Mohon tunggu...
Tri Harnanik atas asih
Tri Harnanik atas asih Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya seorang guru di daerah gunung kidul, Yogyakarta.Pecinta literasi dan sudah membuat buku berupa cerpen, puisi, novel dan juga i penulis skenario

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Go Home

5 Juni 2024   14:30 Diperbarui: 5 Juni 2024   14:46 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 3

Diva menjadi gadis pemurung. Bicaranya irit ketika ditanya ibunya maupun nenek Diva. Semenjak kejadian siang itu, Diva lebih sering mengurung diri di kamar.

"Diva,,," Ayo keluar, Nak. Ibu bikinan makanan kesukaanmu." Ibu berdiri memandang anak semata wayangnya. Hatinya teriris melihat kondisi Diva sekarang.

Terdengar langkah kaki berjalan menuju ke arah mereka. "Ada apa ini?" Kenapa Diva, Nduk?'

"Diva teringat ayahnya, Mbok."

 Bu Aminah tak bisa menyembunyikan perasaannya. Di ujung matanya air bening menetes. Cepat-cepat ia hapus air mata itu, jangan sampai Diva tahu betapa rapuhnya ia sebagai ibu.

Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Diva tumbuh menjadi gadis yang cantik. Wajahnya ayu, seperti ibunya dan sorot matanya tajam. Hari itu juga Diva ingin mencari sosok ayahnya yang menurut neneknya, tinggal di kota Semarang. Ia pun bertekad menyusul ayahnya. Dan hanya dengan bantuan alamat yang lusuh di tasnya. Diva ingat dalam mimpinya jika ayahnya ingin sekali bertemu dengannya. Mungkin inilah langkah awal Diva mencari ayah kandungnya.

"Diva, benar kamu ingin mencari ayah kandungmu?" tanya Bu Aminah dengan suara penuh tekanan.

"Aku yakin Bu, jangan halangi Diva unyuk kali ini. Aku hanya ingin ketemu ayah dan aku janji akan kembali pada ibu," kata Diva. Ditatapnya perempuan itu dengan penuh harap.

Bu Aminah mendesah pelan. "Baiklah kalau itu maumu. Pesan ibu, hati-hati di sana. Jika kamu sudah ketemu ayahmu, hubungi ibu dan nenekmu."

"Baik Ibu. Sekarang Diva pamit." Diva segera mencium tangan ibu dan neneknya. Tak sanggup melihat itu, Bu Aminah segera memeluk anaknya.

"Ibu satang kamu, Nak. Segera kembali, ya." Diva tetsenyum dan mengangguk pelan.

Hari beranjak siang. Diva melangkah dengan pelan meninggalkan kampung halamannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun