"Orang menyebutku Pendekar Dewa Keris!" jawabnya lantang sambil cengar-cengir. "Tujuan kedatanganku ke sini adalah untuk mendapatkan pedang pusaka di tangan Guru Putri Arum Naga!"
Semua yang hadir saling pandang dan berbisik-bisik. Sepertinya belum ada seorang pun yang pernah mendengar nama Pendekar Dewa Keris. Tapi mereka semua bersikap menunggu dan meningkatkan kewaspadaan.
"Baiklah!" Pendekar Jelita berkata setelah menarik nafas panjang. Ia mengeluarkan pedang dari sarungnya. "Rebutlah jika anda mampu!"
"Ah, maksudku.., aku mau membeli pedang pusaka itu, Guru Putri Arum! Bukan mau merampas!" kata orang asing itu masih dengan senyum cengar-cengirnya. "Aku berani menukar dengan sepuluh ekor kuda!"
"Apa?" seru Ki Birawa, "Aku yang berani menukar dengan dua puluh ekor kuda saja gak dikasihkan!"
Mbah Kawi dari Perguruan Sedulur Kejawen ikut nimbrung, "Saya malah berani menukar dengan empat puluh kuda terbaik saya!"
Orang yang mengaku Pendekar Dewa Keris itu kemudian berpamitan. 'Sialan, pendekar-pendekar ini rupanya orang-orang kaya juga!' batinnya menggerutu sambil berjalan keluar. "Maaf, permisi! He..he..!"
Arum kemudian melanjutkan jalannya acara. "Yang lolos seleksi berikutnya untuk menduduki posisi wakil ketua adalah Pendekar Jeliteng, Ki Birawa dan Roro Ajeng. Sebetulnya Ki Marijan lolos karena lawannya di babak pertama, Pendekar Tinju Seribu, telah meninggal dunia, tapi Ki Marijan dari Perguruan Kera Putih mengundurkan diri!"
Karena calonnya tinggal tiga, maka kemudian dilakukan pemungutan suara, dan pemenang urutan pertama dan kedua yang akan bertanding. Pendekar Jeliteng berusaha mencari dukungan dari para peserta agar memilihnya, dengan menggunakan pengaruh imbalan uang. Tapi yang terpilih dari hasil pemungutan suara adalah Roro Ajeng yang akan berhadapan dengan Ki Birawa.
Kekecewaan itu membuat pihak Macan Abang menyatakan keluar dari organisasi Ikatan Pendekar Jawa. Padahal tadinya Ki Demang berharap bisa memanfaatkan organisasi itu sebagai kendaraan politiknya untuk meraih kedudukan yang lebih tinggi.
Pertandingan pun segera berlangsung. Bunga api muncrat berhamburan ketika pedang di tangan Ajeng bertemu dengan toya Ki Birawa. Rupanya keduanya adalah ahli-ahli silat yang memiliki kekuatan seperti singa. Nyaring bunyi adu senjata, dan keduanya merasa betapa telapak tangan mereka bergetar hebat.