dengan satu hal yang ku tahu pasti apa sebab keramaian di rumah kami.

Aku menuju kamar di mana aku terakhir kali beranjak dari tempat itu sesaat sebelum berangkat ke sekolah pagi tadi. Di tempat tidur itu, aku melihat satu pribadi dengan tubuh yang sudah terkulai dan tak bernyawa. Pribadi itu kenali. Didalam satu kenyataan pahit "Bapak meninggalkan kami", selamanya.

Beberapa orang dengan mata sembab yang berkerumun dekat tempat tidur itu memberi saya ruang untuk mendekat.
Aku mendekati pribadi yang sudah tak bernyawa itu yang masih beberapa jam yang lalu melawan kesakitannya. Aku mengingat kembali keadaan menegangkan pagi hari tadi, di tengah kondisi dimana dia mungkin melawan kesakitannya sekaligus berserah karena tahu dia akan pergi. Aku mengingat jelas tatapannya yang dalam pagi itu seakan memintaku "tetaplah disini", tetapi aku malah memilih berangkat ke sekolah.

Hal yang paling menyakitkan saat itu bahwa aku tidak bisa menangis. Aku hanya banyak diam mengingat kembali perjuangannya melawan kanker otak kurang lebih dua tahun.

Tiap hari aku menyaksikan setiap detail kesakitannya, perjuangannya, obat-obat yang dikonsumsinya. Mengingat kembali saat gantian dengan Mama untuk menyuapinya, memandikannya, memijit kepalanya, dan sebagainya.

Mungkin itulah alasan mengapa aku tidak sanggup menangis dihari kepergiannya. "Dia sudah tak merasakan sakit" gumamku. Dibalik kelegaan itu aku juga merasa terusik akan kenyataan bahwa "kanker telah mengalahkannya". Didalam kenyataan saat itu aku tidak mengerti mengapa itu harus terjadi. Mengapa duka ini menimpa keluarga kami. Hal itu belum bisa kupahami sebagai seorang remaja yang masih duduk di bangku kelas dua SMA.

***
Sejak kepergiannya banyak hal yang berubah, salah satunya adalah makan malam bersama sudah tidak ada lagi yang biasanya kursi tempatku duduk tepat di sebelah kanannya. Setelah kepergiannya, kalau tiba makan malam masing-masing orang mengambil makanannya, makan di ruang tamu sambil menonton TV. Itu hanya salah satu dari sekian banyak perubahan yang kami alami. Kenyataannya, ditinggal oleh seorang kepala keluarga bukan hal yang mudah, bukan hal yang bisa kami lalui tanpa kesulitan.

***
Tahun demi tahun berlalu. Tepat delapan tahun hari ini. Sedikit demi sedikit aku mulai memahami dan menerima keadaan ini. Bukan karena sudah tidak ada kesulitan. Bukan. Kesulitan pasti akan tetap ada selama kita di dunia.

Tetapi karena di dalam keyakinanku akan Pemilik Hidup ini. Sang Penghulu Hidup yang telah menciptakanku, menyelamatkanku, dan memelihara hidupku.

Di dalam keyakinan rancangan dan rencana-Nya baik dan sempurna.
Di dalam keyakinan bahwa Dia menopang dalam anugerah-Nya.
Di dalam keyakinan bahwa Dia tidak akan meninggalkanku.
Dia, Sang Pengendali Kehidupan.
Setiap kita yang hidup berada didalam kendali kebaikan-Nya.

***
"Kita masih bertemu matahari.." sepenggal lirik lagu Ebiet G. Ade menjadi alarm bagi kita bahwa kita masih hidup. Ketika membuka mata di pagi hari, kita melihat matahari berarti ada sesuatu yang masih harus kita lakukan.

Selamat mengenang mereka yang pernah hadir di hidup ini. Selamat merayakan hidup.

***

Selamat menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Bangsa kita, Bangsa Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun