Informasi adalah salah satu kebutuhan manusia disamping kebutuhan pokok sandang, pangan, papan dll. Pada masa awal peradaban manusia, informasi sangat dibutuhkan untuk keperluan antara lain mendapatkan informasi lokasi hewan buruan, tanah yang subur, tempat yang aman untuk berlindung, dll.
Dengan kecerdasan dan kemajuan peradaban manusia maka terciptalah alat menyampaikan informasi, dari cara sederhana seperti membuat asap, meniup terompet, membuat kentongan, dst. hingga kini menggunakan alat komunikasi canggih.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan peradaban manusia pula, informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat menjadi lebih bervariasi dan berkembang. Tidak lagi hanya seputar mengenai kebutuhan pokok, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan bersosialisasi.
Informasi yang disampaikan pun kini bentuknya lebih beragam, dari sekadar pesan tulisan, pesan gambar, hingga kini berupa pesan audio visual.
Sampai disini Anda pasti setuju bila saya katakan bahwa semua informasi dalam berbagai bentuk, hendaknya memiliki manfaat untuk penerima.
Tapi kenyataannya, hingga abad ke-21 ini tidak semua informasi itu disampaikan untuk mendatangkan manfaat bagi penerima. Orang-orang dengan kepentingan tertentu dapat memanfaatkan kepercayaan yang diberikan orang kepadanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Sejarah membuktikan bahwa informasi palsu termasuk fitnah dapat menyebabkan permusuhan, perang, genosida dan konflik yang menyebabkan perpecahan suatu bangsa, untuk memenuhi ambisi perseorangan atau kelompoknya.
Tumpulnya Kecerdasan di Era Millenium
Pada kondisi sebagian besar warga masyarakat belum memiliki kecerdasan menggunakan media sosial, informasi palsu sangat mudah disebarkan.
Kecerdasan yang dimaksud disini adalah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan emosional adalah menyangkut kemampuan mengendalikan hawa nafsunya dalam menanggapi informasi. Orang yang tumpul kecerdasan emosionalnya itu mudah dipicu oleh informasi yang sensasional, dan enggan menelisik atau melakukan verifikasi terhadap sumber informasi.
Sementara kecerdasan spiritual adalah menyangkut kemampuan memilah informasi yang baik dan tidak baik sesuai moralitas.Â
Gemar menyebarkan informasi yang mengundang perselisihan dan permusuhan, atau gemar menyebarkan foto-foto dan video korban pembunuhan atau korban tindak asusila misalnya, adalah gejala tidak memiliki rasa empati kepada sesama (dalam hal ini terhadap korban) yang merupakan tanda tumpulnya kecerdasan spiritual.
Informasi palsu mudah dipercaya oleh masyarakat yang tumpul kecerdasannya
Realitas yang kita hadapi saat ini adalah lebih banyak pengguna media sosial mudah mempercayai informasi-informasi sensasional yang belum tentu sesuai fakta, yang disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Dan parahnya lagi, informasi palsu tersebut kembali dibagikan oleh orang-orang tertentu, yang menurut saya memiliki motivasi antara lain sbb.
1. Informasi dibagikan oleh orang yang memiliki pengaruh, termasuk disini adalah para tokoh publik.
Sebuah informasi yang dibagikan oleh tokoh masyarakat, biasanya akan langsung dipercaya oleh para pendukungnya. Mereka akan langsung membagikan dan cenderung tidak mau melakukan cek dan konfirmasi lebih dulu. Apalagi kalau dalam pesan tersebut dicantumkan kata-kata seperti: viralkan, bagikan sebanyak-banyaknya, dsb.Â
2. Merasa perlu membagikan informasi tersebut karena butuh perhatian.
Sebuah informasi palsu sering dibagikan oleh orang yang merasa ingin berbuat sesuatu untuk kelompoknya. Mereka tidak peduli bahwa informasi ini memberikan manfaat atau tidak, yang dia harapkan hanyalah perhatian, dan oleh karena itu mereka cenderung tidak mau melakukan cek dan konfirmasi lebih dulu. Â
Apakah di group media sosial yang anda ikuti ada yang suka menyebarkan hoax? Mungkin dia melakukan itu karena butuh perhatian saja. Mungkin saja kan? He he he...
3. Tidak tahu bahwa informasi tersebut adalah informasi palsu.
Sering kali informasi palsu menggunakan kata pembuka yang heboh dan sensasional, menimbulkan emosi dan memancing emosi. Akibatnya orang langsung beraksi secara spontan, tanpa melakukan cek dan konfirmasi lebih dulu.
Menurutsaya ini sebenarnya akibat dari rendahnya minat membaca, malas mencari tahu lebih dalam tentang hal tersebut.
Nah, dengan mengenali beberapa karakteristik tersebut di atas, kita bisa melihat bahwa maraknya informasi palsu di tengah masyarakat tidak lepas dari faktor tumpulnya kecerdasan dalam menggunakan media sosial.
Pada masa pandemi seperti sekarang ini, dampak yang harus kita hindari dari maraknya informasi palsu adalah turunnya kepercayaan kepada para ahli medis.
Beralihnya kepercayaan masyarakat terhadap orang-orang yang tidak menguasai dunia medis menjadi ancaman bagi matinya kepakaran medis, yaitu ketika orang lebih percaya tentang pengobatan Covid-19 yang diuraikan oleh misalnya musisi atau seniman daripada kepada ahli medis yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas di bidangnya.
Akibatnya, hilang kepatuhan orang terhadap nasihat dan protokol kesehatan Covid-19 yang diberikan oleh tenaga medis, ditolaknya kehadiran tenaga medis dan paramedis, dan bahkan mereka dianggap bagian dari konspirasi jahat untuk mengambil keuntungan ekonomi.
Kita tentu tidak mengharapkan terjadi hal demikian. Mari tetap cerdas dan menggunakan akal sehat, menjaga moral kita dan bekerja sama melawan pandemi.
Mohon maaf bila ada hal yang tidak tepat dalam saya mengemukakan pandangan. Sekian. Salam kebajikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H