Mohon tunggu...
Triono Hadi
Triono Hadi Mohon Tunggu... Konsultan - Triono Hadi, bekerja di Fitra Riau

Koordinator Fitra Riau

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Geliat Restorasi Gambut, Perlu Pengawasan

8 Mei 2019   13:42 Diperbarui: 8 Mei 2019   20:55 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen APBD 2015-2018

Tahun 2019 merupakan tahun ketiga implementasi program restorasi gambut secara massif setelah dibentuknya badan khusus restorasi gambut (Badan Restorasi Gambut) melalui Perpres nomor 1 tahun 2016. 

BRG diberikan mandate untuk menjalankan program restorasi gambut, baik dikawasan budidaya berizin maupun kawasan budidaya non izin dan kawasan lindung. Restorasi gambut menjadi strategi pemerintah dalam upaya mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia. 

Beragam setrategi direncanakan, termasuk menetapkan areal target/prioritas restorasi, dengan tujuan agar tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan khususnya kawasan gambut di Indonesia. 

BRG telah menetapkan peta indikatif restorasi gambut, berdasarkan keputusan Kepala BRG No. SK.05/BRG/Kpts/2016 target restorasi gambut seluas 2,49 juta hektar dimana 1,4 juta hektar diantaranya berada pada areal budidaya berizin, baik izin usaha perkebunan maupun hutan tanaman, seluas 684.638 hektar berada pada kawasan lindung, dan 396.943 hektar pada kawasan budidaya lainnya. 

Bahkan tahun 2018, BRG kembali mengeluarkan Keputusan Kepala BRG perubahan Peta Indikatif Restorasi dalam keputusan Kepala Badan Restorasi gambut, nomor SK.18/BRG/KPTS/2018, tentang perubahan Peta Indikatif Restorasi Gambut, telah ditetapkan target restorasi gambut seluas 2,6 juta hektar yang tesebar di 7 provinsi. Target areal restorasi tersebut berada kawasan lindung (491.791 ha), kawasan budidaya perizinan (1,784.353 ha) kawasan budidaya tidak berizin (400.457 ha).

Tiga strategi dan pendekatan yang digunakan dengan melakukan restorasi Gambut yaitu Rewetting, Revegetation, dan Revitalization. Tiga pendekatan tersebut, menjadi cara yang paling tepat untuk melakukan pemulihan terhadap lahan dan hutan gambut yang terdegradasi. Rewetting sebagai bentuk pemulihan lahan gambut melalui pembasahan kembali dengan cara pembangunan sekat kanal, pembangunan sumur bor. 

Revegetation adalah penanaman kembali melalui persemaian, penanaman, hingga regerenasi alami. Revitalization adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian, perikanan hingga ekowisata. 

Tiga konsep ini pula yang dilakukan secara langsung oleh BRG untuk wilayah target restorasi yang tidak berizin. Sementara untuk wilayah konsesi, pemulihan atas gambut yang tergedradasi menjadi tangungjawab penguasa lahan (koorporasi) yang dilakukan atas supervise dan asistensi oleh pemerintah baik oleh BRG maupun Kementrian LHK.

Untuk mencapai target restorasi yang ditetapkan, BRG membangun kerjasama dengan berbagai pihak, swasta, masyarakat, pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil ditingkat lokal dan nasional. Begitu juga pendanaanya, selain menggunakan APBN dan APBD program restorasi juga dilakukan dengan kerjasama pendanaan dari luar negeri, yang secara langsung dikerjakan oleh organisasi masyarkaat sipil. 

Di Provinsi Riau, misalnya, terdapat skenario pelaksanaan program restorasi gambut yang beragam. Mulai dari pelaksanaan program yang langsung dikerjakan oleh BRG dengan bekerjasama masyarakat lokal pada areal desa yang disebut Desa Peduli Gambut (DPG), juga terdapat program restorasi yang dikerjakan oleh kelompok masyarakat sipil. 

Sebagai kontirbusi pemerintah daerah dalam upaya restorasi gambut juga membentuk Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD), namun sejauh ini praktek pelaksanaan restorasi gambut di daerah dalam bentuk penugasan dari pemerintah pusat malalui Kementrian LHK.

Upaya yang sistematis dan masif, restorasi gambut sejauh ini berkontrisbusi terhadap penurunan angka kebakaran hutan dan lahan. Bahkan Kepala BRG Nazir Fuad,  mengklaim program restorasi yang dikerjakan oleh BRG mampu berkontribsu signifikan terhadap penurunan angka kebakaran khususnya lahan gambut di Indonesia (Baca: tirto, 29 januari 2019). 

Kondisi tersebut sulit ditampik, karena kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indoensia tiga tahun terakhir terjadi penurunan yang sangat signifikan, setalah kebakaran yang terjadi pada tahun 2015 silam yang memberikan dampak kerugian materil dan non materil yang luar biasa. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa upaya pengendalian kebakaran juga tidak hanya berasal dari program restorasi gambut, upaya massif pengendalian yang dilakukan oleh berbagai pihak juga berperan penting terhadap penurunan.

Sumber: Dokumen APBD 2015-2018
Sumber: Dokumen APBD 2015-2018

Di Provinsi Riau misalnya, paska 2015, anggaran yang digelontorkan dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan juga semakin meningkat. Baik yang berasal dari anggaran daerah provinsi Riau maupun kabupaten Kota di provinsi Riau. Fitra Riau mencatat, alokasi anggaran untuk pengendalian karhutla mengalami peningkatan yang signifikan di Provinsi dan 7 Kabupaten/kota yang rawan kebakaran hutan dan lahan. (lihat grafik).

Selain keberhasilan restorasi, fakta lainnya menyebutkan bahwa pada tahun 2018, juga masih terjadi kebakaran hutan dan lahan meskipun tidak semasif yang terjadi tahun sebelumnya (2015). 

Bahkan, kondisi kejadian kebakaran hutan dan lahan juga terjadi dilahan gambut, yang menjadi target prioritas restorasi gambut maupun diwilayah konsesi perusahaan yang tersebar di tujuh provinsi wilayah target restorasi. 

Dari informasi tersebut, menunjukkan bahwa temuan titik panas pada wilayah prioritas restorasi dan  moratorium sepanjang agustus 2018 sebanyak 53% dibanding wilayah yang bukan prioritas dan non moratorium gambut (sumber: Laporan Pantau gambut, 2018). 

Kondisi ini mengambarkan bahwa belum semua target restorasi mampu dicegah secara baik untuk tidak terjadi kebakaran, meskipun masih perlu didalami apakah wilayah yang ditemukan hotspot atau firespot berada pada wilayah yang telah dijalankan program restorasi atau daerah yang menjadi lokasi target namun belum terlaksana program restorasi.

Besarnya sumberdaya (anggaran) yang diarahkan untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan dari berbagai sumber perlu diarahkan untuk pencapaian target pengendalaian karhutla salah satunya dengan skema restorasi gambut. Hal itu diperlukan karena dominasi kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah berada dikawasan gambut. 

Besarnya sumberdaya anggaran yang diarahkan untuk pengendalian kebakaran diperlukan sinergisitas antara berbagai pihak dengan melihat prioritas dan persoalan kebakaran yang terjadi. Tentunya dengan dukungan perencanaan yang baik sistematis dan terukur, agar intervensi pengendalian kebakaran hutan dan lahan khususnya gambut dapat diselesaikan secara efektif dan efisien.

Pada situasi lainnya, peran masyarakat sebagai subjek dan objek restorasi mesti terlibat secara penuh untuk memastikan keberhasilan program restorasi yang dilakukan khususnya pada wilayah budidaya non izin (lahan masyarakat). 

Dapat dikatakan berhasil manakala, warga/masyarakat mampu berperan dan berpartisipasi dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta adanya ruang fasilitas yang disiapkan untuk berkomunikasi, koordinasi secara memadai.

Hal itu untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan pelaksanaan program guna mencapai target yang diharapkan. Problem perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program restorasi ditenggari menjadi problem dalam  yang memicu implementasi program restorasi khususnya di wilayah area gambut no izin belum efektif. 

Diindikasikan, keterlibatan masyarakat dalam perencanaan program belum maksimal. Masyarakat hanya terlibat dalam pelaksanaan program sebagai pelaksana dari program yang telah dirancang oleh pihak-pihak yang menjadi pelaksana utama restorasi seperti BRG, Pemerintah daerah (TRGD), CSO yang bekerja langsung dalam kegiatan restorasi.

Tingkat pengawasan atas implementasi pelaksanaan program juga belum optimal. Pengawasan yang hanya mengandalkan pengawasan resmi pemerintah tidak mampu menjangkau pada tingkat dampak yang dihasilkan dan dirasakan oleh masyarakat. 

Indikasi partisipasi masyarakat yang minim juga disebabkan oleh belum adanya sistem yang mampu memudahkan masyarakat dalam pengawasan. Masyarakat justru merasa  program restorasi berdampak negative terhadap keberlanjutan usaha ekonomi khususnya yang berbasis lahan. 

Dorongan sistem yang memberikan ruang partisipasi pengawasan pelaksanaan program menjadi penting, salah satunya adalah bagaimana masyarakat dapat mengukur hasil kinerja program tersebut dengan cara-cara yang baik.

Target restorasi yang cukup dominan adalah pada wilayah konsesi perizinan baik perkebunan maupun hutan tanaman. Merujuk perta indikatif restorasi setelah perubahan adanya lebih dari 1,7 juta hektar target restorasi yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh pemilik konsesi itu sendiri. 

Situasinya adalah masyarakat sulit untuk mendapatkan informasi terhadap pemegang izin terhadap apa yang sudah dilakukan. 

Sehingga pengawasan hanya dilakukan pada tataran identifikasi kawasan terbakar diwilayah konsesi. Untuk itu perlu mendorong adanya ruang agar transformasi pengetahuan serta publikasi informasi dan membangun kolaborasi bersama antar pihak (Pemerintah, Swasta dan Komunitas) dalam pengawasan implementasi program restorasi dikawasan yang tidak berizin, sampai kepada penegakan hukum bagi yang melanggar***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun