Mohon tunggu...
Trisha CornelliaD
Trisha CornelliaD Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lika-Liku Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja: Masyarakat Abai, Remaja Jadi Lalai!

1 Juni 2022   20:08 Diperbarui: 1 Juni 2022   20:08 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pelayanan kesehatan reproduksi seringkali masih dianggap tabu oleh masyarakat, terlebih lagi jika penerima layanan adalah anak berusia remaja yang belum menikah. Padahal, pelayanan kesehatan reproduksi merupakan pelayanan kesehatan esensial yang harusnya dapat diakses oleh remaja tanpa harus merasa takut akan mendapatkan cap buruk atau cibiran. Sebenarnya, apa itu pelayanan kesehatan reproduksi? Bagaimanakah pelayanan kesehatan reproduksi untuk remaja di Indonesia?


Pelayanan kesehatan reproduksi merujuk kepada pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada rangkaian organ, interaksi organ, dan zat dalam tubuh manusia yang dipergunakan untuk tujuan reproduksi (Rahmawati, 2009: 34). Sementara itu, kesehatan seksual dan reproduksi remaja merujuk pada kesejahteraan fisik dan emosional remaja (Fitriani, 2011: 12). Kesehatan seksual dan reproduksi remaja juga berkaitan dengan kemampuan mereka untuk terbebas dari penyakit menular seksual seperti HIV dan AIDS, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang tidak aman, dan segala bentuk kekerasan seksual (Brahim, dkk., 2018: 25).


Meskipun kerap dipandang tabu, pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja sebenarnya bersifat esensial. Akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi yang layak dan baik dapat menghindarkan remaja dari perilaku berisiko, kesehatan reproduksi yang buruk, kehamilan pada usia remaja, dan berbagai permasalahan lainnya (Affandi, 2017: 37). Dengan adanya akses yang mudah dan aman terhadap pelayanan kesehatan reproduksi, diharapkan remaja dapat membangun sikap dan perilaku yang bertanggung jawab terkait dengan tubuh dan kehidupan mereka (Wahyuni, 2017: 28).


Bahkan, pelayanan tersebut merupakan hak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 (PP 61/2014) tentang Kesehatan Reproduksi, yaitu hak remaja untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, efektif dan terjangkau. Pn Kesehatan Reproduksi Remaja harus disesuaikan dengan masalah dan tahapan tumbuh kembang remaja serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender, mempertimbangkan moral, nilai agama, perkembangan mental, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.elayanan tersebut diberikan melalui komunikasi, informasi, edukasi, konseling, dan pelayanan klinis medis sebagaimana diatur dalam Pasal 12 peraturan tersebut. Pelayanan kesehatan Reproduksi Remaja diberikan dengan menggunakan penerapan pelayanan kesehatan peduli remaja. Pemberian Pelayana


Namun, urgensi tersebut tidak diikuti dengan implementasi pelayanan kesehatan reproduksi yang menghadirkan solusi. Meski pemerintah telah menyelenggarakan program Kader Kesehatan Remaja (KKR) atau Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), remaja dalam rentang usia 12-22 tahun masih kesulitan mengakses pelayanan tersebut. Stigma masyarakat yang kental akan nilai agama dan budaya menimbulkan anggapan bahwa program KKR ini justru memfasilitasi remaja yang belum menikah untuk mendapatkan pengetahuan tentang hubungan seksual yang dikaitkan dengan demoralisasi. Dalam realitanya, program KKR sebenarnya hanya menekankan pada isu-isu moral, sementara informasi terkait kesehatan reproduksi dan keluarga berencana hanya diberikan kepada pasangan yang sudah menikah. Padahal, akses akan kedua hal tersebut lah yang justru perlu diedukasikan sejak dini kepada para remaja agar dapat terhindar dari kehamilan yang tidak diinginkan, terjangkit infeksi menular, dan aborsi yang dapat membahayakan kesehatannya.


Selain program KKR dan PKPR, pemerintah juga membentuk Pusat Informasi Kesehatan Remaja/Mahasiswa (PIK-R/M) dari BKKBN. Akan tetapi, pembentukan pusat pelayanan kesehatan tersebut masih belum diketahui oleh banyak remaja. Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017, baru 34% remaja putri yang mengetahui adanya PKPR dan hanya 16% remaja putri yang mengetahui tentang PIK-R/M. Ketidaktahuan tentang pusat pelayanan kesehatan itu menjadi penyebab rendahnya pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksinya. Dengan demikian, dua permasalahan utama yang menjadi hambatan pendidikan dan pelayanan kesehatan reproduksi adalah permasalahan kognitif yang berhubungan dengan pengetahuan remaja akan adanya pusat pelayanan kesehatan reproduksi dan permasalahan psikososial yang berupa perasaan takut dan malu untuk mengunjungi pusat pelayanan kesehatan reproduksi.


