Mohon tunggu...
trinanti sulamit
trinanti sulamit Mohon Tunggu... PNS -

pegawai negara, hidup di dalam gedung, juga trotoar jelek

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Sebuah Catatan Pengguna Commuter Line

6 Desember 2015   18:02 Diperbarui: 27 Januari 2016   02:51 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya berhenti menggunakan kata “macet” pada awal 2013. Setidaknya begitu kata akun twitter saya. Pada tahun itu, saya mulai rutin menggunakan Commuter Line sebagai moda transportasi. Sebenarnya kereta bukanlah hal yang asing semenjak kecil. Tante saya penglaju kereta pakai karcis abodemen, juga ikut arisan dengan sesama penglaju. Sedangkan ibu, meski tidak menggunakan kereta setiap hari, dalam memilih rumah selalu menimbang jarak yang tak jauh dari stasiun. Pertimbangan itu juga yang akhirnya saya pakai saat memilih lokasi rumah.

Tak hanya itu, saya menambah satu kriteria: kereta yang akan saya naiki tidak perlu mampir di stasiun transit untuk bisa sampai stasiun terdekat dengan kantor. Letak kantor di Gatot Subroto membuat Depok menjadi pilihan daerah tinggal sejak 2013. Maka lenyaplah kata macet dan hidup jadi lebih masuk akal dijalani. Sepulang kantor, jika ingin jumpa dengan kawan, saya memilih tempat kongkow yang berjarak sekitar lima kilometer dari stasiun. Sebanyak stasiun, seluas itulah jangkauan saya terhadap kota ini.

Informasi yang Tinggal Tap

Apakah bebas dari macet hanya satu-satunya hal penting bagi pengguna? Tidak. Saat mulai menghayati kehidupan sebagai penglaju, ternyata informasi mengenai posisi kereta itu terasa begitu penting. Jika berhasil tiba di stasiun tak lama sebelum kereta singgah, penggunaan waktu menjadi lebih efisien. Maka twitter mulai saya berdayakan.

Pada tahun 2013, sebenarnya PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) meluncurkan pusat informasi posisi kereta berbasis web. Namun sayang, kadang tidak berfungsi. Pada masa itu, mulailah saya mengenal akun @CurhatKRL pada twitter. Entah siapa di balik akun itu, saya yakin dia orang baik karena berbagi banyak informasi seputar lalu lintas kereta. Menelusur ke sana jadi rutin sesaat jam pulang kantor. Nah, lama-kelamaan bermunculanlah aplikasi berbasis android yang menyediakan informasi lebih jelas.

Itu soal posisi kereta sewaktu kita belum naik. Soal posisi kereta saat kita sudah berada di dalamnya juga penting. Jika pengumuman di dalam kereta sedang tidak berfungsi, ada beberapa alternatif: melongok ke jendela–walau kalau malam kepala kita harus sampai nempel pada jendela, itu pun kalau beruntung kereta ada dekat papan nama stasiun.

Alternatif lainnya, masuk aplikasi peta pada ponsel dan aktifkan GPS—kalau habis baterai ya wassalam. Nah satu cara yang sering saya gunakan adalah mendengar suara seseorang. Penumpang arah Depok atau Bogor pasti tahu kalau tiba di sebuah stasiun dan disambut dengan suara ibu-ibu cempreng dari speaker "Selamat datang kami ucapkan kepada para penumpang, saat ini Anda tiba di Stasiun..." Ya, benar! Stasiun Pasar Minggu. Sesaat mendengar suara itu, berhitung, 1, 2, 3, hingga 5 perhentian dan hup bersiaplah saya turun di stasiun selanjutnya, Stasiun Depok Baru.

Dari Anonim sampai Arisan

Hidup beberapa jam di kereta mengajarkan saya tentang hidup komunitas. Menjadi anonimus dari sebuah kerumunan selalu menarik.

