Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (64): Kalah Jadi Abu, Menang Jadi Arang

12 September 2024   07:19 Diperbarui: 12 September 2024   07:21 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebokicak ikut membantu proses pemakaman pemuda malang itu. Ia kemudian juga mengantar rombongan pengantin perempuan, Siti Wulanjar, ke kampung halamannya. Kampung si pengantin perempuan itu di kemudian hari disebut Desa Ngrawan.

Hari telah beranjak petang. Kebokicak mencari tempat untuk menunaikan shalat. Pikirannya masih diliputi keprihatinan atas kejadian sepasang pengantin yang gagal menikah secara tragis. Lama ia berdiam diri di tempat itu dalam keadaan melamun. Pandangan matanya menatap kosong jalanan yang sepi. Kelak lokasi itu dinamakan Desa Nglungu, yang berarti melamun.

Keesokan harinya Kebokicak kembali melakukan pengejaran. Ia akan menuju Rawa Perning di mana Surantanu bersembunyi. Sementara itu Surontanu sedang berkelahi dengan siluman Celeng Kecek yang mencoba merebut Naga Tracak Kencana. Surontanu berhasil menaklukan dan kemudian membunuh Celeng Kecek.

Kebokicak datang dan mencoba menolong Celeng Kecek yang dianggap berada di pihaknya. Surontanu secepatnya berlari meninggalkan tempat itu. Celeng Kecek menghembuskan nafas terakhir, dan jenazahnya kemudian dipanggul Kebokicak, dibawa ke pinggir Kali Brantas untuk dikuburkan. Wilayah itu di kemudian hari dinamakan Tenggulukan, yang berasal dari kata 'Ditengguluk' yang artinya 'Dipanggul'.

Ketika Surantanu menginjakan kaki di ladang ilalang, Kebokicak dengan cepat menyusul dan berhasil menghadang. Kini mereka sama-sama menggunakan tangan kosong, berkelahi mengadu kesaktian dengan hebat. Bersamaan saat itu angin topan sedang melanda.

Mereka sempat memandang ke arah langit, mendung hitam bergumpal-gumpal seperti gelombang laut yang marah. Angin bertiup makin kencang dan menumbangkan serta menerbangkan pepohonan hingga membumbung ke angkasa. Kedua pendekar itu memasang kuda-kuda demikian kokohnya, sehingga mampu bertahan dari hempasan badai topan. Suasana menjadi gelap karena udara dipenuhi debu pasir. Bumi bergetar seperti ada gempa, seolah-olah dunia akan kiamat. Tempat itu kelak dinamakan Desa Petengan.

Ketika badai itu akhirnya berlalu, Kebokicak baru menyadari bahwa lawannya sudah menghilang. Ia pun melanjutkan pengejaran. Ketika lewat di sebuah jalan yang dilalui Surantanu, Kebokicak dihadang oleh seorang lelaki besar bersenjata kapak raksasa.

"Aku Banteng Bungur!" seru lelaki itu dengan suara berat. "Aku dimintai tolong oleh temanku Surontanu untuk menghadangmu!"

"Saya Kebokicak! Berapa kamu dibayar olehnya?"

Lelaki bersenjata kapak besar itu tampak kaget dan wajahnya berubah pucat. Ia kemudian minggir dan mempersilakan Kebokicak lewat. "Mohon maafkan saya Raden Kebokicak! Saya yang buta tak melihat gunung di depan mata!"

Nama Kebokicak memang telah menjadi buah bibir di mana-mana. Baru namanya saja sudah cukup hebat untuk membuat penjahat-penjahat segera mengambil langkah seribu, dan jangan sampai berurusan dengan pendekar yang sangat sakti mandraguna itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun