"Kau hebat sekali!" seru Ajeng memuji. Sekarang dia mengubah strateginya bertempur. Tongkat di tangannya itu kini bergerak secara luar biasa, datang menerjang bertubi-tubi dari depan, atas dan samping laksana hujan badai. Ajeng telah mengeluarkan ilmu silat paling hebat dari semua kepandaiannya, jurus-jurus yang bisa dimainkan dengan tangan kosong mau pun dengan senjata itu dilakukan dengan kecepatan yang amat luar biasa.
Arum Naga pun tercengang menghadapi serangan hebat itu. Ia benar-benar menemukan lawan yang sangat tangguh dan hebat. Terpaksa ia mengerahkan ilmu silat andalannya pula, dan dia tidak sekali-kali berani berlaku sembrono. Cepat-cepat ia mengerahkan tenaga dalamnya dan memainkan andalan ilmu toya Naga Memecah Awan.
Bukan main hebatnya pertempuran itu. Keduanya sama-sama lincah, cepat dan kuat. Makin kagum hati Ajeng, karena ia yakin bahwa Arum pasti sudah mendapat gemblengan dari suaminya. Ratusan jurus telah lewat dan masih saja belum ada yang kalah atau menang di antara mereka.
Roro Ajeng kini benar-benar kelelahan. Dia telah memainkan jurus ilmu silatnya yang dahsyat, namun tetap saja tidak mampu mengalahkan lawannya. Keringat bercucuran membasahi semua pakaiannya. Tiba-tiba ia menghentikan serangan dan melompat mundur, meletakan tongkat dan tersenyum getir. "Rupanya aku sudah kena kamu akali ya? Kamu tentu sudah bisa mengalahkan aku seandainya kamu mau!"
"Ah.., Mbak bisa saja!"
Tepuk tangan dan serangkaian pujian dari murid-murid kedua perguruan silat memenuhi aula. Hubungan antara Benteng Naga dan Jari Suci memang semakin erat sejak mereka menyadari bahwa ada musuh yang sama, yakni Ki Demang Wiryo, yang dulu ingin mengadu domba mereka.
Roro Ajeng tersenyum. "Adik Arum, sahabat baikku. Kau sudah beruntung sekali bisa menjadi suami Pendekar Kebokicak, dan pasti sudah belajar banyak darinya. Ilmu silatmu tadi benar-benar hebat, aku salut!"
Merah wajah Arum menerima pujian itu. "Terima kasih, ilmu silat Mbak Ajeng juga hebat!" Arum balas memuji karena dia pun merasa amat kagum kepada gadis itu.
***
Di sore hari yang cerah. Arum minta ijin kepada Cak Japa dan Asih untuk mengajak Alya. Kedua orang itu sangat prihatin melihat nasib Arum yang kehilangan suaminya, sehingga melihat Arum bisa terhibur ketika bermain bersama putri mereka membuat mereka ikut bahagia. Apalagi gadis kecil berusia empat tahun itu juga sangat menyukai Arum.
"Hati-hati ya..!" kata Cak Japa dan Mbakyu Asih. Mereka tidak merasa khawatir sedikitpun saat melepas Arum dan Alya berangkat, karena Arum merupakan seorang pendekar yang cukup hebat, sehingga ia pasti mampu menjaga putri kecil mereka dengan baik.