Mohon tunggu...
Try Raharjo
Try Raharjo Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Republik

Subscribe ya dan like channel YouTube punyaku youtube.com/c/indonesiabagus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjelang Hari Wayang Dunia

26 Oktober 2020   23:33 Diperbarui: 28 Oktober 2020   07:23 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari kiri: Bp. Jarot Setyoko (Ketua Dewan Kesenian Banyumas, Bp. Bambang Barata Aji (Ketua Pepadi Korwil Banyumas), dan penulis. | Dokpri.

Wayang adalah salah satu bentuk kekayaan warisan budaya asli bangsa Indonesia yang memiliki kandungan ajaran luhur, nilai-nilai moral, budi pekerti, dan berperan strategis dalam memperkuat pembentukan karakter dan jatidiri bangsa Indonesia.

Wayang dikenal masyarakat di Tanah Jawa sejak ratusan tahun yang lalu. Dari kekawin Arjuna Wiwaha yang dibuat Empu Kanwa pada abad ke-11 Masehi pada masa pemerintahan Raja Airlangga, bait 59 disebutkan:

Hanonton ringgit manangis asekel muda hidepan, huwus wruh towin yan
walulang inukir molah mangucap hatur ning wang tresneng wiyasa
malaha tan wihikana ritatwan yan maya sahan-hananing bhawa siluman
.

Arti dari tulisan berbahasa Jawa Kuno di atas kira-kira adalah sbb:

Menonton wayang kemudian orang menangis sedih hati, meskipun tahu hanya kulit yang diukir bergerak dan bicara. Yang melihat wayang itu diumpamakan orang yang memiliki nafsu duniawi sehingga gelap hati, seakan tidak mengetahui bahwa yang dimainkan itu hanya bayangan seperti siluman yang sesungguhnya kepalsuan saja.

Dr. G.A.J. Hazeu, dalam desertasinya yang berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897 di Leiden, Belanda) berkeyakinan bahwa pertunjukan wayang berasal dari kesenian asli Jawa. Hal ini dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan banyak menggunakan bahasa Jawa, misalnya kelir, blencong, cempala, kepyak, dan wayang. 

Pada rumah adat Jawa pun ditemukan bagian-bagian ruangan yang meliputi: emperan, pendapa, omah mburi, gandhok senthong dan pringgitan. Dalam bahasa Jawa ringgit artinya wayang. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah rumah, bagi orang Jawa, menjadi lengkap bila juga menyediakan tempat untuk pertunjukan wayang.

Dari sumber lain (Analisis Perkembangan Wayang Kulit yang Tertera dalam Kekawin Arjuna Wiwaha Sargah V Bait 9, Made Panji Wilimantara, 2011) disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Kaizar Wu Ti, sekitar tahun 140 sebelum Masehi, ada pertunjukan bayang-bayang semacam wayang. Kemudian dikatakan bahwa pertunjukan ini menyebar ke India, baru kemudian dari India dibawa ke Indonesia. 

Untuk memperkuat hal ini, dalam majalah Koloniale Studien, seorang penulis mengemukakan adanya persamaan kata antara bahasa Cina Wa-yaah (Hokian), Wo-yong (Kanton), Woying (Mandarin), artinya pertunjukan bayang-bayang, yang sama dengan wayang dalam bahasa Jawa.

Pertunjukan wayang sesungguhnya melibatkan banyak seniman dari berbagai bidang yang antara lain meliputi dalang, nayaga (pengrawit, penabuh gamelan), waranggana (sinden, swarawati). Di samping itu juga tidak kalah pentingnya adalah peran empu penulis cerita, dan seniman tatah sungging sebagai orang yang berkarya membuat wayang kulit.

Kerjasama yang baik dari seniman berbagai bidang itu menghasilkan pertunjukan wayang yang memikat hati masyarakat. Kita bisa melihat beberapa seni sekaligus dalam pertunjukan wayang, yaitu meliputi seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan seni peran.

Seni pertunjukan wayang ini terus berkembang secara dinamis dan menjadikan wayang memiliki manfaat bagi masyarakat luas sebagai media pendidikan, sarana penyuluhan masyarakat, proses pemahaman filsafat, dan tentu saja sebagai hiburan.

Diakui Dunia Internasional

Wayang telah tumbuh dan berkembang menjadi aset budaya nasional yang juga diakui dunia dan telah ditetapkan oleh lembaga pendidikan, keilmuan dan kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (Unesco) sebagai karya besar peradaban manusia, mahakarya warisan budaya dunia dalam seni bertutur kata bagi kemanusiaan (World Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Pemerintah juga telah menetapkan tanggal 7 November sebagai Hari Wayang Nasional dengan Keppres No. 30 / Tahun 2018.

Dalam hal ini dalang mempunyai peran penting untuk menghidupkan karakter wayang dan menyampaikan nilai-nilai moralitas, budi pekerti, dan ajaran luhur yang terkandung di dalamnya, hingga disebut dalam bahasa Jawa sebagai ngudal piwulang (menguraikan pelajaran). Dari "ngudal piwulang" itulah kiranya awal mula muncul sebutan dalang.

Dalang mempunyai peran penting dalam menghidupkan karakter wayang dan menyampaikan nilai-nilai moralitas, budi pekerti, dan ajaran luhur yang terkandung di dalamnya.

Dalam literatur Jawa seorang daIang disebutkan bertugas ngudal piwulang (menguraikan pelajaran) kepada para penonton. Dari ngudal piwulang itulah kiranya asal mula sebutan dalang.

Oleh karena tugasnya tersebut, dalang harus memiliki bekal ilmu yang cukup, agar dapat menyampaikan isi cerita dan sekaligus pelajaran moral secara menarik, atraktif, bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai kekinian.

Dalang adalah juga sutradara, penulis lakon, narator, pemain karakter, penyusun iringan gamelan, penyanyi, penata pentas, dan pada dasarnya juga merupakan seorang pimpinan dalam pertunjukan wayang, khususnya bagi para seniman lain yang terlibat dalam pertunjukan itu (nayaga, waranggana, dll).

Beberapa dalang legendaris dari daerah Banyumas yang saya ketahui yaitu antara lain: Ki Dalang Yana dari Bangsa atau yang dikenal dengan Ki Dalang Situmang, Ki Dalang Nawan Partomihardjo, dan Ki Dalang Daulat. Selain itu ada juga Dalang: Ki Sugita Purbacarita, Ki Sikin Hadi Warsono, Ki Alip Suwarjana, Ki Sugina Siswacarita, Ki Cithut Purbacarita, dll.

Sedang untuk dalang yang saat ini eksis diantaranya adalah Ki Dalang Kukuh Bayu Aji, Ki Yakut Jedher, dan banyak lagi lain yang maaf karena keterbatasan pengetahuan saya tidak bisa menyebutkan semuanya.

Upaya untuk Menjaga Kelestarian Wayang

Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) adalah salah satu organisasi yang secara konsisten selalu berusaha memelihara, menghidupkan dan mengembangkan seni pedalangan dan pewayangan sebagai maha karya warisan budaya bangsa.

Menjelang tiba hari wayang sedunia pada 7 November yang akan datang Pepadi menggelar kegiatan Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda yang diikuti oleh generasi muda pecinta seni budaya wayang dan pedalangan.

Pepadi Kordinator Wilayah (Korwil) Banyumas bekerja sama dengan Yayasan Ki Dalang Nawan Partomihardjo menyelenggarakan Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda se-Eks Karesidenan Banyumas pada Sabtu 24 Oktober kemarin di Gedung Kesenian Soetedja, Purwokerto.

Bp. Sapto selaku Koordinator kegiatan festival tersebut mengatakan bahwa disamping untuk menyambut hari wayang sedunia, tujuan kegiatan ini juga sebagai upaya untuk mengangkat potensi bakat dalang bocah dan dalang muda se-Eks Karesidenan Banyumas yang meliputi Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Banjarnegara. Pemenang yang terpilih akan maju disertakan pada lomba serupa tingkat Provinsi Jawa Tengah di Semarang pada tanggal 28-29 Oktober yang akan datang.

Sesuai dengan nama kegiatan ini, peserta terdiri atas dalang bocah dan dalang muda. Yang dimaksud dengan peserta dalang bocah yaitu peserta berusia 13 tahun ke bawah, sementara untuk dalang muda sebenarnya terbagi menjadi dua kategori, yakni usia 13-19 tahun dan usia 19-30 tahun. Dalam festival ini pihak Panitia hanya menjaring dalang muda (remaja) usia 13-19 tahun.

Kegiatan lomba berlangsung secara marathon dari pagi sekitar pukul 09.30 s.d 21.30 WIB. Tampil tujuh orang dalang yang merupakan para juara di tingkat kabupaten. 

Mereka terdiri atas tiga peserta dalang bocah dari Kabupaten Banyumas, Cilacap, dan Purbalingga. Untuk kategori dalang muda diikuti empat peserta dari Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara.

Dari kiri: Bp. Jarot Setyoko (Ketua Dewan Kesenian Banyumas, Bp. Bambang Barata Aji (Ketua Pepadi Korwil Banyumas), dan penulis. | Dokpri.
Dari kiri: Bp. Jarot Setyoko (Ketua Dewan Kesenian Banyumas, Bp. Bambang Barata Aji (Ketua Pepadi Korwil Banyumas), dan penulis. | Dokpri.

Kegiatan ini dihadiri Ketua Pepadi Kabupaten Banyumas Bp. Sriyono, Ketua Pepadi Korwil Banyumas yang juga Ketua Yayasan Ki Dalang Nawan Partomihardjo yaitu Bp. Bambang Barata Aji, dan beberapa pengurus Pepadi dari beberapa kabupaten peserta, Ketua Dewan Kesenian Banyumas Bp. Jarot Setyoko, pecinta wayang, dan seniman budayawan lainnya. Tampak hadir pula Ki Dalang Banjaran dari Kelurahan Kober, Purwokerto.

Tiga orang juri dari Pepadi Provinsi Jawa Tengah yang diketuai oleh Bp. Widodo menilai penampilan peserta dengan beberapa kriteria penilaian. Penilaian secara umum untuk dalang bocah lebih ditekankan pada tata bahasa dan nilai-nilai budi pekerti, sedangkan untuk dalang muda (remaja) penilaiannya lebih banyak dengan meliputi aspek antara lain: suluk, sabetan, keprak, lakon, dll.

Dari hasil penilaian para juri, akhirnya diputuskan sebagai juara pertama untuk kategori dalang bocah yaitu Catur Putera Sinatria dari Kabupaten Banyumas, dan juara pertama untuk kategori dalang muda yaitu Antonius Boma Sotya dari Kabupaten Cilacap. Para juara lomba ini masing-masing mendapatkan plakat, sertifikat, dan uang pembinaan.

Bp. Sriyono sebagai Ketua Pepadi Kabupaten Banyumas merasa puas menyaksikan penampilan para peserta dan antusiasme generasi muda yang berkiprah di dunia seni budaya wayang dan pedalangan. Beliau optimis regenerasi di eks-Karesidenan Banyumas dapat berjalan seperti yang diharapkan.

Sementara Ketua Pepadi Korwil Banyumas yaitu Bp. Bambang Barata Aji juga menyampaikan hal serupa. Ia juga merasa bangga dan yakin para juara ini dapat tampil baik pada babak selanjutnya di tingkat provinsi nanti.

Foto penulis dan Bp. Sriyono (kanan) Ketua Pepadi Kab. Banyumas. | Dokpri
Foto penulis dan Bp. Sriyono (kanan) Ketua Pepadi Kab. Banyumas. | Dokpri

Lebih lanjut dikatakan oleh Bp. Bambang Barata Aji yang juga Ketua Yayasan Ki Dalang Nawan Partomihardjo bahwa kegiatan ini merupakan sebuah upaya untuk menjaga semangat dan jiwa optimistis khususnya pada kalangan generasi muda, di tengah suasana pandemi yang sering disikapi secara pesimistis. 

Menurut dia, dampak pandemi yang belum sepenuhnya lenyap dari kehidupan kita saat ini, tidak semestinya membuat kita berhenti dan patah semangat.

Dalang Muda Antonius Boma Sotya (tengah) didampingi Bp. Nuryanto (kanan) dari Pepadi Kab. Cilacap, dan penulis (kiri). | Dokpri.
Dalang Muda Antonius Boma Sotya (tengah) didampingi Bp. Nuryanto (kanan) dari Pepadi Kab. Cilacap, dan penulis (kiri). | Dokpri.

Antonius Boma Sotya juara satu kategori dalang muda (remaja) Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda 2020 yang saya temui seusai acara menyebutkan bahwa ia termotivasi menekuni seni wayang kulit sejak kecil karena dulu mendiang ayahnya adalah seorang dalang. 

Ia kini suduh lulus dari SMKI Surakarta  dan berharap dapat segera melanjutkan pendidikannya di ISI Surakarta agar dapat lebih banyak berperan dalam melestarikan seni budaya wayang dan pedalangan.

Kelihaian Antonius Boma Sotya dalam menghidupkan karakter wayang cukup istimewa. Anda dapat menyaksikan aksi dalang muda ini pada video rekaman saya berikut ini.

Kepada generasi muda seperti mereka itulah digantungkan harapan untuk menjaga kelestarian seni budaya Indonesia di masa depan. 

Namun merawat dan menjaga wayang sebagai aset warisan budaya bangsa Indonesia yang juga menjadi warisan peradaban manusia di dunia ini sesungguhnya adalah kewajiban dan tugas mulia yang perlu disadari oleh semua pihak.

Peranserta Masyarakat Menjaga Kelestarian Budaya

Untuk itulah kiranya Yayasan Ki Dalang Nawan Partomihardjo di Desa Karangnangka, Kabupaten Banyumas, seperti dikatakan oleh Bibi Retno seorang anak perempuan dari mendiang Ki Dalang Nawan Partomihardjon didirikan untuk menjadi lembaga masyarakat yang giat mengadakan kegiatan pelestarian dan pendidikan seni budaya khususnya wayang di desanya.

 Bibi Retno (ketiga dari kiri) keturunan Ki Dalang Nawan Partomihardjo, Bp. Sapto (paling kiri) koord. festival, dan penulis (paling kanan) | Dokpri.
 Bibi Retno (ketiga dari kiri) keturunan Ki Dalang Nawan Partomihardjo, Bp. Sapto (paling kiri) koord. festival, dan penulis (paling kanan) | Dokpri.

Kita semua memang hendaknya harus terus berupaya meningkatkan kesadaran dan kecintaan masyarakat Indonesia terhadap aset budaya bangsa, khususnya wayang dan seni pedalangan, yang sudah diakui dunia internasional ini.

Salam budaya. 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun