Memandang Indonesia dan infrastruktur transportasinya tidak dapat hanya melalui sudut pandang Jakarta dan kota-kota besar. Sebagai negara kepulauan yang juga bergunung-gunung, pengembangan transportasi udara merupakan hal yang strategis. Dengan pesawat, distribusi barang dan mobilitas warga dapat lebih cepat dan mampu menjangkau lokasi yang terisolir. Tak heran jumlah bandar udara (bandara) di Indonesia banyak jumlahnya. Tulisan ini memotret infrastruktur transportasi udara Indonesia, mengulas permasalahan, serta mengajukan alternatif solusi.  Bandar Udara di Indonesia
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional, kondisi existing 2013 bandara di Indoenesia ada sebanyak 237 bandara yang tersebar di 33 provinsi. Selang dua tahun, website[1] resmi Ditjen Hubungan Udara Kementerian Perhubungan mencatat bahwa hingga masa berlaku 28 Januari 2016 ada sebanyak 295 bandara yang tersebar di 34 provinsi—termasuk Kalimantan Utara.
Perbandingan data 2013 dengan data website tersebut menunjukkan bahwa peningkatan jumlah bandara berasal dari beberapa perubahan, yakni: bertambahnya bandara di NAD (2), Sumut (3), Sumbar (2), Riau (2), Kepri (2), Jambi (1), Bengkulu (1), Sumsel (1), Lampung (1), Jabar (1), Banten (1), Jatim (1), Bali (1), NTTÂ (2), Kalbar (1), Kalteng (2), Sulut (2), Gorontalo (1), Sulteng (2), Sulbar (1), Sulsel (1), Sultra (1), Sulbar (1), Maluku (5), Maluku Utara (3), Papua (13), Papua Barat (7); berkurangnya bandara di Sumut (1) yaitu Bandara Binaka, Papua (4) yaitu Obano, Yahukimo, Bilogai; serta bergabungnya Bandara Sugapa dengan Bandara Bilorai menjadi Bandara Bilorai (Sugapa) di Kabupaten Intan Jaya. Penggabungan bandara juga terjadi di Kaltim yakni Bandara Melalan Melak dan di Maluku yakni, bandara baru, Bandara Mathilda Batlayeri dengan bandara sebelumnya, Bandara Olilit. Selain itu, sebanyak delapan bandara di Kaltim bergeser tata organisasi menjadi bagian dari wilayah Kaltara. Di antara penambahan bandara, hanya Bandara KS Tubun di Maluku yang berklasifikasi 3C. Lainnya 2B.
Tabel 1. Klasifikasi Bandara yang Berlaku secara Internasional
Tiga besar klasifikasi bandara dari 295 yang ada di seluruh Indonesia: 116 bandara (39,32%) masuk klasifikasi 2B, 50 bandara (16,95%) masuk klasifikasi 3C, dan 33 bandara (11,19%) masuk klasifikasi 1B. Klasifikasi dan cakupan provinsi selengkapnya dapat disimak melalui tabel berikut ini:Â
 Tabel 2. Klasifikasi Bandara dan Cakupan Provinsi di Indonesia
Pada Buku I Statistik Perhubungan 2014[3] yang diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan, terdapat data rehabilitasi dan pembangunan fasilitas bandara sepanjang 2010-2014 yang mencakup fasilitas landasan, terminal, dan bangunan sebagai berikut:
Gambar 1. Tabel Realisasi Pembangunan Fasilitas Landasan 2010-2014[4]
Â
 Gambar 2. Tabel Realisasi Pembangunan Fasilitas Terminal 2010-2014[5]
Â
 Gambar 3.Tabel Realisasi Pembangunan Fasilitas Bangunan 2010-2014[6]
Jika dihitung perbandingan antara rehabilitasi dan pembangunan, diperoleh rasio 0,69 untuk landasan pacu, 0,54 untuk terminal, dan 0,43 untuk bangunan. Rasio ini menceritakan bahwa sepanjang 2010-2014, pemerintah secara berurutan lebih sibuk merehabilitasi landasan pacu, terminal, kemudian baru bangunan; sebaliknya pemerintah lebih sibuk membangun bangunan, terminal, kemudian baru landasan pacu.
Maskapai dan Armada
Annual Report 2014 INACA[7] mencatat pada 2014 terdapat pesawat/helikopter dengan sertifikat yang masih berlaku sebanyak 1.067 unit. Di antaranya, sebanyak 527 unit terdaftar dalam Air Operator Certificate (AOC) 121, sebanyak 294 unit terdaftar dalam AOC 135; serta sebanyak 137 unit terdaftar dalam Operating Certificate (OC) 91, OC 137, OC 141, dan Federation of Aero Sport Indonesia (FASI). AOC 121 mencakup pesawat komersil dengan muatan lebih dari 30 kursi, AOC 135 mencakup pesawat/helikopter komersil dengan muatan kurang dari 30 kursi, sementara OC 91, OC 137, OC 141 dan FASI merupakan pesawat/helikopter non komersil milik perusahaan, yayasan atau sekolah penerbangan. Sementara Buku I Statistik Perhubungan 2014 mencatat sebanyak 519 unit terdaftar dalam AOC 121 dari 27 maskapai, sebanyak 299 unit terdaftar dalam AOC 135 dari 42 maskapai, dan sebanyak 253 unit terdaftar dalam OC 91, OC 137, OC 141, dan FASI.
Tabel 3. Tren Peningkatan Armada AOC 121 dan AOC 135 pada 2010-2014[8]
Â
Analisis
Total armada AOC 121 dan AOC 135 pada 2014 sebanyak 818 unit pesawat/helikopter terdiri dari 134 tipe pesawat. Penulis mengaitkan data unit dan tipe pesawat dengan klasifikasi minimal bandara yang dapat disinggahi[9] (terlampir) dengan mempertimbangkan wing span dan takeoff-landing distance masing-masing tipe pesawat/helikopter. Data tersebut, jika dibandingkan data jumlah bandara akan menghasilkan rasio sebagai berikut :
Tabel 4. Rasio Pesawat dan Bandara
Dari tabel di atas, kita melihat bahwa infrastruktur bandara yang jumlahnya paling banyak dan cakupan paling luas adalah bandara dengan klasifikasi 2B, yakni 116 bandara pada 29 provinsi. Ironisnya, rasio perbandingan pesawat yang bisa singgah di sana hanya 2,69—terendah dari seluruh klasifikasi bandara. Hal ini membuat kita dapat menyimpulkan bahwa pembangunan infrastruktur transportasi udara di Indonesia tidak seiring dengan pengadaan pesawat—baik oleh perusahaan swasta ataupun BUMN—yang dapat membuatnya berfungsi secara optimal.Â
Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah pembangunan infrastruktur bandara harus menyesuaikan pengadaan pesawat ataukah pengadaan pesawat yang harus menyesuaikan infrastruktur bandara? Apakah pembangunan infrastruktur sudah melalui tahap penghitungan manfaat dan biaya? Apakah pembangunan infrastruktur selama ini hanya hendak menyasar output berupa ketersediaan bandara atau hingga outcome berupa peningkatan distribusi barang dan mobilitas warga hingga ke seluruh pelosok Indonesia?
Solusi
Penulis melihat bahwa demi pencapaian outcome, diperlukan penyesuaian antara bandara dan armada pesawatnya. Hal dapat dilakukan, misalnya, dengan memberikan fasilitasi terhadap perusahaan maskapai yang akan berinvestasi dalam pengadaan pesawat yang masuk klasifikasi bandara minimal 2B.
Pada September 2015, media massa ramai memberitakan pencarian investor bagi PT Regio Aviasi Industri (RAI) untuk mendanai proyek komersial pesawat R80. Hingga saat ini sudah ada tiga maskapai yang memesan sebanyak 155 unit, yakni Nam Air, Kalstar, dan Trigana Air[10].
PT RAI merupakan perusahaan yang didirikan B.J. Habibie pada 2012, bekerja sama dengan PT Ilhabi Rekatama dan PT Eagle Capital. Cita-cita Habibie yang tertunda pada 1998, nampaknya akan segera terwujud dalam beberapa tahun ke depan. Jamak diketahui bahwa suntikan dana bagi proyek N-250 yang diluncurkan PT Dirgantara Indonesia pada 1995 terpaksa berhenti atas rekomendasi IMF merespons krisis yang terjadi di Indonesia pada 1998. Sejak itu, potensi industri pesawat di Indonesia terpaksa tiarap. Kini, pesawat R80 yang berkapasistas 80-90 dengan mesin turbopop sebagai kelanjutan pengembangan dari N-250 mulai menunjukkan geliatnya. Selain diklaim hemat bahan bakar, R80 juga mampu menembus daerah hingga pelosok Indonesia karena dapat take off dan landing pada landasan pacu yang pendek, yakni 4500ft atau 1.316m. Lebar sayap R80 28,82m dan jarak antar roda terluarnya 3,7m. Dimensi R80 terlihat pada gambar berikut:
Gambar 4. Dimensi Pesawat R80[11]
Â
Jika setelah melakukan analisis biaya manfaat, pemerintah melihat bahwa R80 tepat dalam mencapai outcome, maka selain mendukung investasi pendanaan baik secara langsung kepada PT Regio Aviasi Industri, maupun melalui fasilitasi perusahaan maskapai yang menjadi konsumennya; pemerintah juga perlu mulai menyiapkan infrastruktur bandara dengan menaikkan bandara klasifikasi 2B menjadi 3C agar sesuai dengan kebutuhan performa R80.
Â
[1]http://hubud.dephub.go.id/?id/bandara/index
[2]http://hubud.dephub.go.id/?id/bandara/index
[3]http://ppid.dephub.go.id/files/Buku%201%20plus%20cover%202014.pdf
[4]Idem.
[5]Idem.
[6]Idem.
[8]http://ppid.dephub.go.id/files/Buku%201%20plus%20cover%202014.pdf
[9]mengacu pada Perdirjen Perhubud Nomor 39 Tahun 2015 tentang Standar Teknis dan Operasi Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil – Bagian 139 (Manual of Standard CASR – Part 139) Volume I Bandar Udara (Aerodromes) diakses melalui http://hubud.dephub.go.id/?id/skep/download/470, serta referensi tambahan dari http://www.bazl.admin.ch/experten/regulation/03080/03081/03082/index.html?, https://www.comlaw.gov.au/Details/F2014C01301, dan http://www.skybrary.aero/index.php/Category:Aircraft.
[11]http://www.regio-aviasi.co.id/rai/view.php?m=ourprogram&t=ourprogram-detil&id=7
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H