Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (112): Obrolan Ringan

27 November 2024   05:02 Diperbarui: 27 November 2024   08:34 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Karena mengurusi taman di sekitar Puri Intijiwo, Ki Renggo bisa sering berjumpa dengan orang-orang tingkat tujuh. Jumlah mereka tidak banyak, tapi rata-rata memiliki kesaktian yang hebat. Bukan itu yang penting, akan tetapi kesempatan besar untuk bisa mengenali lokasi lingkungan puri itulah yang terpenting.

Dia juga mengingat setiap pergerakan para petugas keamanan dan lokasi-lokasi yang bagi siapa pun dilarang keras untuk mendekati. Lokasi yang dianggap keramat itu hanya bisa dimasuki oleh Kanjeng Wotwesi dan orang-orang yang diijinkannya.

Setiap menjelang sore, semua tukang kebun digiring keluar dari wilayah puri, kembali ke pemukiman wilayah tingkat satu. Kebanyakan mereka memang anggota baru. Setiap hari mereka keluar masuk melewati pos keamanan yang sangat ketat.

Ki Renggo juga beberapa kali mendapat kesempatan melihat cucu kanjeng, Kebo Klebat, yang di tempat itu biasa dipanggil Raden Klebat. Seorang pemuda tampan yang agaknya pendiam dan suka menyendiri, kharakter yang bertolak belakang dengan kakeknya.

Di pagi hari yang berhawa sejuk. Ki Renggo mencermati bangunan kecil mirip tempat pemujaan kepada dewa yang dijaga sangat ketat. Bangunan yang dilapisi emas murni itu begitu mencurigakan, sehingga menjadi obyek pertama yang penting untuk diselidiki.

Bekal kecerdasan dan pengalaman yang kaya sangat membantu penyelidikannya. Kesimpulan awal yang ia peroleh, Kanjeng Wotwesi adalah salah seorang pemuja Siluman Garangan.

Musang yang paling dikenal dari berbagai jenisnya adalah musang luwak. Masyarakat Jawa lebih sering menyebutnya garangan. Hewan malam yang sering dituduh sebagai pencuri ayam penduduk.

Dalam kepercayaan masyarakat, terdapat beberapa hewan yang mampu hidup lama sampai akhirnya dapat menjelma dalam bentuk manusia, yang biasa disebut siluman. Siluman garangan memiliki keahlian berubah wujud. Apabila garangan berusia di atas seratus tahun, ia bisa menjelma menjadi wanita cantik, yang kemudian menggoda dan melakukan hubungan seks dengan para korbannya. Siluman seperti itu memiliki keahlian memengaruhi dengan sihir, mengetahui hal-hal pada jarak lebih dari seribu meter, dan membaca pikiran orang. Apabila seekor garangan berumur di atas seribu tahun, ia sanggup mencuri pengetahuan dan kenangan dari seorang korbannya.

Kanjeng Wotwesi diduga memiliki kemampuan sihir atas bantuan siluman garangan. Garangan yang menjelma sebagai wanita cantik dengan telinga garangan dan berekor bulu emas itu bernama Ratu Jiwo, siluman pemangsa jiwa. Bangunan seperti candi berlapis emas itu adalah tempat Ratu Jiwo bersemayam.

Penganut intijiwo tingkat tujuh memiliki keyakinan, tanpa Ratu Jiwo, tidak mungkin pemukiman Lembah Gunung Pegat itu bisa dibangun.

Seiring dengan berjalannya waktu, seorang pertapa yang menyamar menjadi tukang kebun itu semakin banyak menemukan keanehan-keanehan.

Untuk sementara waktu Ki Renggo menyimpan sendiri pengetahuan tentang kesesatan Kanjeng Wotwesi dan Intijiwo. Ia tidak akan membuka hal itu kepada siapa pun sebelum yakin benar kepada siapa orang itu berpihak. Peristiwa di kademangan telah memberi banyak pelajaran baginya untuk jangan sampai kesalahan itu kembali terulang.

Ada seorang anggota yang baru diterima dan tinggal di asrama tingkat satu. Ki Renggo menduga orang baru itu adalah seorang penyusup seperti dirinya. Entah apa misi penyusupannya. Pasti banyak orang yang ingin menyusup dan memata-matai Kanjeng Wotwesi. Mungkin pengusaha saingannya yang ingin mengetahui rahasia-rahasia kesuksesannya, atau pendekar-pendekar yang ingin balas dendam.

Yang jelas, jika ia bisa mencurigai seseorang sebagai penyusup, bukan mustahil para petugas keamanan Intijiwo pun juga bisa mencurigainya. Oleh karena itu, ia mengingatkan dirinya sendiri agar selalu waspada dan harus hati-hati dalam segala tindakan.

