Mohon tunggu...
trimanto ngaderi
trimanto ngaderi Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Pendamping Sosial diKementerian Sosial RI;

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketidakkekalan

21 September 2021   08:28 Diperbarui: 21 September 2021   08:33 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: https://dictio.id

Kita sudah sering mendengar orang yang mengatakan bahwa dunia ini tidak kekal. Akan tetapi, seberapa banyak orang yang benar-benar memahami perihal kefanaan dalam kehidupan sehari-hari. 

Memahami ketidakkekalan dalam pikiran kita, dalam perasaan kita, dalam sikap dan perilaku, serta respons kita dalam setiap fenomena dan peristiwa yang terjadi.

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari kita tidak akan terlepas dari "dualitas". Ada bahagia ada menderita. Ada cinta ada benci. Ada siang ada malam. Ada hidup ada mati. Dan seterusnya. Dua hal ini senantiasa mengiringi kehidupan manusia. Dua hal itu selalu dialami setiap manusia.

Inilah ketidakkekalan. Tidak mungkin seseorang itu bahagia terus. Tidak mungkin pula seseorang itu menderita terus. Tidak selamanya orang merasa cinta, tidak selamanya pula orang merasa benci. Malam akan berganti siang dan begitu sebaliknya.  Orang kaya bisa berubah menjadi miskin, begitu pula sebaliknya.

Jika demikian halnya, sikap yang benar adalah di tengah-tengah, dalam arti bisa menerima keduanya apa adanya, bisa menerima keduanya secara alamiah.

Jika sedang merasa senang, jangan sampai larut dalam kesenangan, karena kesenangan bisa berakhir. Jika sedang merasa susah, jangan sampai larut dalam kesusahan, karena kesusahan juga bakal berakhir. Jika sampai larut, pada akhirnya kita akan tenggelam dan menimbulkan penderitaan.

Balok Kayu

Ibarat ada sebuah balok kayu yang kita lempar ke dalam sungai. Kayu itu akan terapung dan akan bergerak mengikuti arus. Jika tidak membusuk atau tersangkut pada salah satu tepi sungai, balok kayu itu akan sampai ke muara (laut). Balok kayu itu harus selalu berada di tengah-tengah agar bisa sampai ke tujuan.

Demikian halnya dengan diri kita, jika kita berada di tengah-tengah (bisa menerima dualitas), kita akan bisa sampai kepada kesadaran, pencerahan, kebahagiaan, surga. Menerima dualitas berarti menerima dua hal yang kita anggap saling berlawanan. Menolak dualitas berarti hanya menginginkan satu sisi saja.

Menerima dualitas: kesenangan dan kesusahan, kebahagiaan dan penderitaan, kebaikan dan keburukan, kelebihan dan kekurangan,  untung dan rugi, sehat dan sakit, muda dan tua, hidup dan mati, dan seterusnya.

Menolak dualitas: hanya mau senang saja, hanya mau bahagia saja, hanya mau yang baik saja, hanya mau untung saja, pingin sehat terus, pingin muda terus, pingin hidup terus, dan seterusnya.

Menerima dualitas adalah menyadari bahwa di dalam kesenangan ada kesusahan, di dalam kebahagiaan ada penderitaan, memiliki kebaikan juga memiliki keburukan, punya kelebihan juga punya kekurangan, siap untung juga siap rugi, adakalanya sehat adakalanya sakit, setelah muda akan menjadi tua, ada kehidupan pasti ada kematian.

 Lihatlah LAMPU

Kita tahu bukan, bagaimana sebuah lampu bisa menyala?

Lampu bisa menyala karena adanya pertemuan arus positif dan arus negatif. Penyatuan antara dualitas. Lampu tidak akan bisa menyala jika pertemuan arus positif dengan arus positif saja, atau arus negatif dengan arus negatif.

Ketika terjadi pertemuan antara arus positif dan arus negatif, maka menghasilkan cahaya. Cahaya yang bisa menerangi kegelapan. Cahaya yang bisa menunjukkan dunia secara lebih jelas dan nyata. Bahkan pertemuan dua arus itu menghasilkan banyak manfaat bagi manusia: listrik, mesin, kendaraan, perangkat elektronik, dan berbagai industri lainnya.

Demikian halnya manusia, jika mampu memadukan antara yang positif dan yang negatif, baik dan buruk, bahagia dan derita, senang dan susah -- secara harmonis dan seimbang -- maka manusia akan menemukan kebahagiaan, kedamaian, dan keselarasan. Manusia akan dapat menemukan dirinya yang sejati.

Sumber:

Ajahn Chah, A Tree in A Forest, Karaniya, Jakarta, Juli 2012.

Ajahn Brahm, Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya, Awareness Publication, 2012.

Ceramah Ust. Syaiful Karim di Youtube.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun