Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, mereka tidak selalu membawa keris, apalagi jika situasi kerajaan sedang berada pada kondisi damai. Dalam upacara adat atau acara resmi, keris pun diselipkan di belakang punggung, demi menghormati dan menghilangkan ancaman kepada orang lain. Masyarakat Jawa yang memang menjunjung tinggi sopan santun merasa malu jika menonjolkan kesaktian atau kehebatan ilmunya, termasuk malu menonjolkan senjatanya.
Apabila berada pada situasi perang, baru keris dan senjata lainnya ditempatkan di pinggang depan, bahkan bisa dalam keadaan terhunus. Membawa keris di depan berarti sudah siap bertempur sampai mati.
Ustadz Jangkar dan murid-muridnya hanya mampu menundukan kepala.
"Coba kita perhatikan dakwahnya para walisanga yang sudah jelas sukses luar biasa menyebarkan Islam di Jawa, itu karena mereka bersikap 'lembah manah' dan penuh dengan 'welas asih'! Kita harus mengakui bahwa model dakwah mereka itulah yang sesuai dengan ajaran Islam, ajaran Baginda Rasulullah!"
Ucapan itu sangat berwibawa dan sama sekali tidak mengandung kebencian, akan tetapi cukup menusuk jantung ke dua belas murid yang asli pemuda dusun itu. Memang pemuda dusun jauh berbeda dengan pemuda kota. Mereka belum terlalu keracunan hal-hal yang bersifat keduniawian, hatinya masih cukup bersih dan mudah menerima kebenaran yang langsung menyentuh perasaan. Oleh karena itu, ucapan Kyai Japa membuat mereka terdiam. Malah di antara mereka mulai saling tukar pandangan sambil mengangguk-anggukan kepala sebagai tanda setuju. Sesuatu yang bersumber dari hati akan berlabuh ke hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H