Sesuatu yang viral seakan-akan menjadi breakthrough seseorang untuk menjadi terkenal. Entah cara mana yang ditempuh, yang penting viral dulu. Konsekuensinya tinggal dilihat nanti.Â
Jika itu baik, tinggal dilanjutkan saja. Tetapi kalau bersifat buruk, tinggal meminta maaf atas kejadian tersebut. Hal tersebut sudah menjadi kelaziman di era sekarang.Â
Tak hanya masyarakat yang suka memviralkan kejadian atau dirinya sendiri. Media massa pun juga memberikan penggalan judul berita untuk menarik pembaca yang kadang judul dan isinya tidak sesuai sama sekali. "Yang penting viral dulu, fakta nanti saja" seakan-akan berita kehilangan jati dirinya sebagai berita yang sahih.
Berita atau kejadian viral sebenarnya tidak lepas dari peran masyarakat digital (netizen). Tombol 'like' dan 'share' telah memudahkan jari mereka untuk menekan dan mempublikasikan ulang, tanpa ada kroscek fakta berita terlebih dahulu.Â
Bagi kebanyakan orang, mencari kebenaran berita di media sosial merupakan hal yang merepotkan dan membuang-buang waktu. Malahan belum tentu mereka membaca keseluruhan isi berita.Â
Jika judul berita terlihat menarik dan bombastis, mereka akan share tanpa saring berita terlebih dahulu. Sehingga, berita tersebut bisa naik menjadi viral karena atensi dari netizen sendiri.
Oleh karena itu, media massa demi berlomba-lomba untuk mendapatkan atensi dari pembaca. Mereka menuliskan judul berita yang bombastis dan kadang tidak relevan dengan isinya. Terlebih media tersebut juga mengambil referensi dari media lain, Â yang kredibilitasnya masih dipertanyakan.Â
Memang tidak dipungkirinya hal ini sengaja dilakukan, karena perkembangan teknologi informasi yang mendorong pertukaran informasi semakin cepat. Media massa kadang melakukan jalan pintas seperti itu.
Dengan melihat kondisi semacam ini, para buzzer semakin tumbuh subur. Tentu buzzer sangat dibutuhkan oleh para elit politik untuk mendapatkan suara di pemilihan umum tahun 2024. Permainan alogaritma  di media sosial telah menjadi ladang subur bagi buzzer dalam membentuk opini publik.Â
Dengan tingkat membaca masyarakat yang rendah, sebuah berita bisa dipelintir dari kebenarannya dan untuk menarik simpati, judul dibuat seistimewa mungkin.Â
Mereka tentu mendapatkan bayaran tinggi dari tokoh politik dalam menyelancarkan serangan. Terlebih tokoh politik merupakan pemilik media massa, tentu sudah bisa diperkirakan isi berita yang disampaikan seperti apa. Â
Dengan demikian, kita paham bahwa membaca adalah pondasi utama dalam menyaring berita. Butuh sikap skeptis untuk berita viral, terlebih di tahun pesta politik.Â
Dengan membaca dan diikuti sejumlah pertanyaan untuk mencari kebenaran berita, selayaknya menjadi budaya masyarakat di Negara Demokrasi. Bukan asal share berita tanpa baca, karena pencetan tombol ini telah melesatkan berita palsu semakin populer dan dipercaya oleh masyarakat. Jika ingin membangun demokrasi sehat, bangun dulu kebiasaan baca dan saring berita.
Lantas, apakah berita viral itu hanya memberikan efek negatif saja? Jelas tidak juga, akhir-akhir ini pun telah terbongkar misteri kasus Ferdy Sambo. Sebuah berita besar yang menghebohkan seluruh masyarakat Indonesia.Â
Hanya bermula sebuah video dari keluarga korban yang sempat viral dan ditambah dugaan-dugaan yang tersebar di media sosial, telah membentuk gelombang besar opini publik. Sehingga, mau tidak mau, kasus ini ditelisik lebih dalam dan serius. Ternyata viral juga merupakan gambaran dari masyarakat dalam mengawasi negara.Â
Sesuatu yang viral jika itu berasal dari netizen yang memiliki literasi tinggi, tentu akan membangun negara Demokrasi yang sehat. Sebaliknya, jika viral tersebut berasal dari netizen yang kurang literasi, akan merusak demokrasi. Terlebih adanya buzzer akan menjadi ancaman bagi Negara Demokrasi. Baik-buruk viral sebuah berita atau konten, tergantung kebijaksanaan jari tangan kita dalam memainkan media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H