Menurut penilaiannya, jika orang baru itu memang benar penyusup, dia terlalu mencolok. Gerak-geriknya terkesan tidak natural dan dibuat-buat. Akan berbahaya jika orang yang tidak berpengalaman menyusup di tempat seperti itu.

Suatu ketika ia berpapasan dengan orang baru itu di jalan menuju asrama. Mereka sama-sama baru keluar dari kamar mandi. "Maaf, anda yang baru kemarin siang masuk ya?"

"Iya benar!"

"Dari mana?"

"Dari Jombang! Kalau Ki sanak?"

"Saya dari Banyuwangi!" Ki Renggo tidak berniat untuk bercakap-cakap lebih lama. 'Dari Jombang. Hm.., tempat itu memiliki banyak pendekar dan padepokan besar, kenapa belajar ke Lamongan? Patut dipertanyakan!'

"Sudah berapa lama Ki sanak di sini?" Orang baru itu bertanya lagi.

"Belum lama, baru tiga bulan!"

"Kalau boleh tahu, apa hal yang paling menarik yang anda pelajari di sini?"

'Pertanyaan berbahaya. Jangan-jangan ini jebakan!' "Saya ini orang tua, Ki sanak! Waktu dan tenaga saya sudah banyak terkuras untuk merawat taman, jadi belum banyak yang bisa saya pelajari! Entah nanti kalau sudah tingkat dua atau tiga. He..he..!"

"Taman di sekitar Puri Utama?"

"Iya!"

"Wah enak sekali. Ki sanak pasti sering bertemu Kanjeng Wotwesi atau cucunya yang terkenal sakti itu ya?"

"Tidak!"

"Tidak. Kok bisa?"

"Maaf, saya harus segera mengerjakan tugas!"

Mereka pun berpisah.

***

Sebuah warung kopi sederhana. Di tengah hamparan persawahan yang luas di bawah rumpun bambu yang teduh. Apabila kekayaan membuat seseorang bersikap angkuh, maka dianjurkan singgah barang sejenak di warung itu. Di situ mereka akan tahu bahwa orang kaya sejati justru berusaha mati-matian menyembunyikan kekayaannya.

Ada seorang pelanggan setia yang penampilannya seperti seorang pengembara tersesat. Bajunya lusuh dan selalu penuh keringat, seolah habis melakukan perjalanan jauh. Padahal dia seorang saudagar yang paling sukses di kota itu.

"Supaya kamu ketahui, harga satu rumah saudagar itu saja mungkin tak akan terbeli olehmu! Padahal dia punya sembilan belas rumah!" komentar yang akrab terdengar di telinga masyarakat.

"Ki, berilah nasehat kepada saya!" celetuk seorang pengunjung warung kepada sang saudagar.

"Bukan merupakan dosa merasa lemah karena memiliki kekurangan!" papar sang saudagar, "Tapi jangan hal tersebut membuat kita menyalahkan diri sendiri dan mengutuki nasib. Kesadaran akan kekurangan harusnya mendorong kita untuk berjuang lebih keras lagi. Perhatikan ini ya, kalau memang diri kita ternyata sekedar ketela, jangan biarkan begitu terus! Cari jalan kek, gimana caranya jadi ketela goreng atau mungkin jadi keripik, getuk, sawut, dan lain sebagainya. Masa iya mau jualan ketela mentah terus! Upayakan kualitasmu bertambah hingga menjadi lebih mahal!"

Sementara jika karena berpendidikan tinggi kemudian membuat seseorang tinggi hati dan gila hormat, maka dianjurkan juga untuk sering singgah ke warung itu. Jangan pula sampai meninggikan nada suara seolah berwawasan paling luas, karena bisa jadi di sebelah ada orang berbaju dan bercelana murahan yang terlihat seperti tukang ronda, padahal dia seorang Mpu yang gelarnya sangat panjang. Dia barangkali sedang butuh minum secangkir kopi jahe hangat. Itu untuk meredam kejenuhan sebelum melanjutkan menyalin kitab-kitab kuno. Itu pun dalam rangka melaksanakan tugas dari kerajaan.

Orang bernama Mpu Wicak itu ketika masih muda dulu berkerja di kotaraja Trowulan, menyalin berbagai kitab kuno untuk perbendaharaan perpustakaan istana Majapahit.

Nasehatnya yang paling pupoler, "Satu panah hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu tulisan bisa menembus banyak kepala!"

"Mpu, beri saya nasehat agar bisa menulis buku seperti Mpu!" celetuk seorang pemuda sambil menikmati aroma kopinya.

"Menulis harus banyak membaca. Mustahil tidak suka membaca lantas bisa menulis. Menulislah dari hati, niatkan untuk bermanfaat bagi orang banyak!" tuturnya datar. "Menulis merupakan proses kreatifitas yang membutuhkan proses panjang, itulah mengapa harus terus dilatih berulang-ulang secara konsisten. Menulis merupakan sarana aktualisasi diri serta bukti eksistensi diri, karena karya itu kelak akan terabadikan dalam sejarah!"

Giliran seorang pakar politik memberikan wejangan, "Tahukah kalian bahwa semua tragedi yang menyedikan dalam sejarah jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan itu terjadi ketika keagungan agama diturunkan paksa ke dalam pusaran hiruk-pikuk politik!"

"Mohon dijabarkan, Ki," timpal seseorang sambil memperbaiki posisi duduknya, bersila di atas tikar tua yang tampak sering ketumpahan kopi.

"Itu memang daya pikat yang paling ampuh agar kita percaya bahwa kepentingan politiknya merupakan kepentingan dewa dan agamanya. Jika kita tidak berpihak kepada mereka lantas dituding menentang kehendak dewa, atau dianggap musuh agama. Itulah mengapa, mereka menunjukkan ibadahnya secara terbuka dihadapan publik. Ibadah yang sangat khidmat jika dilakukan dalam keheningan, di tangan mereka segala ritual yang suci itu menuntut cahaya damar yang gemebyar! Pamer kesalehan! Pamer kesucian!"

Ada juga seorang guru ahli tasawuf yang sedang menikmati kolak dalam mangkuk kayu.

"Njenengan kok tidak bosan pesan kolak?" seru seorang pengunjung.

Sang Sufi yang bernama Mbah Kadir itu menuturkan, "Kolak berasal dari kata 'Khalik' yang artinya Sang Pencipta, dan ini dijadikan salah satu media dakwah oleh para Walisanga!"

"Menarik! Bagaimana ceritanya, Mbah Guru?" timpal yang lain.

"Kolak yang berisi pisang kepok dikaitkan dengan kata 'Kapok', yang berarti jera. Makanan ini bisa jadi pengingat manusia agar banyak bertaubat kepada Allah. Selain itu ada juga telo pendem. Kata 'Pendem' merujuk pada makna agar kita rajin mengubur keburukan-keburukan yang pernah dilakukan di masa lalu!"

"Kekonyolan pikiran saya menduga bahwa pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir sebagai penjaga lautan itu adalah di tanah Jawa!" celetuk Sang Mpu, "Bagaimana menurut Mbah Kadir?"

"Kenapa begitu, Mpu Wicak?"

"Sebab sisa-sisa ilmu Nabi Khidir sampai detik ini hanya diterapkan oleh orang Jawa!"

"Ya.., itu pada dasarnya merupakan naluri jenius orang Jawa!"

Kini semua mata beralih ke Mbah Kadir, dan menyiapkan wadah di hati untuk menerima sebuah ilmu.

"Ada ungkapan 'Manungsa kang ngetung sabarang kalir nganggo angka iku titah kang wasis. Manungsa kang ngerti ana ngendi anggone jangkah iku titah kang lantip. Manungsa kang ngerti panjangkahning urip, ngerti sangkanparaning dumadi iku titah kang waskita'. Itu semua dipertautkan dengan ilmu hikmah, ilmu nilai, ilmu tentang rasa, yang dipraktekkan bahwa 'Ngelmu iku kalakone kanthi laku'! Hanya orang Jawa yang dalam keadaan apa pun, masih selalu bisa mengatakan untung, kendati baru saja mengalami musibah yang berat!"

"Betul, Mbah. Itu menandakan rasa syukur yang sudah mencapai Tingkat sempurna!"

"Benar. Tidak boleh sampai ada kata keluhan, apalagi umpatan!"

"Kenapa dulu para leluhur kalau berdoa, meskipun tidak fasih, tapi seringkai makbul, Mbah?" tanya seorang pemuda.

"Sebab sewaktu berdoa para leluhur kita itu memohon dengan hati yang bersih. Memohon dengan penuh kerendahan jiwa. Tidak sebatas ucapan saja, akan tetapi benar-benar dihayati!"

Suasana menjadi hening. Semua pengunjung tampak menyimak dengan seksama.

"Mudah-mudahan akalmu tidak terjungkal ketika tahu bahwa para leluhur dulu kalau berdoa mintanya hanya satu, 'selamat'. Itu yang paling penting. Di mana saja, mau di rumah, di pasar, di hutan, di gunung, di laut, mintanya sama, 'selamet'. Itu lebih efektif dan efisien."

