Mohon tunggu...
Tri Mulyati
Tri Mulyati Mohon Tunggu... Guru - senang berpikir dan menulis

tak pernah berhenti berpikir. Memiliki lansekap imajinasi yang kaya. Senang mengamati kehidupan. Introvert yang kadang berpura-pura menjadi ekstrovert...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bisnis Warung (Kelontong) Daerah

26 November 2022   23:28 Diperbarui: 27 November 2022   19:00 1234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi toko kelontong (KOMPAS.COM/ RAJA UMAR)

Berbicara tentang warung kelontong daerah, setidaknya saya memiliki banyak cerita tentangnya. 

Menyimak dari artikel yang ditulis Kompasiana 26 November 2022 dengan judul "Warung Kelontong Daerah", rasanya tergelitik untuk mengulasnya. 

Warung kelontong daerah yang identiknya dimiliki atau ditunggui oleh perantau bukan warga setempat dan biasanya berada di kota-kota besar atau kota industri. 

Selain warung kelontong, setidaknya ada beberapa jenis warung daerah yang memiliki kesamaan di antaranya warung lang rokok, warung nasi daerah, dan warung burjo atau warmindo. 

Sekitar dari mulai tahun 1996 sampai dengan tahun 2008 silam, orang tua saya menggeluti bisnis ini yaitu menjadi pedagang rantau di daerah kawasan industri Karawang. Kenapa disebut bisnis? Karena pekerjaan ini kian berkembang seiring dari masa ke masa saat orang tua menjalaninya. 

Dari mulai hanya sebagai karyawan biasa buruh tunggu warung bubur kacang ijo dan indomie milik ayahnya (kakek saya), lalu menjadi mitra aplusan yaitu menjadi pemilik warung dengan sistem berbagi modal dan waktu berjualan (terlibat langsung sebagai pemilik dan penjual secara bersamaan). 

Mulai dari 1 warung, lalu kemudian bertambah hingga menjadi 5 warung yang terdiri dari 2 warung lang rokok dan 2 warung nasi dan 1 warung bubur kacang ijo. 

Ilustrasi gambar by Kreasindo.id
Ilustrasi gambar by Kreasindo.id

Warung lang rokok yaitu warung dengan bentuk balok persegi panjang seperti gerobak, terbuat dari rangka kayu dengan bahan seng dan triplek untuk sisi-sisinya. 

Warung tersebut memiliki kaki pendek di tiap sudut bawah dan ruang kosong di dalamnya yang hanya muat untuk tidur satu orang dewasa saja. 

Di bagian dalam dipenuhi dengan tumpukan barang-barang dagangan yang disusun rapi di setiap pinggirannya, begitu juga di bagian luar penuh dengan tumpukan barang dagangan yang berjejer di sisi depan. Bukan hanya rokok yang dijual di warung lang ini. 

Beberapa keperluan sehari-hari juga ada, seperti kopi, indomie mentah, obat-obat warung, tisu, sabun mandi, deterjen, pempers, minuman dingin di dalam box es, minuman tidak dingin yang berjejer rapi, ciki-ciki dan aneka jajanan lain di pajang rapi di bagian depan. 

Mirip seperti warung kelontong mini dalam gerobak. Namun, karena sulitnya lang rokok ini dijadikan tempat tidur dan juga dibuka tutup secara berkala, maka sering kali warung lang rokok beroperasi 24 jam. Biasanya ditunggui oleh 2 orang bergantian untuk tidur. 

Ilustrasi gambar dari Liputan6.com/Faizal Fanani
Ilustrasi gambar dari Liputan6.com/Faizal Fanani
Warung nasi seperti yang sudah kita ketahui bersama, yaitu warung berbentuk bangunan yang lebih besar. 

Sebagaimana kita semua pernah menjumpai warteg, maka warung nasi juga persis seperti itu. Hanya saja jika warteg adalah kepanjangan dari "Warung Tegal" yang mana pemiliknya adalah orang Jawa atau dari Tegal. 

Maka pemilik warung kami adalah orang Kuningan atau orang Sunda. Barangkali ada sedikit perbedaan pada variasi masakan dan rasa yang khas yang dimiliki masing-masing. 

Lain dari warung lang, jika di warung lang rokok ditunggui oleh 1 atau 2 orang yang terdiri dari pemilik dan karyawan.

Maka di warung nasi jumlah penunggunya kisaran 3 sampai 4 orang (sesuai kebutuhan) yang terdiri dari 1 pemilik dan selebihnya adalah karyawan. 

Perbedaan lainnya, warung nasi tidak beroperasi 24 jam. Biasanya buka dari jam 04.00 subuh dan tutup pada jam 10.00 malam. Jam buka warung di sini tentunya berbeda dengan jam kerja karyawannya. 

Karena karyawan sudah mulai bangun dan bekerja dari jam 02.00 dini hari, dan baru boleh tidur malam setelah semua peralatan dan bagian-bagian warung dibersihkan. Tentunya diberikan waktu istirahat tidur siang bergantian jika kondisi warung sedang tidak ramai. 

Dalam sehari biasanya dua sampai tiga kali masak yaitu dini hari, sebelum tengah hari, dan sore. 

Warung nasi biasanya menjadi pilihan bagi para karyawan pabrik yang akan berangkat bekerja atau saat menjelang istirahat. Itu alasan banyak sekali bermunculan warung nasi di sekitar kawasan industri atau pabrik-pabrik. 

Alasan menjadi pilihan bagi para karyawan pabrik menyantap di warung nasi daerah ini tidak lain karena simpel dan tidak perlu memasak, karena biasanya mereka tinggal dikontrakan atau kostan yang tak memiliki peralatan lengkap. Selain tentunya dengan harga terjangkau, mereka masih bisa menikmati rasa masakan rumahan seperti di kampung halaman. 

Ilustrasi gambar dari Tribun Jogja/Noristera Prawesti
Ilustrasi gambar dari Tribun Jogja/Noristera Prawesti
Sedangkan warung bubur kacang ijo atau biasa disebut warung burjo adalah warung seperti warung nasi, hanya saja dengan luas yang lebih sempit. 

Menurut cerita, warung burjo ini sudah terkenal berasal dari Kuningan Jawa Barat. Jika pembeli datang pasti selalu bertanya "Pak, asalnya pasti dari Kuningan ya?" Tutur mereka di mana pun ada warung burjo pastilah pemiliknya orang Kuningan. 

Entah benar atau tidak julukan itu, tapi jika diingat-ingat keluarga besar orang tua merupakan pedagang semua dan pionirnya adalah kakek yang memulai bisnis ini dengan warung burjo, lalu kemudian merambak warung lainnya. 

Warung burjo biasanya ditunggui 2 orang saja (sesuai kebutuhan). Namun, isinya bukan hanya menjual bubur kacang ijo ketan hitam saja, tapi juga ada seduhan kopi, susu, gorengan, indomie, bahkan juga rokok. 

Oya, bubur dengan campuran ketan hitam ini menjadi ciri khas burjo Kuningan, karena jika campurannya ketan putih maka itu adalah ciri khas burjo Madura.

Berkaitan dengan warung daerah, ada beberapa hal yang menarik. Di antaranya tentang sistem bagi waktu giliran, bagi modal dan pendapatan. 

Sistem bagi waktu giliran di warung daerah khususnya asal Kuningan Jawa Barat disebut dengan aplusan. Sistem aplusan yang dimaksud biasanya akan sangat berkaitan dengan bagi modal pada suatu warung. 

Penentuan berapa lamanya siklus waktu aplusan suatu warung yang modalnya dibagi 2 orang akan berbeda dengan yang dibagi 3 orang. Dan waktu aplusan biasanya 1 atau 2 bulan untuk sekali aplusan, bergantung pada kesepakatan, yang jelas, setiap pemilik modal memiliki durasi waktu yang sama pada setiap gilirannya. 

Contoh untuk warung yang modalnya dibagi 2 orang dan waktu aplusan 2 bulan untuk setiap aplusannya, maka satu kali siklus waktu aplusan memiliki durasi selama 4 bulan. Artinya pendapatan pemilik modal dalam satu siklus aplusan adalah penghasilan untuk digunakan selama 4 bulan. 

Atau bisa kita simpulkan juga untuk satu kali siklus aplusan si pemilik modal mengalami 2 bulan kerja dan 2 bulan menganggur. Bisa dibayangkan jika modal dibagi 3 orang, maka durasi siklus waktu aplusan bisa mencapai 6 bulan atau 4 bulan menganggur.

Ini tentunya akan berpengaruh pada berapa jumlah penghasilan yang didapat setiap pemiliki modal dari warung tersebut. Oleh karenanya, biasanya seseorang tidak akan menanam modal di satu warung saja. Minimal 2 warung yang bisa ia tunggui secara bergantian.

Artinya, setiap bulan bisa terisi dan tetap menghasilkan. jika demikian, si pemodal harus pintar-pintar mencari buruh aplusan dadakan jika ia ingin sesekali istirahat pulang kampung karena warung yang tidak dapat ditinggalkan. 

Berbicara pendapatan, nyatanya pendapatan warung-warung daerah dapat bersaing dengan warung-warung berkelas lainnya. 

Dulu sesekali, saya ikut orang tua berdagang di warung lang rokok-nya, rata-rata pendapatan harian kisaran lebih dari 1 juta rupiah, lalu kemudian sebagian dialokasikan untuk belanja esok harinya. Jadi setidaknya kisaran minimal Rp 300.000 rupiah didapat untuk penghasilan bersih harian. 

Sehingga jika dikalikan 2 bulan, maka setidaknya akan membawa sekitar Rp 18.000.000 saat aplusan. Tentunya sudah dipastikan menyisihkan untuk pembayaran kontrakan tanah/lokasi dan barang-barang dagangan sudah terpenuhi semua seperti awal memulai dagang. Tapi ingat, pendapatan itu harus dihitung untuk 4 bulan ke depannya.

Dari sistem aplusan yang diterapkan warung-warung daerah inilah lalu muncullah bisnis warung daerah, di mana seorang pemodal tidak akan cukup hanya memiliki 1 warung saja. Minimalnya 2 warung untuk satu orang pemodal. Bahkan bila ada lebihan uang dan ada kesempatan lokasi baru yang ditemukan dan cocok untuk dipakai berdagang, maka tidak lepas kemungkinan akan menambah warung lagi. 

Begitu seterusnya hingga seseorang dapat memiliki banyak warung di perantauan dengan sistem aplusan. Jika ia sudah tak cukup waktu lagi untuk menunggui, maka ia akan mencari karyawan untuk menggantikannya dengan sistem bagi hasil antara pemilik dan karyawan.

Namun, karena yang namanya berdagang pastinya akan mengalami naik dan turun, menyebabkan adanya pembelian dan penjualan modal warung. 

Jika si pemodal merasa gulung tikar dan ingin menyudahi aplusannya, maka modal bagiannya bisa dijual ke pemodal satunya atau kepada orang lain.

Nah, karena inilah terkadang seseorang yang sedang berjaya dapat memiliki warung banyak di mana-mana. Mengembangkan bisnisnya dari awalnya 1 warung berdua menjadi 5 warung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun