Mohon tunggu...
Try Raharjo
Try Raharjo Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Republik

Subscribe ya dan like channel YouTube punyaku youtube.com/c/indonesiabagus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suran 2020: Merawat Tradisi Menjaga Asa dalam Pandemi

17 September 2020   21:02 Diperbarui: 20 September 2020   02:12 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam upaya untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial di tengah masyarakat, Sultan Agung Hanyakra Kusuma (1593 - 1645) pada masa kekuasaannya membuat kalender Jawa.

Kalender Jawa ini tidak jauh berbeda dengan kalender Hijriyah. Beberapa nama bulan pada kalender Hijriyah digunakan dan diubah oleh Sultan Agung menjadi nama-nama baru yang merupakan kata serapan dalam Bahasa Jawa, untuk memudahkan dan menyesuaikan dengan lidah dan pengucapan rakyat Jawa.

Selengkapnya urutan bulan pada kalender Jawa adalah: Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rajab, Ruwah, Pasa, Syawal, Sela, dan Besar.

Untuk menghormati dan menjaga nilai-nilai moral dan sosial yang sudah berlaku, maka awal hitungan tahun kalender Jawa oleh Sultan Agung dibuat tidak mengikuti kalender tahun Hijriyah, tapi melanjutkan tahun pada kalender Saka yang sudah digunakan oleh masyarakat Jawa sejak ratusan tahun sebelumnya.

Ketika itu adalah tahun 1555 Saka yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1043 H, dengan demikian rakyat Jawa mulai menggunakan kalendernya pada Jumat Legi, 1 Sura 1555 Ja atau 8 Juli 1633 M. (Sumber: Kalender Jawa, Wikipedia).

Dalam pandangan saya, kebijakan Sultan Agung ini adalah kebijakan strategis untuk menjaga agar upacara-upacara adat tradisi masyarakat Jawa yang beraneka ragam dapat diselenggarakan, sekaligus menghargai jadwal kegiatan ibadah umat Islam. 

Upaya Sultan Agung menyesuaikan kegiatan adat istiadat dengan waktu pelaksanaan kegiatan ibadah umat Islam itu dengan demikian adalah untuk membangun suasana saling menghormati diantara pemeluk agama, menghindari terjadinya benturan budaya yang berbeda, dan menjaga suasana yang kondusif di tengah masyarakat.

Kebijakan ini adalah juga merupakan langkah cerdas, kebesaran hati dan sumbangan Sultan Agung bagi terciptanya perdamaian abadi di Tanah Jawa. Rakyat pun memahami langkah kebijakan Sultan Agung yang merupakan resolusi bagi terwujudnya perdamaian di Tanah Jawa ini sebagai sebuah kemenangan besar. Tidak heran bila rakyat menyambut tahun baru Jawa ini dengan suka cita di seluruh wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram.

Pada perayaan tahun baru kalender Jawa yang diadakan setiap bulan Sura itu, yang biasa disebut dengan Suran, masyarakat Jawa berdoa. Selain itu juga berkumpul untuk bersama membaca kidung atau syair-syair petuah dari orang-orang bijak dan para pujangga kraton, berziarah ke makam-makam leluhur, dan kegiatan-kegiatan adat berupa tirakat atau berpuasa, mencuci pusaka, dll.

Untuk menambah semarak dan meriah suasananya maka diselenggarakan juga aneka macam bentuk kesenian, yang dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Gusti Allah yang telah memberi kehidupan, menurunkan hujan yang mengairi sawah ladang, dan menganugerahkan tanah subur yang memberikan hasil bumi untuk kesejahteraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun