Mohon tunggu...
Try Raharjo
Try Raharjo Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Republik

Subscribe ya dan like channel YouTube punyaku youtube.com/c/indonesiabagus

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Pertunjukan Ketoprak Babad Banyumas di Gedung Kesenian Soetedja

3 Oktober 2024   21:59 Diperbarui: 4 Oktober 2024   07:52 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan Joko Kaiman (diperankan Samudera Airlangga) pada pertunjukan ketoprak "Babad Banyumas" di Gd. Kesenian Soetedja (1 Okt 2024) | (Dokumentasi pribadi)

Ketoprak adalah sebuah pertunjukan tradisional semacam opera, yang menampilkan seni vokal, musik, sastra, humor, dan bahkan juga seni beladiri yang dihadirkan di sela pertunjukan sebagai atraksi yang menghibur dan dapat mengaduk emosi penonton.

Pertunjukan ini dari berbagai literatur diketahui sudah ada sejak dekade 1950-an. Dengan isi cerita yang mengandung unsur sejarah atau legenda, pertunjukan ini awalnya dari kota Surakarta kemudian menyebar ke berbagai pelosok daerah di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hingga sekitar tahun 1970-an, sewaktu penulis tinggal di Gombong, sebuah kota kecamatan di Jawa Tengah, seni pertunjukan ketoprak ini masih menjadi primadona di hati masyarakat pada umumnya, di samping jenis pertunjukan tradisional lain seperti wayang kulit dan kuda kepang.

Untuk diketahui, hiburan pada masa itu masih terbatas dibanding yang saat ini bisa kita nikmati. Televisi bahkan masih tergolong barang mewah di kampung dan pedesaan. Walaupun pertunjukan layar lebar di gedung bioskop sudah dapat dinikmati, tapi jumlah gedung bioskop juga sangat terbatas.

Pada masa itu sekalipun ada pangsa pasarnya sendiri, dibanding pemutaran film di gedung bioskop maka pertunjukan ketoprak bisa dikatakan masih jauh lebih meriah. Salah satu kelebihan dari seni pertunjukan ketoprak ini adalah karena para penonton bisa berinteraksi langsung dengan para pemainnya.

Para pemain yang memerankan karakter sebagai tokoh jagoan biasanya menjadi idola warga masyarakat. Para pemain ketoprak yang sukses merebut hati penonton itu bisa karena penampilannya yang lucu, wajahnya yang cantik atau ganteng, atau karena perannya yang sering membuat kesal. Jadi tidak berbeda dengan para selebriti pemain sinetron saat ini. 

Tidak sedikit penonton yang murah hati akan melempar uang saweran kepada pemain ketoprak pada sesi tertentu. Biasanya dilakukan kepada pemain dagelan yang muncul untuk berinteraksi dengan para penonton dan menyanyikan lagu-lagu permintaan penonton. 

Para seniman dan seniwati pemain ketoprak itu bergabung di sebuah kelompok seni yang biasanya menyewa sebuah gedung kesenian. Setelah beberapa waktu lamanya berpentas, mereka harus pergi berpindah ke lain kota, bergantian dengan kelompok seni lain yang juga ingin mengadu nasib mereka dari gedung kesenian yang ada.

Saat ini pertunjukan ketoprak semakin sulit ditemukan, tidak sepopuler wayang kulit yang sudah diakui Unesco. Oleh karena itu beberapa hari lalu, sejumlah seniman dan budayawan Kabupaten Banyumas tergerak menggelar pertunjukan ketoprak di Gedung Kesenian Purwokerto. Kelompok seniman ketoprak tersebut tergabung dalam grup ketoprak "Gajah Indra" pimpinan Ki Agung Wicaksono yang juga dikenal sebagai Dalang Wayang Jemblung. 

Kegiatan ini didukung langsung oleh Dinporabudpar Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten Banyumas.

Berikut ini adalah liputan saya sesaat sebelum pertunjukan, wawancara dengan Ki Agung Jemblung, Kang Riki pimpinan grup kesenian "Singo Limo", dan Kang Joko seorang warga setempat.

Berikut ini adalah tari "Gedrug" yang ditampilkan oleh grup Singo Limo sebagai pra acara pentas pertunjukan ketoprak Babad Banyumas..

Dan berikut ini adalah rekaman sekilas pertunjukan ketoprak Babad Banyumas yang diselenggarakan di Gedung Kesenian Soetedja Purwokerto pada 1 Oktober 2024 yang lalu.


Pertunjukan ini akan lebih menarik jika didukung dengan tata cahaya panggung yang memiliki konsep sesuai dengan suasana yang ingin digambarkan pada ceritanya. Dari pengamatan penulis, Gedung Kesenian Soetedja belum bisa menyajikan tata cahaya yang memuaskan. Warna lampu tidak semestinya berubah-ubah tanpa alasan jelas. Ini karena tata cahaya itu berfungsi bukan hanya untuk menimbulkan kesan dramatis tapi juga untuk dapat memberikan suasana tertentu pada dekorasi panggung. 

Beberapa suara pemain pun masih kurang jelas terdengar oleh penonton. Memang berbeda dengan para seniman panggung profesional masa lalu yang biasanya bersuara lantang. Hal ini bisa diperbaiki dengan fasilitas tata suara yang lebih mumpuni.

Walaupun demikian dari pertunjukan ini penulis sangat mengapresiasi upaya dari berbagai pihak yang sudah mendukung para seniman untuk melestarikan seni pertunjukan tradisional ketoprak. 

Dengan melihat masih ada banyak seniman muda memiliki kesungguhan untuk melestarikan seni pertunjukan tradisional ketoprak, maka seni pertunjukan ketoprak ini tentu akan tetap lestari sebagai aset budaya bangsa. ***

Penulis (kiri) saat menyaksikan pertunjukan ketoprak di Gedung Kesenian Soetedja Purwokerto. | (Dokumentasi pribadi)
Penulis (kiri) saat menyaksikan pertunjukan ketoprak di Gedung Kesenian Soetedja Purwokerto. | (Dokumentasi pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun