"Siapa lagi yang ingin merasakan keganasan pisau Pancanaka?" sembur kedua Pendekar Jeliteng nyaris berbarengan.
***
Arum Naga menggigit bibirnya dan mengepalkan tinju manakala mengenang peristiwa saat berhadapan dengan Si Iblis Betina. Ia sadar bahwa di luar sana banyak orang-orang yang mungkin tidak terkenal tapi berilmu tinggi. Ia juga penasaran kenapa nenek itu sepertinya tidak senang dengan Mpu Naga dan Perguruan Benteng Naga.
'Mungkinkah ada kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh ayah yang tidak aku ketahui?' batinnya gunda.
Ia memandang ke arah langit-langit kamar, berbaring tanpa bergerak seperti patung. Setidaknya peristiwa itu telah mengajarkan kepada dirinya untuk tidak merasa sudah hebat, melainkan harus terus berlatih demi meningkatkan ilmu silatnya. Tentu saja juga untuk tidak menganggap remeh orang lain, karena ia merasa bisa selamat justru karena pertolongan seorang gadis kecil, gadis ajaib.
Ia belum menceritakan peristiwa memalukan itu kepada orang lain, dan sejak itu ia juga mulai jarang berpergian jauh ke pelosok desa. Tiba-tiba ia mendengar suara keributan di luar, dan tidak lama kemudian ia mendengar Mbok Semi memanggilnya dari luar pintu.
"Guru putri..!"
"Iya, ada apa, Mbok!"
Dengan suara terbata-bata nenek itu menjawab, "Ra.. raden Tu.. Tulus, Guru Putri! Raden Tulus pu..pu..pulang!"
Seandainya ada halilintar menyambar di siang hari, kiranya Arum tak akan sekaget ketika mendengar perkataan pembantunya itu. Ia segera meloncat dari ranjang dan berlari keluar. Benarkah suaminya yang sudah lama menghilang pulang?
Di teras rumah para murid perguruan berkerumun, berebut menyalami orang yang baru muncul itu. "Hidup Pendekar Kebokicak..! Hidup Guru Kebokicak..!"