Ki Dewan kemudian memanggilnya, "Kamu Gala kan? Kalau sudah selesai, nanti ke sini ya. Saya ingin bicara!"
Gala mengangguk dengan santun. Saat itu sedang ramai pengunjung. Dia tak berhenti dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya.
Akhirnya saat yang ditunggu datang. Ki Dewan mempersilakan Gala duduk di depannya dan mulai bercerita. "Kamu Gala putera tungal sepasang pendekar besar Mahesa Wijaya dan Ayu Lastri?"
"Benar. Apa Tuan mengenal kedua orang tua saya?"
"Sangat kenal! Mahesa adalah sahabat saya!"
"Tapi maaf, saya tidak pernah mengenal Tuan sebelumnya. Apakah Tuan dulu juga murid Mpu Naga?" Dia tak sedikit pun canggung, balik bertanya dengan percaya diri sebagai seorang anak yang terbiasa bercakap dengan orang dewasa.
"Ya betul! Kami sangat akrab, tapi saya kemudian pergi merantau, sampai mendengar kabar tentang ayahmu!" Ki Dewan menatap dengan pandangan penuh kasih sayang. "Kamu sangat mirip ayahmu, Nak!"
"Terima kasih, Tuan!"
Ketika mendapat pertanyaan kenapa bekerja di warung, Gala menjelaskan bahwa itu atas kemauannya sendiri. Semenjak kedua orang tuanya meninggal dunia, dia diangkat anak oleh Guru Lintang dan Guru Arum. Guru besar Padepokan Benteng Nusa itu memperlakukannya seperti anaknya sendiri, tapi ia ingin belajar mandiri. Ia sudah tidak terlalu berambisi untuk menjadi pesilat. Oleh karena itu ia melamar bekerja menjadi pembantu di warung.
"Saya sangat prihatin melihat nasibmu seperti ini, Gala!"
"Terima kasih. Tapi saya baik-baik saja!"