Arum mengayunkan pedangnya ke arah leher, namun lelaki itu tidak berusaha mengelak atau menangkis, hingga pedang itu kemudian diubah arahnya hingga menyerempet tipis di atas kepala, dan membuat beberapa helai rambut melayang putus kena tebas.
Lelaki itu hanya berpaling menatap Arum dengan tatapan mata teduh.
Hal yang anehnya justru membuat Arum semakin ingin marah sekaligus sangat sedih. Sikap dan pandangan mata yang benar-benar mengingatkannya kepada sang suami yang sangat dicintainya. "Apa kamu hantu?"
"Saya bukan hantu!"
"Diam saja kamu di situ!" perintah Arum dan pergi menuju kamar tidurnya. Ia berpikir keras apa yang harus dilakukan dengan lelaki yang mirip suaminya itu.
Ketika sore hari Arum bangun dari tidur dan keluar dari kamar, ia melihat lelaki yang mirip suaminya itu masih duduk di tempatnya dengan sikap tenang. Ia akhirnya merasa kasihan, sehingga kemudian menyuruh Mbok Semi untuk menyajikan makanan untuknya.
Diam-diam Arum terus memperhatikan lelaki itu dari jarak agak jauh. Seandainya suaminya disandingkan dengan lelaki itu pasti orang-orang akan mengira mereka saudara kembar. Gaya bicara dan suaranya pun nyaris sama, hanya lelaki itu tampak lebih gemuk dan lebih mudah, barangkali selisih lima tahun di bawah Tulus.
Di petang harinya, beberapa sahabat datang ke rumah untuk mengunjungi lelaki yang dianggap Kebokicak itu. Mereka senang mendengar kabar kembalinya Kebokicak, meskipun mereka merasa kecewa karena tidak bisa mendengar cerita perjalanannya karena ia mengalami hilang ingatan.
"Alhamdulillah, setidaknya dia masih bisa selamat!" kata Cak Japa, "Semoga bisa secepatnya pulih kembali!"
"Amin!" sahut Arum hampir meyakini bahwa lelaki itu memang suaminya yang hilang. Berulang kali ia mendengar doa dan harapan seperti itu dari orang-orang yang menjenguk.
"Wah Cak Tulus sekarang tampak lebih mudah!"