Suatu pagi, sesaat setelah masuk kereta, saya menyadari bahwa ponsel yang saya letakkan di saku blazer lenyap. Saya minta tolong penumpang lain untuk menelepon nomor ponsel itu demi memastikan maling berada di dalam atau di luar kereta. Dalam kondisi yang berhimpitan, seseorang membantu menelepon. Maling tidak ketemu, ponsel tetap hilang. Tapi saya tahu, siapa saja bisa jadi penolong buat orang lain. Bahkan yang tidak ia kenal.

Omong-omong soal penuhnya penumpang, saya teringat suatu pagi di dalam kereta yang penuh banget. Nah, saya jelaskan dulu soal ukuran isi kereta ya. Pertama, kosong (banyak pilihan tempat duduk), lalu sepi (dapat tempat duduk), longgar (nggak dapat tempat duduk tapi bisa berdiri leluasa), padat (berdiri dan nggak terlalu leluasa bergerak), penuh (berdiri tapi nggak bisa bergerak), penuh banget (berdiri sambil tulang ketemu tulang penumpang lain).

Kembali lagi ke cerita, setelah menempuh perjalanan dalam himpitan manusia di depan-belakang-kiri-kanan sekitar setengah jam, saya selamat tiba di kantor. Beberapa jam kemudian, barulah saya sadar bahwa ransel saya sudah disilet oleh entah siapa. Jadi, waspada itu nomor satu. Pada kereta dalam kondisi penuh hingga membuat tulang sakit pun, orang masih bisa jahat. Pada kejadian itu tidak ada barang yang hilang karena saya meletakkan ponsel dan dompet di dalam laptop case. Rasanya nggak mungkin orang bisa mengakses dengan modal silet. Jadi dia dapat zonk saja.

Persoalan keselamatan sesama juga penting bagi komunitas sekian jam ini. Pada waktu itu kereta penuh, seorang ibu berdiri dekat pintu dengan agak canggung dalam meletakkan tangan. Ruang gerak yang sempit, sering membuat orang kebingungan harus mengambil posisi seperti apa.

Seorang bapak yang menyadari hal itu mencontohkan pada si ibu untuk meletakkan tangan di atas pintu kereta. Hal itu dilakukan agar saat pintu tertutup, tangan aman. “Begini nih, Bu, tangannya!” Suara yang terdengar banyak orang itu memancing pandangan sekian mata mengarah pada tangan si bapak yang sedang mencontohkan pada si ibu. Tak disangka, jemari bapak itu, yang berada di atas pintu, dipenuhi cincin batu akik. Alamak! Semua orang langsung berkomentar, “Wah gitu, tuh bu, pake akik yang banyak!”, “Astaga cincinnya!”, “Buset, gede-gede banget!” dan spontan orang-orang tertawa-tawa beberapa saat. Komedi bisa terselip di mana saja. Bahkan di ruang-ruang sempit di dalam kereta.

Bicara soal komunitas, kehidupan penglaju juga yang membawa saya menjadi anggota salah satu komunitas, namanya Jalur Depok Bogor (JDB). Sesekali anggota komunitas ini berjumpa untuk tukar kado atau acara lain. Dua minggu sekali, yang ikut arisan, mengundi nama dan menentukan pemenang. Semenjak kuliah lagi, saya agak sulit meluangkan waktu berjumpa dengan kawan. Namun komunitas ini tak pula keberatan untuk tetap menganggap saya sebagai anggota, walau hanya lewat jalur twitter ataupun grup whatsapp. Merekalah yang turut membantu saat saya mengerjakan tugas survei elektronik untuk kuliah metodologi penelitian.

Mendengar Suara Penglaju

Ya, saking tertariknya dengan moda transportasi kereta, saat mendapat tugas membuat survei elektronik, yang saya pikirkan adalah melakukan survei terhadap sesama penglaju.

Survei ini saya beri tajuk "Survei Rombongan Kereta".

Saya mendisain lima pertanyaan. Waktu pengumpulan data hanya dua hari. Namun berkat bantuan banyak komunitas para penglaju di twitter, terkumpul 101 responden.

 

Pertanyaan pertama dalam survei soal frekuensi mereka dalam menggunakan Commuter Line sebagai moda transportasi. Dari 101 responden, pengguna Commuter Line “hampir setiap hari” merupakan yang terbanyak. Sisanya masuk kategori “cukup sering” dan “jarang”.

(Foto: Dok. Pribadi diolah dari Survey Monkey)

 

(Foto: Dok. Pribadi diolah dari Survey Monkey)

 Sementara mengenai rute yang digunakan Jakarta Kota-Depok/Bogor menempati posisi teratas, diikuti oleh rute Tanah Abang-Serpong/Maja, Jakarta Kota-Bekasi, Jatinegara-Depok/Bogor, Duri-Tangerang, dan terakhir Jakarta Kota-Tanjung Priok. Beberapa orang menggunakan rangkaian kereta lebih dari satu rute.

(Foto: Dok. Pribadi diolah dari Survey Monkey)


(Foto: Dok. Pribadi diolah dari Survey Monkey)

Dari survei kecil-kecilan ini, ada dua pertanyaan terbuka, pertama soal masalah yang ada, kedua soal saran. Pada bagian masalah, saya melihat ternyata saya tidak sendirian dalam melihat stasiun transit sebagai sumbernya. Seorang responden menulis jawaban:

"Antrian sinyal di manggarai astagaaaaa bikin waktu tempuh jadi lama."

Pada word cloud berikut ini, terdapat 25 kata/frasa masalah Commuter Line yang disebutkan responden. Ukuran huruf menunjukkan intensitas, semakin besar huruf, semakin sering ia disebut.

(Foto: Dok. Pribadi diolah dari Wordle)

Transportasi Massa dan Budaya Massa

Sejak kuliah di daerah Salemba, saya tak lagi turun di Stasiun Cawang, tapi Cikini. Dalam pikir saya, Stasiun Manggarai itu sepelemparan batu saja jauhnya dari Cikini. Tapi kalau bau-baunya keterlambatan sudah parah, saya akan turun di Stasiun Manggarai dan kemudian menyambung dengan ojek. Pernah saya satu rangkaian kereta dengan kawan sekelas. Dia bertahan hendak turun Cikini, sementara saya menyerah dan turun di Manggarai. Hasilnya, lebih cepat saya tiba di kampus karena rangkaian kereta yang kami naiki sempat menggantung lama di rel antara dua stasiun itu.

Waktu merupakan critical point dalam moda transportasi kereta. Sudah jadi kebiasaan, sebelum tiba di Stasiun Depok Baru, saya memantau informasi di twitter dan grup whatsapp. Kalau sudah ramai soal gangguan sinyal, saya akan memilih naik kereta apa saja dari Depok Baru, walaupun tujuan saya ke Cikini. Pikir saya, asal sudah sampai Manggarai, sudah aman. Setiba di Depok Baru, kereta tujuan Jakarta Kota sudah lewat, yang akan masuk selanjutnya adalah tujuan Tanah Abang. Walaupun kereta tujuan Jakarta Kota berikutnya sudah dekat, sekitar dua stasiun menuju Depok Baru, saya tetap menumpang rangkaian kereta tujuan Tanah Abang. Kondisi ketidakpastian membuat pilihan ini lebih masuk akal. Setiba di Manggarai, ternyata masih ada waktu untuk pindah peron dan naik kereta tujuan Jakarta Kota yang tadinya sudah saya lewatkan. Pengalaman ini mengajarkan pada saya bahwa hidup kadang nggak adil.

Masa orang malas dengan orang rajin sama hasilnya? Masa orang yang tiba di stasiun lebih dulu, bisa satu rangkaian kereta dengan orang yang sudah kelewatan? Saya lalu mikir, sebenarnya transportasi massa ini bisa melanggengkan, membentuk, atau mengubah budaya. Ingat kan kalau tiket elektronik itu signifikan mengubah budaya korup, baik pada penumpang maupun pada pegawai perusahaan kereta? Nah soal terlambat ini juga rasanya bisa membentuk karakter orang. Kalau terlambat tiba di tempat janjian, cukup katakan pada kawan, “wah maaf, telat, kereta gangguan!” Sedih nggak kalau dipikir-pikir?

Dari survei, jelas kita bisa melihat bahwa masalah besar Commuter Line antara lain keterlambatan kereta, antrean Stasiun Manggarai dan gangguan sinyal.

Pada pertanyaan terbuka kedua, survei menanyakan saran perbaikan pada responden. 25 kata/frasa saran terhadap Commuter Line dapat dilihat dari word cloud berikut ini:

(Foto: Dok. Pribadi diolah dari Wordle)

 Ada begitu banyak responden melihat penambahan kereta sebagai jalan keluar. Saya sendiri tidak terlalu sepakat. Bukan apa-apa, saya pernah naik kereta pada tengah siang. Kosongnya keterlaluan. Saya pribadi lebih suka pada saran-saran yang tertulis dengan huruf lebih kecil, seperti: pengaturan kereta langsung, perbaikan sistem persinyalan, perbaikan sistem pada Stasiun Manggarai, informasi gangguan dan perbaikan sistem pada rute Bekasi.

Saran lain yang sifatnya menambah kenyamanan juga perlu diperhatikan: penyediaan AC yang dingin, ketegasan petugas, keamanan, penambahan kereta wanita, dan edukasi penumpang.  

Mengenai informasi, ternyata tak hanya informasi posisi kereta yang akan penumpang naiki dan posisi kereta saat penumpang sudah di dalam kereta yang dibutuhkan. Beberapa responden melihat informasi terjadinya gangguan juga sebagai hal penting. Dengan mengetahuinya, calon penumpang dapat memutuskan memilih moda transportasi lain. Berikut ini jawaban-jawaban mereka:

"Tepati jadwal, petugas responsif jika ada keterlambatan bisa diumumkan segera dan penyebabnya apa, juga di diinformasikan melalui stasiun, di dalam kereta dan juga media sosial. Kebersihan stasiun-stasiun. Prasarana utk kaum disabilitas"

"Diharapkan tepat waktu sesuai jadwal. Adanya informasi tambahan di dalam aplikasi INFO KRL mengenai kondisi terkini lalu lintas kereta api, misal kereta anjlok di stasiun mana, yg mengakibatkan kereta tersendat dari mana kemana.."

"Informasi yang memadai apabila kereta telat, jadi penumpang tidak bertanya-tanya dan segera mencari moda transportasi lain. Baik lewat twitter resmi ataupun pengumuman di announcer setiap stasiun."

Cintakah Saya Padamu?

Saya termasuk orang yang percaya bahwa KCJ melakukan perbaikan terus-menerus dalam melayani masyarakat. Seminggu ini, saya senang lihat papan informasi LED pada peron. Itu sangat memudahkan terutama pada stasiun dengan peron lebih dari dua seperti Stasiun Tanah Abang dan Stasiun Manggarai.

Beberapa tahun berkereta, sudah pernah hilang ponsel dan tas disilet orang, tapi kenapa saya masih tetap saja naik Commuter Line sampai sekarang? #CintaKRL kah saya? Normalkah saya? Kadang saya berpikir, kalau punya kendaraan pribadi atau bisa naik kendaraan umum lain akankah saya menghilangkan Commuter Line dari prioritas pertama?

Dari survei ternyata hanya satu dari enam orang yang hampir setiap hari naik kereta meletakkan Commuter Line tidak pada prioritas pertama dibandingkan kendaraan pribadi dan kendaraan umum lainnya.

Akhir kata, dari pengalaman pribadi dan dari survei kecil-kecilan, saya masih merasa Commuter Line adalah moda transportasi paling masuk akal dan Best Choice for Urban Transport saat ini :).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun