***
Kaki bukit sebelah utara Kedung Lintah itu sangat indah pemandangannya. Penuh pepohonan rindang dan rumput menghijau segar. Di situ mengalir sebuah sungai kecil yang airnya amat jernih, penuh batu-batu hitam yang beraneka macam bentuknya. Kalau di pandang dari lereng, tampak betapa indah dan suburnya tanah kaki gunung itu, menyejukan hati.
Arum dan lintang menaiki lereng dengan cepat sekali. Akan tetapi, setelah tiba di puncak bukit, mereka merasa bulu tengkuk berdiri. Keadaannya amat menyeramkan.
Daun-daun pohon bergoyang-goyang tertiup angin. Kembang-kembang merah memenuhi ranting. Rumput-rumput hijau yang tidak pernah terinjak kaki nampak menyemak liar. Suara gemercik air seperti dendang lagu yang tak kunjung berakhir. Tempat itu diselimuti kabut. Begitu sunyi, melengang melebihi sunyinya kuburan. Kesunyian yang begitu mencekam.
Di bawah pohon gayam terdapat kerangka manusia. Tengkorak manusia yang bersandar pada pohon itu masih utuh dan sepasang lubang bekas mata itu seolah-olah tengah memandang ke arah mereka. Tangan kiri kerangka itu mencengkeram sebatang kapak yang gagangnya tampak mulai lapuk.
"Kanda!" seru Arum lirih dan tangannya berpegangan pada lengan Lintang. Mereka berjalan menuju gua. Tempat terkutuk itu, di mana hawa maut mengancam semua yang hidup, menimbulkan rasa ngeri di hati Arum. Segera dia berusaha menguasai dirinya dan melangkah merapat di sisi Lintang yang tetap melangkah dengan tenang.
Mereka memasuki gua, dan Arum kembali merasa bulu kuduknya meremang karena melihat di dalam gua itu ada sebuah peti mati. Tempat membakar dupa yang amat kuno terletak di ujung peti dan sisa-sisa abu tampak menggunduk di sekitarnya. Ketika Lintang mendekati, tampak jelas bahwa sudah lama sekali tidak ada orang yang menyentuh tempat itu, buktinya di atas permukaannya terdapat banyak sarang laba-laba. Di tengah-tengah peti tampak sebuah kitab kuno yang terselimuti debu tebal. Di sampulnya terdapat sebaris tulisan berhuruf Jawa yang berbunyi 'Serat Sekti Mandraguna'.
"Ini kitab yang kita cari!" seru Arum girang, "Syukurlah, ternyata di sini aman!"
"Memang, untuk menyimpan harta karun, tempat terangker adalah justru tempat teraman!" timpal Lintang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H