Perasaan takut dan malu tersebut muncul karena adanya suatu nilai dan cara berperilaku yang dianggap benar dan tidak benar oleh masyarakat (Walsh, 2017:13). Beberapa hal dianggap tidak patut dibicarakan, sebagai suatu aib, berbahaya dan menjijikan oleh masyarakat (Gutierrez, Ginger-Sorolla, 2007:865). Kemudian muncul prasangka buruk terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hal tersebut, seperti halnya pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja karena berkaitan dengan hal seksual (Lunceford, 2018:164). Sebagai suatu masalah kebutuhan kemanusiaan, pemerintah memiliki kuasa dan kewajiban untuk melakukan intervensi mengenai pandangan tabu masyarakat terhadap hal tersebut (Bentley, 2017:580).


Membongkar hal yang tabu dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan. Salah satunya ialah dengan melakukan hal tabu tersebut, seperti yang dilakukan Morgan Gallagher melalui kampanye "Breastfeeding Picnic" untuk mengadvokasikan kebolehan menyusui di ruang publik. Pada akhirnya, angka inisiasi menyusui meningkat, walau belum mencapai target (Boyer, 2010:436).


Dampak nyata membongkar tabu dapat dilihat pada Julie Hoole, seorang perawat kanker yang memformulasikan sebuah alat untuk membantu pasien kanker dalam hubungan intim. Salah satu dampak dari perawatan kanker kepala dan leher ialah deformasi mulut yang sering kali menjadi penghambat hubungan intim pasien. Sebagai hal yang tabu, hal tersebut hampir tidak pernah didiskusikan antara pasien, hingga akhirnya seorang pasangan pasien menyampaikannya kepada perawat. Perawat tersebut, Julie Hoole, bersama dengan rekannya kemudian memformulasikan suatu alat untuk membantu menghadapi perubahan yang terjadi dalam hubungan intim akibat perawatan kanker serupa. Membongkar tabu, Julie Hoole mampu membuat kehidupan para pasien kanker menjadi lebih baik (Cole, 2017:21 - 22).


Mengubah pandangan yang telah dipercayai selama puluhan, bahkan ratusan tahun secara turun-temurun antar generasi bukanlah hal yang mudah. Namun, hal tersebut menjadi suatu keharusan demi menghapus persepsi yang keliru untuk mencapai kebaikan bersama, dalam hal ini, pelayanan kesehatan reproduksi remaja. Untuk itu, kita harus terlebih dahulu menganalisis mengapa remaja Indonesia masih banyak yang tidak mengetahui program PKPR.


Pada dasarnya, program PKPR diperkenalkan kepada kalangan remaja melalui media telekomunikasi seperti televisi dan radio, media cetak, serta pendekatan langsung melalui program KKR. Meski begitu, sejak tahun 2019, program PKPR tidak lagi dilampirkan pada Profil Kesehatan Indonesia dan tidak ada publikasi mengenai program PKPR (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019). Walaupun KKR tetap berjalan dengan normal, terdapat permasalahan tersendiri dengan program tersebut. KKR dianggap tidak berjalan maksimal karena pembina sebaya tidak mendapatkan pelatihan yang cukup, tidak semua sekolah mendapatkan pelatihan intensif, dan faktor lainnya (Pujiastuti, dkk., 2021:36).


Bahkan jika KKR berjalan dengan maksimal, KKR hanya dapat meraih sebagian dari remaja Indonesia. Secara singkat, KKR merupakan program pendidikan kesadaran kesehatan seksual yang dilakukan oleh teman sebaya. Siswa yang terpilih akan menjalani pelatihan di puskesmas kemudian meneruskan pengetahuan tersebut kepada teman sebayanya. Namun, ini berarti remaja yang tidak bersekolah tidak dapat diraih oleh program KKR. Nyatanya, terdapat 0,65% remaja umur Sekolah Dasar, 6,77% remaja umur Sekolah Menengah Pertama, dan 21,47% remaja umur Sekolah Menengah Atas yang tidak bersekolah (Badan Pusat Statistik, 2021). Sehingga sejumlah remaja di Indonesia sama sekali tidak memiliki akses informasi tentang program PKPR.


Dengan demikian, terdapat dua permasalahan utama yang menjadi penghambat remaja untuk mengakses pelayanan kesehatan reproduksi, yakni permasalahan kognitif dan permasalahan psikososial. Permasalahan kognitif yang berhubungan dengan rendahnya pengetahuan remaja akan adanya pusat pelayanan kesehatan reproduksi dapat diatasi dengan cara meningkatkan publikasi di media telekomunikasi dan media cetak. Sedangkan, permasalahan psikososial yang berupa perasaan takut dan malu untuk mengunjungi pusat pelayanan kesehatan reproduksi dapat diatasi dengan mengubah persepsi buruk masyarakat mengenai pelayanan kesehatan reproduksi itu sendiri. Jika masyarakat lebih terbuka kepada pendidikan seksual serta pelayanan kesehatan reproduksi, remaja Indonesia juga pasti akan lebih mudah mengakses kedua hal tersebut sehingga menjadi lebih teredukasi, sehat, dan bijak dengan tubuh serta masa depannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun