Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (119): Tukang Kebun Di Sarang Penyamun

27 Desember 2024   04:52 Diperbarui: 27 Desember 2024   04:52 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

"Pedepokan Benteng Nusa memang bukan perguruan silat yang paling tua di Jombang, tapi banyak orang mengatakan bahwa jurus-jurus silat perguruan tersebut merupakan sumber dari semua aliran persilatan yang kemudian timbul belakangan!"

Ki Renggo mengangguk-anggukan kepala. Ia sangat menikmati penjelasan Guru Lintang mengenai sejarah pencak silat yang jarang diketahui banyak orang. Bahkan ia sendiri pun baru mengetahuinya hari itu.

Seni bela diri yang dinamakan pencak silat merupakan karya asli bangsa Nusantara. Konon awalnya terinspirasi dari keterampilan orang jaman dahulu dalam mempertahankan hidup. Karena harus pandai menyerang dalam berburu sekaligus bertahan menghadapi serangan binatang-binatang buas, maka keterampilan itu kemudian wajib diajarkan secara turun-temurun.

Hal tersebut sesuai dengan temuan berbagai pahatan dan relief gambar posisi kuda-kuda yang merupakan gerakan dasar pencak silat. Terdapat juga relief ketika berburu dan perang yang menggunakan berbagai senjata, seperti golok, tombak, dan juga perisai.

Seiring berjalannya waktu, gerakan-gerakan itu terus mengalami perkembangan, karena sangat berguna saat harus mempertahankan wilayah atau berebut buruan antar suku. Di kala situasi aman, gerakan-gerakan yang akhirnya disebut pencak silat itu kemudian digunakan sebagai pertunjukan, sehingga terciptalah tarian-tarian yang gerakan-gerakannya diperhalus dan diperindah. Akibatnya semakin melahirkan banyak beragam gerakan. Tidak heran, akhirnya pada setiap jurus akan ditemukan gerakan yang harmonis, luwes, dan juga indah dipandang.

Para ahli sejarah pencak silat memperkirakan bahwa seni bela diri itu sudah ada sejak abad 7 Masehi, dan mengalami penyebaran secara pesat pada sekitar abad ke 12 Masehi.

Di Jombang sendiri ada seorang yang dikenal dengan nama Eyang Sumoyono, yang pertama kali mengombinasikan antara seni bela diri dengan ajaran kebatinan. Salah seorang muridnya adalah Mpu Naga Neraka, yang di kemudian hari mendirikan Padepokan Benteng Nusa. Mpu Naga menciptakan teknik bela diri yang lebih efektif dan efisien, mulai dari memaksimalkan tangan kosong maupun penggunaan senjata.

Tulus alias Kebokicak awalnya mengenal pencak silat dari Mpu Naga Neraka, sebelum akhirnya belajar juga kepada Mbah Kucing alias Eyang Dhara. Mbah Kucing lebih mengutamakan keselarasan hati dan pikiran dalam setiap gerakan. Tujuannya adalah, bersamaan dengan mengenal sekaligus menghafal gerakan, juga dilakukan pembinaan mengenai akidah dan akhlak. Itu wajib dijalankan dan ditaati oleh semua muridnya.

Tentu saja, hal itu akan sangat membantu membentuk kepribadian yang positif. Misalnya saja seperti sikap tenggang rasa, disiplin, welas asih, setia kawan, menghormati dan menghargai orang, serta berjiwa ksatria. Walhasil, pencak silat mampu meningkatkan kematangan jasmani dan rohani.

Berbagai gerakan yang pada dasarnya merupakan hasil penggabungan dari berbagai unsur, misalnya saja seperti unsur wiraga, wirama, dan juga wirasa menjadi satu kesatuan yang utuh dan terpadu. Namun demikian gerakan pencak silat memiliki perbedaan yang cukup mencolok antara aliran yang satu dengan aliran lainnya.

Yang masih menjadi pertanyaan, siapa sosok yang menjadi guru yang mengajarkan pencak silat kepada Eyang Sumoyono. Konon Eyang Sumoyono pernah menyebut bahwa dia belajar dari Eyang Sepuh. Siapa yang dimaksud Eyang Sepuh itu juga masih menjadi sosok misterius hingga kini.

Bahkan gambaran tentang Eyang Sepuh sendiri tidak ada, cuma digambarkan bahwa dia orang yang luar biasa sakti. Dia kemungkinan hidup di masa Kerajaan Singhasari. Kesukaannya berpakain dan bercelana serba hitam. Juga selalu memakai penutup kepala berwarna hitam. Badannya digambarkan sedang saja, tetapi otot-ototnya berisi dan tampak kekar. Langkah kakinya ringan bagaikan tidak menginjak tanah, gerakannya lembut dan betul-betul menarik untuk menjadi bahan perbincangan yang sulit dilupakan.

"Pada masa itu, tidak hanya ketangkasan bela diri, tapi berjalan di atas air dan terbang pun dilombakan!" tutur Guru Lintang, "Eyang Sepuh yang pertama mengajarkan itu semua!"

"Mengagumkan!"

"Bahkan, termasuk 'Pecah Rogo', yang membuat seseorang bisa muncul di dua tempat dalam waktu bersamaan, itu juga menjadi salah satu cabang yang diperlombakan!"

"Apa ilmu seperti itu benar-benar nyata?" tanya Ki Renggo penuh ketakjuban, "Kalau benar nyata, berarti dia sudah bukan manusia!"

"Ha..ha.., beliau memang disebut manusia setengah dewa. Semua pendekar yang pernah ada di muka bumi ini belum ada separuhnya. Di hadapannya, kita bagaikan anak-anak yang baru mengenal silat dan baru belajar dasar kuda-kuda! Eyang Sumoyono saja belum mampu menguasai semua ilmu Eyang Sepuh, apalagi Mpu Naga, Kebokicak, apalagi saya!"

"Apalagi generasi di jaman sekarang ini!" timpal Ki Renggo semakin dibuat kagum, "Menurut anda, sejak usia berapa orang berlatih silat sehingga bisa menguasai semua ilmu yang demikian mengagumkan itu?"

"Andaikata orang diberi umur lima generasi saja belum tentu bisa menguasai semua ilmu itu!"

"Hm..menarik, bersyukur sekali saya mendengar cerita ini dari anda, Guru Lintang!"

"Saya sendiri juga senang saat mendengar cerita ini dari, Arum istri saya!"

"Arum Naga? Putri tunggal Mpu Naga!"

"Betul!"

"Bukankah dia yang mendapat julukan Pendekar Naga Jelita?" tanya Ki Renggo.

"Ha..ha.., apalah arti sebuah julukan, Ki?" balas Lintang. "Oh iya, kok saya yang jadi banyak ngomong!"

"Tapi saya sangat senang mendengar cerita anda, Guru Lintang! Ini ilmu yang sangat bermanfaat, khususnya bagi saya! Terima kasih!"

"Sama-sama. Nah, sekarang giliran anda yang menceritakan maksud kedatangan anda ke sini?"

Ki Renggo memperbaiki sikap duduknya. Wajahnya berubah sangat serius, dan menarik nafas dalam sebelum memulai cerita panjang lebar tentang kejahatan dan kesesatan Kanjeng Wotwesi.

***

Sekitar sepuluh orang dipimpin langsung oleh Ki Wakut, ketua laskar Intijiwo tingkat tujuh, mendatangi padepokan Benteng Nusa. Mereka semua tampak gagah, bersenjata golok yang diikatkan di sabuk pinggang. Sabuk kulit yang memiliki warna dan dekorasi seragam.

"Saya mencari orang bernama Ki Renggo!" tanya Ki Wakut di depan pintu gapura padepokan. "Dia pasti berada di sini!"

Beberapa murid yang mendapat giliran jaga pos menerima dengan sikap ramah, biarpun pertanyaan itu dilontarkan dari atas kuda dengan nada angkuh. "Ah betul. Kemarin memang ada tamu yang mengaku bernama Ki Renggo. Kalau boleh tahu Ki sanak dari mana?"

"Kami adalah saudara seperguruan Ki Renggo, dari perkumpulan Intijiwo!"

"Oh.., mari saya antar ke ruang tamu. Akan saya beritahu Ki Renggo kalau ada yang mencari. Sepertinya tadi dia sedang bercakap-cakap dengan guru kami di ruang tamu!"

Ki Wakut berpaling ke teman-temannya dan saling melempar senyum penuh arti. Ternyata tidak perlu susah payah untuk mendapatkan pengkhianat itu. Tebakan Ki Dewan ternyata tepat sekali.

Ki Renggo yang baru saja selesai menceritakan semua rahasia yang ia peroleh selama menyamar menjadi tukang kebun, terkejut menyaksikan kedatangan Ki Wakut dan kawan-kawannya.

Ki Renggo langsung bangkit dari tempat duduk. "Saya mohon maaf Guru Lintang, mereka adalah murid Intijiwo yang pasti sedang mencari saya!"

"Ki Renggo, kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" teriak Ki Wakut begitu melihat orang yang dicarinya berdiri di depan. Matanya menatap sambil menyipit seolah sedang menakar kekuatan lawan. Ia bersikap waspada untuk siap menerima segala kemungkinan yang akan terjadi.

Dengan wajah muram dan kening berkerut Ki Renggo mengaku bahwa dia memang telah berkelahi dengan Giman dan Moko, tapi itu karena dia diserang lebih dulu. "Saya terpaksa harus membela diri. Giman memang meninggal akibat perkelahian yang tidak saya kehendaki itu. Tapi saya tidak membunuh Moko. Dia memilih bunuh diri. Saya benar-benar menyesal dan minta maaf kepada kalian semua dan khususnya kepada Kanjeng Wotwesi!"

"Ha..! Apa kamu pikir cukup dengan menyesal dan minta maaf? Apakah sedemikian murahnya kau menilai nyawa dua orang saudara kami?" hardik Ki Wakut dengan kedua alis terangkat. "Kamu ternyata seorang pengkhianat, dan sekarang kamu harus ikut kami untuk menerima hukuman mati dari kanjeng!"

Ki Renggo melangkah maju dan seolah-olah menyerah untuk ditangkap. Ia letakkan tangannya pada gagang pedang, menggenggam erat, dan berjanji pada diri sendiri, 'Lebih baik mati ketimbang menyerah. Sekarang ini cuma pedang yang akan berbicara,' pikirnya.

Akan tetapi ketika tangan Guru Lintang menahan, dan tatapannya bertemu pandang, ia melihat pendekar besar itu menggeleng-geleng kepala perlahan, sehingga ia mengurungkan niatnya.

Walaupun baru mengenalnya, Lintang dapat merasakan ketegaran hati dan keberanian Ki Renggo. "Saudara-saudara sekalian, mohon maaf bukan berarti saya mau mencampuri urusan perguruan anda," kata Lintang dengan sikap tenang, "Akan tetapi karena Ki Renggo saat ini menjadi tamu kami, maka keselamatannya akan menjadi tanggung jawab kami. Anda juga mendengar bahwa Ki Renggo terpaksa harus mempertahankan diri. Jadi saya harap saudara sekalian bersabar dan bersedia menyelesaikan urusan dengan Ki Renggo di luar padepokan kami!"

"Maaf Guru Lintang, kalau begitu usir saja pengkhianat itu sekarang juga, biar kami segera selesaikan di luar!"

"Sabar. Tidak bisa main usir begitu!" jawab Lintang sambil tersenyum menenangkan, "Anda pasti diajari oleh guru anda tentang tata krama bukan?"

"Berarti intinya anda melindungi seorang penjahat!"

"Anda sendiri tadi mendengar penjelasan Ki Renggo bahwa dia mempertahankan diri karena diserang! Dia tidak berniat membunuh! Siapa pun berhak membela diri, bukan?"

"Karena sudah mengkhianati kami, maka dia diserang! Harap anda tahu, kami inilah yang menjadi korban!"

"Coba jelaskan pengkhianatan macam apa yang telah dilakukan oleh Ki Renggo? Bukankah Ki Renggo hanya seorang tukang kebun di perkumpulan besar Intijiwo yang sangat termasyur? Bagaimana mungkin dia bisa mengkhianati kalian, sehingga kalian mengaku sebagai korban?"

Ki Wakut menjadi salah tingkah dan terdiam beberapa saat. Ia kemudian menyampaikan pesan Ki Dewan. "Oh iya, ada yang sangat penting untuk anda dengar, Ki Dewan bilang ia bersedia menukar Kitab Pusaka Sakti Mandraguna yang ada pada beliau dengan nyawa pengkhianat ini!"

Betapa kaget Lintang mendengar itu. 'Bagaimana mereka bisa mendapatkan kitab itu? Apakah Gala bergabung dengan Intijiwo?' Meskipun banyak pertanyaan berkecamuk dalam benaknya, tapi ia tetap menampakan sikap tenang. "Apakah ada anggota Intijiwo yang bernama Manggala?"

Sesaat mereka saling melempar pandang sebelum akhirnya Ki Wakut menjawab, "Sepertinya tidak ada. Kalau dia anggota lama, pasti kami mengenalnya. Gak tahu kalau baru gabung! Memangnya kenapa?"

"Ah tidak apa-apa. Untuk kalian ketahui, nyawa manusia lebih penting ketimbang kitab! Tolong sampaikan kepada Ki Dewan, saya tidak butuh kitab itu!" Di dalam hati Lintang akan berniat mengirim muridnya untuk menyelidiki perkumpulan Intijiwo yang mengaku memiliki Kitab Pusaka yang dicuri itu.

"Berarti anda memilih bermusuhan dengan guru kami, Kanjeng Wotwesi?"

"Itu kesimpulan anda sendiri! Saya tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun!"

"Baik, saya ingatkan jangan sampai anda menyesal di kemudian hari gara-gara pengkhianat ini!"

"Terima kasih sudah bersedia mengingatkan!"

"Hei Ki Wakut," seru Ki Renggo, "Kamu belum menjawab pertanyaan Guru Lintang, apa pengkhianatan yang telah aku lakukan? Aku ini hanya seorang tukang kebun di sarang penyamun, kenapa aku sampai mau dibunuh? Moko dan Giman bilang aku harus mati! Apa salah saya?"

"Ya, tolong jelaskan!" imbuh Lintang,

Tanpa tahu apalagi yang harus diperbuat, Ki Wakut dan kawan-kawannya akhirnya terpaksa menyingkir pergi sambil menyembunyikan rasa kecewa. Mereka gentar melihat sikap tegar Guru Lintang yang berjuluk Pendekar Pedang Akhirat itu, sehingga membuat mereka ragu-ragu untuk mengambil tindakan. Padahal mereka sudah sangat bernafsuh menghabisi Ki Renggo di tempat.

Ki Renggo terharu dengan sikap Guru Lintang yang sepenuhnya bebas dari sikap mementingkan diri sendiri. Kebesaran jiwa pendekar itu membuatnya benar-benar kagum. Ki Renggo menangkupkan kedua telapak tangan dan membungkuk dalam dan lama. Tak dapat mengeluarkan kata-kata.

"Bangunlah Ki Renggo!"

"Guru Lintang telah menyelamatkan nyawa saya," katanya penuh kesungguhan, "Terima kasih atas apa yang telah Guru lakukan kepada saya. Saya tak akan pernah bisa membalas budi ini sampai kapan pun!"

"Jangan berlebihan, Ki Renggo! Ini merupakan kewajiban kami untuk menghormati setiap tamu yang berkunjung ke sini!"

'Ah, sekiranya dunia memiliki banyak orang seperti Anda, tak sangsi lagi banyak orang yang akan terselamatkan, dan dunia pasti akan menjadi lebih baik!'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun