Mohon tunggu...
trinanti sulamit
trinanti sulamit Mohon Tunggu... PNS -

pegawai negara, hidup di dalam gedung, juga trotoar jelek

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Sebuah Catatan Pengguna Commuter Line

6 Desember 2015   18:02 Diperbarui: 27 Januari 2016   02:51 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Omong-omong soal penuhnya penumpang, saya teringat suatu pagi di dalam kereta yang penuh banget. Nah, saya jelaskan dulu soal ukuran isi kereta ya. Pertama, kosong (banyak pilihan tempat duduk), lalu sepi (dapat tempat duduk), longgar (nggak dapat tempat duduk tapi bisa berdiri leluasa), padat (berdiri dan nggak terlalu leluasa bergerak), penuh (berdiri tapi nggak bisa bergerak), penuh banget (berdiri sambil tulang ketemu tulang penumpang lain).

Kembali lagi ke cerita, setelah menempuh perjalanan dalam himpitan manusia di depan-belakang-kiri-kanan sekitar setengah jam, saya selamat tiba di kantor. Beberapa jam kemudian, barulah saya sadar bahwa ransel saya sudah disilet oleh entah siapa. Jadi, waspada itu nomor satu. Pada kereta dalam kondisi penuh hingga membuat tulang sakit pun, orang masih bisa jahat. Pada kejadian itu tidak ada barang yang hilang karena saya meletakkan ponsel dan dompet di dalam laptop case. Rasanya nggak mungkin orang bisa mengakses dengan modal silet. Jadi dia dapat zonk saja.

Persoalan keselamatan sesama juga penting bagi komunitas sekian jam ini. Pada waktu itu kereta penuh, seorang ibu berdiri dekat pintu dengan agak canggung dalam meletakkan tangan. Ruang gerak yang sempit, sering membuat orang kebingungan harus mengambil posisi seperti apa.

Seorang bapak yang menyadari hal itu mencontohkan pada si ibu untuk meletakkan tangan di atas pintu kereta. Hal itu dilakukan agar saat pintu tertutup, tangan aman. “Begini nih, Bu, tangannya!” Suara yang terdengar banyak orang itu memancing pandangan sekian mata mengarah pada tangan si bapak yang sedang mencontohkan pada si ibu. Tak disangka, jemari bapak itu, yang berada di atas pintu, dipenuhi cincin batu akik. Alamak! Semua orang langsung berkomentar, “Wah gitu, tuh bu, pake akik yang banyak!”, “Astaga cincinnya!”, “Buset, gede-gede banget!” dan spontan orang-orang tertawa-tawa beberapa saat. Komedi bisa terselip di mana saja. Bahkan di ruang-ruang sempit di dalam kereta.

Bicara soal komunitas, kehidupan penglaju juga yang membawa saya menjadi anggota salah satu komunitas, namanya Jalur Depok Bogor (JDB). Sesekali anggota komunitas ini berjumpa untuk tukar kado atau acara lain. Dua minggu sekali, yang ikut arisan, mengundi nama dan menentukan pemenang. Semenjak kuliah lagi, saya agak sulit meluangkan waktu berjumpa dengan kawan. Namun komunitas ini tak pula keberatan untuk tetap menganggap saya sebagai anggota, walau hanya lewat jalur twitter ataupun grup whatsapp. Merekalah yang turut membantu saat saya mengerjakan tugas survei elektronik untuk kuliah metodologi penelitian.

Mendengar Suara Penglaju

Ya, saking tertariknya dengan moda transportasi kereta, saat mendapat tugas membuat survei elektronik, yang saya pikirkan adalah melakukan survei terhadap sesama penglaju.

Survei ini saya beri tajuk "Survei Rombongan Kereta".

Saya mendisain lima pertanyaan. Waktu pengumpulan data hanya dua hari. Namun berkat bantuan banyak komunitas para penglaju di twitter, terkumpul 101 responden.

 

Pertanyaan pertama dalam survei soal frekuensi mereka dalam menggunakan Commuter Line sebagai moda transportasi. Dari 101 responden, pengguna Commuter Line “hampir setiap hari” merupakan yang terbanyak. Sisanya masuk kategori “cukup sering” dan “jarang”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun