Dalam keanehanku itu, tiba-tiba aku melihat sesosok tubuh berjarak agak jauh dari tempatku berdiri. Sosok tersebut berada sejajar namun berseberangan denganku di sudut lapangan kemah yang berukuran kurang lebih 20 M itu. Sosok itu tidak begitu jelas terlihat tapi cukup bisa meyakinkanku nampaknya itu adalah panitia. Karena postur tubuh dan bentuk siluet jilbab yang dikenakannya sangat mirip dengan penampilan panitia.Â
Memang warnanya gelap, entah coklat entah hitam. Sosok itu terlihat hanya berdiri mematung sepertiku, hanya saja kami berlainan arah wajah. Dia berada di depanku di arah timur sejajar dengan posisi aku melangkah, sedangkan tubuhnya menghadap utara. Namun, Aku yang sedari tadi lama mematung mencerna keanehan ini, seolah merasa mendapat jawaban ketika melihat sosok tersebut. Di benakku hanya mengira sosok itu adalah panitia, karena selama aku berdiri di sana tak satupun Aku melihat seseorang. Baik itu temanku Ani, atau peserta lain, atau juga panitia.Â
Akhirnya kuberanikan diri untuk maju melangkahkan kaki. Berjalan menuju sosok yang ku kira panitia itu. Sesampainya di hadapan sosok panitia itu, Aku pun berdiri berhadapan dengannya. Hanya saja posisi kami yang tidak tinggi sejajar. Tanah yang kami injak berupa undakan yang tidak sama tinggi. Jarak kami hanya sekitar setengah meter, berhadapan namun Aku tak bisa memandang wajahnya dengan jelas karena wajahku hanya bisa sejajar dengan dadanya. Tapi sekilas Aku sempat melihat siluet wajahnya terlihat wajar. Sebagai peserta, tentunya Aku tak berani memandang wajah kakak senior terlalu lama karena takut dianggap tidak sopan.Â
Segera sesampainya Aku di hadapannya, Aku langsung melakukan laporan sambil memberinya hormat. "Lapor, saya dari kelompok 5 siap menjalankan tugas", suaraku sedikit lantang padanya. Lalu beberapa saat berlalu tanpa jawaban, sosok panitia itu tak bergerak dan tak bersuara sedikit pun. Aku tetap berdiri tegak dengan tangan yang masih melakukan hormat, walaupun sempat kembali merasa heran karena suasana kembali terasa sunyi mencekam. Saat Aku hendak menengadahkan wajah ingin melihat reaksinya, tiba-tiba saja terlihat olehku tangan kanannya bergerak mengeluarkan cahaya senter ke arah timur berulang-ulang seperti gerakan semapur yang sedang memberi kode, seolah memberiku aba-aba untuk mengikuti petunjuk arah cahaya senter tersebut.Â
Seketika itu juga aku berbalik ke kiri menuju arah timur sesuai dengan arah petunjuk aba-aba cahaya senter. Tanpa ada rasa curiga atau semacamnya, Aku berjalan kembali menyusuri belantara hutan gunung ciremai di tengah malam yang gelap. Berjalan sendirian di bawah cahaya bulan purnama yang saat itu terasa sinarnya seolah berkurang, dan Aku pun lupa dengan senter kecilku yang ada di saku baju. Tapi, semenjak Aku berjalan menyusuri rute baruku ini ada hal yang sedikit membuatku terasa aneh. Aku bisa melihat cahaya senter besar berbentuk bulat di sepanjang tanah yang akan Aku tapaki seolah ada seseorang yang menyoroti senter besar dari atas yang langsung ditujukan ke tanah di depan kakiku. Mungkin seharusnya aku merasa aneh, namun karena tak ada lagi cahaya yang bisa menuntun langkah perjalananku maka aku ikuti saja cahaya itu.Â
Di satu sisi Aku merasa yakin bahwa jalan yang ditunjukan cahaya itu adalah jalan setapak yang tadi siang Aku lewati bersama rombongan kemah kami. Jalan itu menuju ke arah turun gunung atau arah pulang. Aku berjalan menapaki langkah demi langkah mengikuti cahaya itu, tanah yang ku tapaki hanya jalan setapak yang sedikit curam. Pinggiran gunung dengan jurang di sebelah kiriku. Sesekali Aku berpikir untuk berdzikir, namun berkali-kali aku melafalkan ayat kursi pun tak kunjung selesai. Begitu juga dengan surat Al-fatihah, dan juga surat-surat pendek lainnya. Seolah otak ini tak mampu membuka ingatan hafalanku. Padahal Aku cukup dipuji guru ngaji dan teman-teman pengajianku karena hafalan Quranku yang lancar. Namun keanehan tentang hafalan itu pun tak ku hiraukan karena kesibukanku memperhatikan langkah kakiku dan medan jalan yang ku tempuh. Sesekali aku tergelincir beberapa batu-batu kecil yang membuat tanah ini licin.
Aku berjalan terasa begitu jauh, banyak melewati tepian tebing yang curam, dan beberapa semak belukar yang rimbun hingga setinggi dadaku. Sampai tiba di suatu titik jalan aku berhenti sejenak, memandang jalan yang tampak seperti cagak. Cahaya senter yang memberi petunjuk pun seolah terbelah dua. 'Aku harus memilih arah?' benakku.Â
Seketika Aku memilih arah kiri, dan lupa jika sebelah kiriku tentunya adalah tebing curam. Baru saja Aku berjalan beberapa langkah maju, tak terprediksikan tiba-tiba "srruuuukkk...!!" kaki kiriku terperosok ke bawah dengan posisi tubuhku membelok ke arah kanan menopang kaki kananku, badanku merosot ke bawah perlahan dan kedua tanganku spontan menggapai-gapai apapun yang bisa diraih.Â
Lalu "Hap!" tanganku menemukan batang pohon yang bisa ku raih. "Arrghh..!" Spontan Aku menaiki jalan setapak lagi. Dadaku berdebar, sedikit kalut, namun spontan kakiku berlari sesegera mungkin berbalik arah kembali menuju titik jalan cagak tadi. Tebing itu tidak terlalu curam, sedikit landai dengan ditumbuhi pepohonan kecil. Hanya saja, kebanyakan struktur tanahnya kering berpasir dan berkerikil sehingga licin dan berpotensi untuk terperosok terus terseret hingga ke bawah.Â
Sesampai Aku di titik jalan cagak, Aku pun melanjutkan perjalanan memilih arah kanan dengan kembali dituntun cahaya senter besar di tanah depan langkahku. Berjalan lagi sampai tiba juga di sebuah medan dengan jalan yang tak lagi terlihat seperti jalan setapak. Aku memandang sekitar dipenuhi pepohonan besar dan semak belukar yang cukup tinggi. Medan ini terasa lebih gelap dan suram. Ku lihat kebawah, masih ada cahaya senter namun pijakan tak lagi tanah melainkan berupa belahan batu-batu besar yang tersusun acak, tidak begitu rata namun masih dapat dilalui. Langkahku pun semakin berhati-hati, karena sesekali aku harus meloncat.Â
Sekian waktu Aku berjalan di medan bebatuan itu, Aku merasakan pegal di pundak dan tengkuk karena terus menerus menunduk melihat cahaya di bawah. Saat Aku mencoba untuk melangkah maju dengan kepala tegak, tiba-tiba "Jeduk!" Keningku terbentur sesuatu yang tak ku lihat. "Aw, aduh..." tubuhku sedikit terjengkang ke belakang, Aku pun meringis kesakitan dengan tangan kiri memegang kening. Spontan juga tangan kananku meraba ke depan memastikan apa yang ku tabrak tadi. Aku kaget ketika mencoba membelalakan mata ternyata yang ada di hadapanku adalah sebuah pohon asem dengan batang pohon berwarna hitam semua dan permukaan batang yang kasar.Â