Seorang pengeroyok yang berwajah garang, bertubuh kekar, dan tampak paling tinggi ilmunya, kini kewalahan menerima serbuan Mahesa. Cepat-cepat lelaki berwajah garang itu mengerahkan seluruh tenaganya menangkis golok sambil membanting tubuh ke kanan untuk menghindarkan diri dari sabetan dahsyat bertubi-tubi, namun ujung golok Mahesa sudah menyambar ke arah leher.
Si Wajah Garang menggerakkan kepalanya menunduk, akan tetapi bagian atas kepalanya masih saja terserempet ujung golok, kulit kepalanya terkelupas berikut kuncir rambutnya. Darah segar mengalir dari lukanya. Mulailah ia menjadi gentar, apa lagi Mahesa masih terus mendesaknya tanpa ampun.
Teman-teman Si Wajah Garang membantu dengan menyerang Mahesa dari belakang. Namun mereka kalah cepat, pada akhirnya golok di tangan Mahesa meluncur deras ke arah leher, tapi masih bisa dihadang oleh tangan dan golok itu membabat putus pergelangan tangan Si Wajah Garang. Disusul sabetan ke arah perut yang membuatnya robek dan mengeluarkan semua isinya. Si Wajah Garang roboh tak berdayah.
"Kalian mau pergi dari sini atau mau menyusul temanmu ke neraka?" Mahesa berkata dengan nada dingin.
Sekarang para pengeroyok yang tinggal lima orang itu memandang Mahesa dengan tertegun. Empat orang yang mengeroyok Lastri dan sekarang tinggal dua pun berhenti. Mereka menatap mata Mahesa, mata yang bukan mata biasa, begitu tajam menusuk jantung dan penuh kuasa. Diam-diam mereka merasa kagum, akan tetapi mendengar pertanyaan terakhir itu, mereka memutuskan memilih menyelamatkan nyawa.
Mereka kemudian mengangkat tubuh teman-teman mereka yang sudah tak bernyawa dan yang terluka, lalu membalikkan badan tanpa berkata sepatah kata pun. Dua orang pengeroyok Lastri tampaknya masih belum puas, mereka berdua berpaling ke arah gadis itu seolah mengatakan, 'Sampai ketemu lagi!'
"Apa lihat-lihat?" bentak Ayu Lastri ketus.
Para pemburuh hadiah itu terperangah, lalu memilih menyingkir secepat mungkin.
Setelah menyadari bahwa telah menjadi buronan orang-orang Ki Demang, mereka kemudian menghindari keramaian dan memilih melewati jalan-jalan di pedesaan. Tanpa tujuan pasti, mereka terus menuju ke timur, menjauhi Kota Jombang. Mereka tahu Jombang telah menjadi tempat yang paling tidak aman bagi mereka.
Ketika petang akan segera hadir, mereka sudah mencapai pinggiran hutan menuju ke arah Pacet, Mojokerto. Mahesa lalu mencari tempat istirahat yang sekiranya aman. Dengan golok rampasannya ia dengan tangkas membuat tempat berlindung di atas pohon, dari dahan dan ranting-ranting. Lastri membantu menututpi cela-cela atapnya dengan dedaunan. Paling tidak tempat itu aman dari gangguan binatang buas dan bisa mengurangi dinginnya udara malam.
Gelap semakin sempurna. Mahesa menyandarkan pungungnya pada dahan, di sebelah tubuh yang rebah sambil meluruskan kaki. "Maafkan aku, Lastri! Seharusnya aku tidak membuat kamu menderita seperti ini!" Nada suaranya mengandung penyesalan yang dalam. Ia kemudian bangkit dan turun dari pohon.