Oleh: Tri Handoyo
Ki Dewandaru dan Ki Jangkar diam terpaku, menatap nanar bangunan yang dulu begitu megah. Kini bangunan itu tampak kumuh dan mengalami banyak kerusakan. Tanaman-tanaman suplir liar berkecambah di beberapa bagian dinding teras rumah, di mana dahulu Ki Wiryo biasa mengawasi ratusan anak buahnya berlatih silat. Terasnya saja terkesan angker, apalagi di bagian dalam rumah.
Ki Wiryo Kertosastro, lelaki tua renta itu sudah tidak lagi dianggap masyarakat sebagai bangsawan terhormat. Walaupun masyarakat cenderung benci karena reputasi jahat yang disandangnya selama ini, tapi masih ada juga beberapa orang yang merasa prihatin.
 "Beliau dianggap orang yang tidak waras!" ujar salah seorang mantan pembantu.
Ki Wiryo nyaris memiliki semua kemewahan dalam kehidupannya, namun kehidupan telah mengambil satu per satu orang yang dicintainya. Saat tak menjabat lagi sebagai penguasa kademangan, ia kemudian kehilangan rasa percaya diri dan secara perlahan merusak mentalnya. Suatu kejadian yang sangat lumrah di jaman yang penuh kekacauan.
Segera sesudah kegilaannya, para pembantunya pun pergi. Akan tetapi karena mereka kebanyakan orang asli Jombang, masih ada yang kadang rindu untuk berkunjung. Apabila singgah, mereka membersihkan teras, menyapu pekarangan, dan dengan cara-cara lain yang cukup untuk sedikit upaya memelihara rumah kuno itu. Mereka senang istirahat sambil mengobrol di teras. Mengenang masa-masa muda dulu.
"Ki Wiryo sekarang mengembara ke desa-desa, maaf, seperti pengemis!" papar mantan pembantu itu.
"Jalannya pun sudah tidak normal!" timpal yang lain, "Seluruh tubuhnya menjadi tersiksa oleh rasa sakit dan beliau kehilangan semua rambutnya. Dalam penderitaan total, sampai akhirnya kehidupan mengambil semua akal sehatnya!"
Ki Dewan dan Ki Jangkar mendengar cerita itu dengan perasaan tak karuan. Mereka sama sekali tidak pernah menduga bahwa di usia tuanya, Ki Wiryo akan mengalami nasib sedemikian menyedihkan.
"Barangkali kematian akan lebih baik baginya!" celetuk Ki Jangkar, dan sepertinya semua yang mendengarnya sepakat.