Langit sore itu mendung, seperti mewakili suasana hati Yemi yang penuh dengan kebingungan. Di balik penampilannya yang tegar dan elegan, pikirannya berkecamuk. Hubungannya dengan Adnan sudah memasuki fase yang sulit. Meski cinta mereka begitu kuat, realitas kehidupan terus-menerus menantang keyakinannya. Dia duduk di beranda rumahnya, secangkir teh hangat di tangan, mencoba mencari jawab atas dilema yang tak kunjung usai.
Adnan, pria dengan pesona luar biasa, telah mencuri hatinya sejak pandangan pertama. Mata teduhnya, senyumnya yang hangat, dan tubuh tinggi semampainya membuat Yemi merasa seperti gadis remaja yang baru jatuh cinta. Tapi di balik itu semua, Adnan memiliki sisi lain yang sulit diterima Yemi. Ketidakstabilan emosinya, rasa malas yang kadang muncul, dan beban keluarganya yang seringkali menghantui hubungan mereka, membuat Yemi merasa ragu.
"Yem, kamu yakin mau terus sama aku?" tanya Adnan suatu malam ketika mereka duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota.
Yemi mengangkat wajahnya dari cangkir kopi. Mata Adnan menatapnya penuh harap, tapi juga ada keraguan di sana.
"Kenapa kamu tanya begitu, Dan?"
Adnan menghela napas panjang. "Aku sadar, keluarga kamu nggak suka sama aku. Aku cuma pegawai kontrak. Aku nggak punya apa-apa yang bisa aku banggakan di depan mereka."
Yemi menggenggam tangan Adnan. "Kita ini bukan soal keluarga, Dan. Aku cinta kamu. Itu cukup, kan?"
Adnan tersenyum kecil. "Cinta aja cukup nggak buat kita bertahan, Yem? Aku pengen jadi orang yang kamu banggakan, tapi aku belum sampai di sana."
Yemi terdiam. Ia tahu, Adnan benar. Namun, ia tak ingin menyerah.
Hubungan mereka menjadi semakin rumit ketika keluarga Yemi mulai lebih vokal menentang hubungan tersebut. Ibunya, seorang wanita yang selalu menjaga martabat keluarga, terus-menerus mengingatkan Yemi tentang pentingnya memilih pasangan yang sepadan.