Sejak pandemi menerpa Indonesia, nyaris semua orang terdampak olehnya, demikian pun pelaku usaha. Namun di tengah berbagai bentuk kesulitan yang dirasakan, kepedulian terhadap warga yang kurang mampu di negeri kita masih cukup kuat dirasakan. Setidaknya seperti yang dapat disaksikan sendiri oleh penulis di daerah tempat tinggal penulis yaitu Purwokerto.
Berbagi untuk warga yang terdampak secara ekonomi bisa dikatakan marak dilakukan oleh warga masyarakat kita yang memiliki rasa kepedulian kepada sesama. Hal tersebut semakin banyak dilakukan pada bulan Ramadan yang lalu, dan terlebih menjelang tiba perayaan Idul Fitri tahun ini.
Selama Ramadan banyak di antara umat muslim pada khususnya yang membagikan makanan untuk berbuka puasa dan untuk santap sahur. Ada yang membagikan di jalan, tapi pada umumnya mereka membagikan makanan tersebut melalui pengurus masjid di lingkungan masing-masing.
Semakin mendekati Idul Fitri, para dermawan yang ingin berbagi kebaikan dengan sesama mewujudkan niatnya antara lain dalam bentuk bingkisan atau parsel lebaran.
Kebiasaan berbagi sebagai sebuah nilai luhur yang dilandasi oleh rasa ikhlas dan mengharapkan pahala dari Allah berupa karunia berkah dan rahmat-Nya ini bila kita cermati, sudah ada sejak zaman dulu dalam kehidupan masyarakat kita.
Tradisi berbagi dari masa ke masa
Dalam sejarah peradaban Nusantara dikenal istilah ater-ater pada naskah Ramayana yang menggambarkan kehidupan masyarakat pada abad IX.
"Paling tidak, istilah 'ater' telah dikenal pada abad IX, terbukti oleh penyebutannya dalam kakawin Ramayana, Sutasoma," kata travelling chef Wira Hardiansyah seperti dikutip dari Kompas.
Lebih jelasnya, pada masa Kerajaan Majapahit terdapat tradisi yang disebut dengan craddha. Tradisi yang memuat kebiasaan berbagi ini pada awalnya sebagai bentuk penghormatan masyarakat untuk mengenang leluhur yang sudah meninggal. Dalam pelaksanaannya, masyarakat pada masa itu berkumpul dengan membawa sesaji untuk mengikuti upacara dan doa. Tradisi ini kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Sewaktu masuknya Islam pada abad ke-13 yang disebarkan oleh Wali Sanga, para wali kemudian memasukkan unsur dakwah dengan harapan masyarakat lebih mudah menerima Islam, sekaligus agar tidak berbenturan dengan kepercayaan yang lebih dulu ada.
Seperti dikutip dari Kompas, Titi Mumfangati dalam "Tradisi Ziarah Makam Leluhur pada Masyarakat Jawa" menerangkan bahwa tradisi craddha yang ada pada masa Kerajaan Hindu - Buddha itu tidak dihilangkan oleh para wali sebagai penyebar agama Islam. Kegiatan craddha diselaraskan dengan ajaran Islam sehingga upacara dan doa dalam tradisi tersebut diganti dengan doa dan bacaan ayat Al-Qur'an. Sementara sesaji diadaptasi oleh para wali menjadi makanan untuk dimakan bersama yang kemudian disebut dengan selamatan atau kenduri.