Semua pengunjung, tanpa dikomando, tampak mengangguk-anggukan kepala.

"Kenapa kok cuma minta selamat? Kok gak minta istana di surga? Kok gak minta rejeki berlimpah ruah? Kok bukan minta puluhan bidadari yang keperawanannya abadi? Atau minta musuh-musuhnya yang dibenci semuanya mati? Karena pengendalian diri leluhur kita dulu sudah sangat sempurna. Kalau terjadi sesuatu yang menimpa mereka, mereka akan lebih memilih untuk 'mulat sarira' atau intropeksi. Bukan cari kambing hitam. Tidak mengkambinghitamkan setan, tidak menuding alam, tidak menyalahkan bangsa lain atau agama lain. Mereka juga menyikapi segala perubahan alam yang kadang tak terduga dengan wajar-wajar saja. Tidak menganggap bencana alam itu azab sebab Allah murka gara-gara banyak perselingkuhan dan perjudian misalnya. Itulah kenapa yang diminta hanya 'selamat'. Cukup! 'Bismillah.. sluman slumun slamet' itu mantra orang Jawa yang kejeniusannya telah benar-benar mengendap!"

Orang luar kota boleh meremehkan orang yang sarungnya diselempangkan di pundak, bertelanjang dada dan bercelana sebatas lutut serta tanpa memakai alas kaki. Namanya adalah Joko Lahar, lahir ke bumi bersamaan dengan muntahnya lahar Gunung Kelud. Dia memiliki posisi yang cukup tinggi di Padepokan Benteng Naga. Pemuda pendiam yang akan dengan suka cita menyapa siapa saja itu sesungguhnya adalah seorang pendekar pilih tanding. Belum ada cerita dia kalah dalam adu silat satu lawan satu.

"Siapakah pendekar yang paling Cak Har kagumi?" tanya seorang pengunjung warung.

"Pada masa Ki Demang Wiryo berkuasa, siapakah orang terhebat tenaga tendangannya? Siapakah sosok yang sangat ditakuti oleh para penjahat karena kekuatan kakinya setara dengan seratus kaki kuda? Siapa lagi kalau bukan Cak Woto, pemuda sederhana berjuluk Pendekar Kaki Malaikat!" jawab Cak Har.

"Apa alasannya, Cak? Kan banyak juga yang lebih hebat!"

"Ya banyak. Tapi Cak Woto itu awalnya hanya dikenal sebagai seorang remaja pincang, lemah dan sakit-sakitan. Tapi kemudian ia bisa merubah semua itu hingga akhirnya dikenal sebagai Pendekar Kaki Malaikat, yang namanya tidak pernah disebut oleh para penjahat tanpa merasa ciut nyalinya. Sementara masyarakat luas tidak pernah menyebut namanya tanpa mengenang jiwa sosialnya yang tinggi! Tentu saja aku juga sangat mengagumi Pendekar Kebokicak dan Pendekar Pedang Akhirat, tapi di antara aku dan Cak Woto memiliki kesamaan yang erat, yaitu sama-sama orang melarat. He..he..!"

Banyak yang berharap untuk bisa singgah ke warung itu, sebab orang akan tahu, warung  istimewa dan dirindukan para pendatang itu adalah tempat di mana orang bisa banyak menyerap ilmu pengetahuan, belajar untuk lebih santai menghadapi kehidupan dan terutama belajar rendah hati.

Cuaca mulai sedikit terselimuti mendung. Alih-alih jadi sendu, topik obrolan di warung asri itu justru semakin menghangat.

Menyantap jajanan sederhana terasa nikmat, terlebih lagi di kala hamparan padi di sekitar sawah mulai menguning. Menjelang musim panen selalu menyajikan panorama yang dijamin bakal membuat para pengunjung terlena.

Jombang adalah kota persinggahan para pedagang yang mulai ramai pada sekitar abad ke 14. Kota yang menghadirkan suasana kuno dengan bangunan gaya arsitektur dari jaman yang berbeda. Misalnya, bangunan candi-candi yang monumental, rumah kayu berukir klasik era Majapahit, rumah tembok mewah pra Kasultanan Demak, dan sebagainya.

Di antara para pengunjung warung ada dua orang murid Intijiwo. Mereka sedang ditugaskan untuk memata-matai dan mengumpulkan informasi mengenai Jombang. Siapa mengira ternyata kedua orang itu kini mengalami mual dan pusing. Itu sebetulnya diakibatkan oleh karena terlalu dalam menyerap semua ilmu pengetahuan yang sebetulnya menjadi obrolan ringan sehari-hari saja di warung itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun