Oleh: Tri Handoyo
Serangkaian musyawarah yang panjang dan rumit dijalankan untuk memutuskan bahwa Demak sejatinya sudah mampu untuk melakukan perebutan kekuasaan terhadap Majapahit. Singgasana Majapahit yang saat itu berada dalam cengkeraman Dyah Ranawijaya adalah hasil dari menggulingkan Prabu Brawijaya V.
Sebagai adipati Demak Bintara, Raden Fatah terpilih secara mutlak sebagai keturunan Brawijaya V yang punya peluang untuk merebut singgasana. Namun justru terjadi perpecahan suara pada sidang Dewan Walisanga saat merencanakan hal tersebut.
Kubu Sunan Kalijaga tidak menghadiri musyawarah itu. Apalagi semenjak Dewan Walisanga atau Majelis Ulama Jawa dipegang Sunan Giri, hubungan kubu Putihan dan kubu Abangan sedikit meruncing.
Sunan Kalijaga melihat kehidupan rakyat kecil di wilayah Majapahit sudah cukup sengsara akibat perang. Keadaan pemerintahan tidak stabil, para pembesar hanya mementingkan isi perutnya sendiri tanpa mempedulikan kondisi rakyat. Para pejabat saling memperebutkan kekuasaan dalam kerakusan mereka akan jabatan, pangkat dan kemewahan duniawi. Yang kuat menindas yang lemah, yang berkuasa merampok yang tak berdaya.
Wilayah Majapahit yang dulu luas, terus terkikis habis. Kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian seolah pergi menjauh. Darah terus tertumpah tiada hentinya. Perebutan kekuasaan silih berganti. Nusantara semakin terpuruk. Semakin tenggelam dari peta perpolitikan dunia.
Di mana-mana tampak kemiskinan, maka jika timbul peperangan lagi, rakyat kecil pula yang akan semakin menderita. Apalagi saat itu lagi datangnya musim paceklik yang sangat hebat. Sawah-sawah kering merekah, pecah-pecah, tidak mungkin dapat ditanami. Sungai-sungai kehilangan sumber airnya, dan kelihatan dasarnya. Manusia dan binatang ternak kurus-kurus kekurangan makanan, dan tidak sedikit yang mati kelaparan. Rakyat pun menjerit, ratap tangis membubung ke langit, mengadu kepada Tuhan minta agar keadilan segera diturunkan.
Sunan Kalijaga dan para pengikutnya hanya mau membantu Dewan Walisanga merampungkan pembangunan Masjid Demak. Selebihnya soal perebutan kekuasaan, mereka tidak mau ikut campur.
Syekh Siti Jenar juga menyatakan keluar dari Dewan Walisanga. Ia kemudian dipanggil untuk disidang, walaupun ia sebetulnya sudah tidak mengakui lagi keberadaan Majelis Ulama Jawa itu. Syekh Siti Jenar dituduh telah mengajarkan dan menyebarkan aliran sesat, dan ada juga tuduhan yang mengatakan bahwa beliau ahli sihir. Pengaruh beliau memang terus meluas di kalangan masyarakat, dan itu dianggap ancaman bagi Demak.
Syekh Siti Jenar menyatakan siap menghadiri pengadilan Dewan Walisanga. Pada sidang pertama, para ulama tidak bisa membuktikan tuduhan-tuduhan itu. Sehingga beliau kemudian dibebaskan dari hukuman. Akan tetapi, Syekh Siti Jenar tetap dianggap duri dalam daging bagi Demak. Maka sejak saat itu, kesalahan-kesalahan beliau senantiasa dicari-cari.