Dalam upaya untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial di tengah masyarakat, Sultan Agung Hanyakra Kusuma (1593 - 1645) pada masa kekuasaannya membuat kalender Jawa.
Kalender Jawa ini tidak jauh berbeda dengan kalender Hijriyah. Beberapa nama bulan pada kalender Hijriyah digunakan dan diubah oleh Sultan Agung menjadi nama-nama baru yang merupakan kata serapan dalam Bahasa Jawa, untuk memudahkan dan menyesuaikan dengan lidah dan pengucapan rakyat Jawa.
Selengkapnya urutan bulan pada kalender Jawa adalah: Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rajab, Ruwah, Pasa, Syawal, Sela, dan Besar.
Untuk menghormati dan menjaga nilai-nilai moral dan sosial yang sudah berlaku, maka awal hitungan tahun kalender Jawa oleh Sultan Agung dibuat tidak mengikuti kalender tahun Hijriyah, tapi melanjutkan tahun pada kalender Saka yang sudah digunakan oleh masyarakat Jawa sejak ratusan tahun sebelumnya.
Ketika itu adalah tahun 1555 Saka yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1043 H, dengan demikian rakyat Jawa mulai menggunakan kalendernya pada Jumat Legi, 1 Sura 1555 Ja atau 8 Juli 1633 M. (Sumber: Kalender Jawa, Wikipedia).
Dalam pandangan saya, kebijakan Sultan Agung ini adalah kebijakan strategis untuk menjaga agar upacara-upacara adat tradisi masyarakat Jawa yang beraneka ragam dapat diselenggarakan, sekaligus menghargai jadwal kegiatan ibadah umat Islam.Â
Upaya Sultan Agung menyesuaikan kegiatan adat istiadat dengan waktu pelaksanaan kegiatan ibadah umat Islam itu dengan demikian adalah untuk membangun suasana saling menghormati diantara pemeluk agama, menghindari terjadinya benturan budaya yang berbeda, dan menjaga suasana yang kondusif di tengah masyarakat.
Kebijakan ini adalah juga merupakan langkah cerdas, kebesaran hati dan sumbangan Sultan Agung bagi terciptanya perdamaian abadi di Tanah Jawa. Rakyat pun memahami langkah kebijakan Sultan Agung yang merupakan resolusi bagi terwujudnya perdamaian di Tanah Jawa ini sebagai sebuah kemenangan besar. Tidak heran bila rakyat menyambut tahun baru Jawa ini dengan suka cita di seluruh wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram.
Pada perayaan tahun baru kalender Jawa yang diadakan setiap bulan Sura itu, yang biasa disebut dengan Suran, masyarakat Jawa berdoa. Selain itu juga berkumpul untuk bersama membaca kidung atau syair-syair petuah dari orang-orang bijak dan para pujangga kraton, berziarah ke makam-makam leluhur, dan kegiatan-kegiatan adat berupa tirakat atau berpuasa, mencuci pusaka, dll.
Untuk menambah semarak dan meriah suasananya maka diselenggarakan juga aneka macam bentuk kesenian, yang dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Gusti Allah yang telah memberi kehidupan, menurunkan hujan yang mengairi sawah ladang, dan menganugerahkan tanah subur yang memberikan hasil bumi untuk kesejahteraan.
Dalam kesempatan istimewa ini para seniman diberi kesempatan luas untuk menunjukkan hasil kreasinya, menampilkan komposisi musik gamelan dan karawitan, seni tari, tembang Jawa, dan bahkan juga sering kali mereka berkesempatan menampilkan pertunjukan-pertunjukan seni teaterikal yang unik.
Berbagai bentuk kreativitas seni budaya yang ditampilkan itu semua mengandung arti filosofi, memuat ajaran moral, bukan untuk hura-hura atau hanya menekankan aspek hiburan dan estetika tanpa tanggung jawab bagi kehidupan sosial masyarakat yang harmonis dan religius.
Warga masyarakat di bawah kekuasaan Sultan Agung yang pada umumnya adalah para petani, nelayan, pekerja kebun, peternak, dan sebagainya itu dengan penuh semangat menyelenggarakan kesempatan berkumpul ini dengan cara gotong royong di daerah masing-masing di seluruh wilayah Kesultanan Mataram.Â
Ada yang menyumbang uang, tapi pada umumnya yang lebih banyak lagi adalah menyerahkan hasil bumi untuk digunakan oleh panitia bagi keperluan acara. Oleh karena itu kegiatan ini lambat laun banyak disebut juga sebagai sedekah bumi.
Hasil bumi yang dikumpulkan dari berbagai pelosok desa itu digunakan untuk keperluan acara, selebihnya akan disusun sedemikian rupa hingga saking banyaknya membentuk gunungan.
Sebagai sebuah bentuk festival rakyat yang dirancang untuk menciptakan suasana bahagia penuh kemeriahan, maka gunungan itu pada puncak acara akan diserahkan dan disengaja menjadi rebutan diantara para penonton.
Tujuan kegiatan perayaan ini dalam pengamatan saya bukan hanya untuk menyambut datangnya tahun baru tapi juga menjaga tradisi gotong royong yang sudah ada di tengah masyarakat, menciptakan suasana penuh rasa syukur dan kebahagiaan, menjaga suasana hati penuh semangat dan harapan di tengah masyarakat, menjaga kehidupan harmonis, sekaligus mewujudkan kelestarian seni budaya, dan yang tidak kalah penting adalah menjaga kegiatan ekonomi terus bergerak.
Para pedagang keliling yang mendatangi lokasi kegiatan juga mendapatkan berkah dari pelaksanaan kegiatan tersebut.
Perayaan Tahun Baru Jawa itu dirayakan di seluruh wilayah kekuasaan Sultan Agung Hanyakra Kusuma, dan hingga kini masih terus dilakukan oleh masyarakat Jawa.Â
Tentu saja ada beberapa variasi bentuk kegiatan yang berbeda, menyesuaikan dengan kemampuan dan jenis kesenian yang dikuasai masyarakat di masing-masing daerah.Â
Namun yang jelas oleh karena perayaan ini pada dasarnya melibatkan koordinasi dan kerjasama dengan banyak unsur masyarakat maka tidak semua orang atau kelompok masyarakat dapat menyelenggarakan. Oleh sebab itu juga pelaksanaan perayaan tahun baru Jawa ini tidak harus dilakukan tepat pada hari tanggal pergantian tahun.
Menyaksikan Perayaan Tahun Baru Jawa
Pada 6 September 2020 yang lalu saya berkesempatan menyaksikan perayaan tahun baru kalender Jawa di Desa Karangnangka Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Kegiatan ini diadakan oleh Keluarga Besar Ki Dalang Nawan Partomihardjo, seorang dalang asli warga Banyumas yang hidup pada tahun 1918 - 1988.
Perayaan ini dilakukan lebih dari dua pekan setelah pergantian tahun baru Jawa pada  tangggal 1 Sura 1954 Ja yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1442 H atau tanggal 20 Agustus 2020.
Menurut pengakuan seorang panitia yang juga salah seorang putera dari Ki Dalang Nawan Partomihardjo yaitu Bp. Bambang Barata Aji, kegiatan ini pada awalnya tidak direncanakan sama sekali, mengingat keadaan saat ini yang masih dalam masa pandemi dan juga karena faktor keterbatasan dana.Â
Tapi berkat dorongan dan bantuan dari sahabat-sahabat dan keluarga, setelah bermusyawarah dengan pemerintah daerah setempat mengenai bentuk kegiatan yang sesuai dengan ketentuan protokol pencegahan Covid-19, maka kegiatan ini akhirnya mendapat izin untuk digelar.
Dengan dibantu pengawalan dari aparat keamanan, dan menjaga ketentuan protokol pencegahan Covid-19, kegiatan tersebut berjalan lancar hingga selesai akhir acara.
Rangkaian kegiatan perayaan diawali pada malam hari sebelumnya dengan pembacaan kidung (syair-syair petuah) oleh para sesepuh, ziarah ke makam para leluhur desa, dan dilanjutkan dengan ziarah ke makam Ki Dalang Nawan Partomihardjo dan sesepuh keluarga.
Kemudian pada pagi keesokan harinya, dimulailah acara pembuka berupa gubrak lesung. Dahulu ini adalah kegiatan rutin pagi hari yang dilakukan oleh para isteri petani, yaitu menumbuk padi dengan alu dan lesung. Tumbukan berulang kali itu menimbulkan irama yang lambat laun menjadi semacam pertunjukan musik etnik perkusi.
Seusai gubrak lesung, secara resmi acara dibuka dengan bersama menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, membaca Pancasila, dan sambutan tunggal dari Bp. Bambang Barata Aji selaku perwakilan keluarga.
Dalam sambutannya, dikatakan bahwa untuk menghindari terjadinya kerumunan yang dapat meningkatkan risiko penyebaran virus, maka panitia kali ini tidak membuat undangan atau pengumuman resmi. Kegiatan ini juga dilakukan secara terbatas, hanya untuk warga setempat dan kalangan dekat saja.
Sesuai dengan temanya yaitu Merawat Tradisi Menjaga Asa dalam Pandemi, panitia berharap melalui kegiatan ini para seniman dapat berperan serta membangun harapan, menjaga semangat, membangkitkan daya kreativitas dan menggerakkan masyarakat agar dapat memiliki kekuatan dalam menghadapi pandemi, dan terbebas dari dampak pandemi.
Kegiatan yang secara resmi oleh Panitia disebut Sedekah Bumi Suran Trah Dalang Nawan 2020 ini juga menampilkan karawitan, tarian anak, kolaborasi gamelan-instrumen musik Barat, dll.
Ketika tiba waktunya untuk istirahat, para tamu dan hadirin diajak menikmati makanan yang tersaji berupa nasi tumpeng dengan berbagai jenis menu olahan yang telah disediakan oleh Panitia.
Seperti dikatakan oleh Bp. Bambang Barata Aji, pandemi yang melanda seluruh dunia ini hendaknya disikapi secara positif. Kita harus dapat memetik hikmah dari pandemi yang masih berlangsung hingga saat ini.Â
Barangkali ini adalah cara alam menata dirinya. Setelah pandemi, kita dapat melihat alam yang lebih segar, langit menjadi lebih cerah, ikan di sungai menjadi bertambah banyak, dsb.Â
Untuk keluar dari dampak pandemi ini maka kita tidak boleh kehilangan asa. Dengan dilandasi semangat gotong royong bangsa Indonesia tentu akan dapat keluar dari krisis yang diakibatkan oleh pandemi.
Berikut ini adalah rekaman pelaksanaan perayaan tahun baru Jawa di Desa Karangnangka Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, yang diadakan oleh Keluarga Besar Ki Dalang Nawan Partomihardjo.
Video ini memperlihatkan suasana perayaan tahun baru Jawa, anak-anak bernyanyi (tembang dolanan) yang diiringi gamelan, tari Gambyong Banyumasan, tari Baladewa, kolaborasi gamelan dan instrumen musik Barat, wawancara dengan Bibi Retno dan Bp. Bambang Barata Aji (putera / perwakilan keluarga Ki Dalang Nawan Partomihardjo), dll.
Kesimpulan
Kegiatan merayakan tahun baru Jawa dilakukan secara mandiri oleh warga masyarakat, dilakukan secara gotong royong, sejak masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakra Kusuma.Â
Kegiatan ini memiliki tujuan religius berupa antara lain adalah sebagai ungkapan rasa syukur terhadap kemurahan yang dilimpahkan Gusti Allah berupa tanah yang subur bagi kehidupan dan kesejahteraan, untuk sekaligus memohon senantiasa diberkahi dalam mencari rezeki serta berharap dijauhkan dari malapetaka atau bencana (alam, sosial, ekonomi, dll.), untuk mengharap keselamatan di dunia dan akhirat.
Selain itu kegiatan perayaan tahun baru kalender Jawa yang biasa disebut dengan Suran atau Grebeg Suran ini juga memiliki nilai-nilai moral sosial, menunjukkan upaya menjaga kerukunan antar warga yang tampak nyata pada saat pelaksanaan acara  makan tumpeng bersama seluruh warga.
Demikian yang saya bisa saksikan dari perayaan tahun baru Jawa di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Beberapa hal dari tulisan ini adalah pendapat pribadi saya yang bila kurang tepat, saya mohon maaf. Mari kita saling berbagi informasi yang bermanfaat dan mencerdaskan.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H