Oleh: Tri Handoyo
Arum keluar dari kamar begitu mendengar kegaduhan di halaman. Seorang murid perempuan, Ayu Lastri, segera menceritakan bahwa ada pendekar sakti yang tengah mengamuk lantaran permintaannya soal kitab pusaka dan harta karun tidak terpenuhi.
'Kanda, pulanglah!' batin Arum Naga. Ia menyaksikan murid-murid padepokan yang sebagian besar masih remaja itu mati-matian memberikan perlawanan terhadap musuh yang luar biasa sakti. Beberapa di antara mereka sudah bergelimpangan di tanah.
'Kanda, pulanglah!' batin Arum sambil memejamkan mata. 'Atau semuanya akan terlambat!' Perasaannya diliputi keprihatinan. Tangan kanannya menggenggam pedang pusaka Mpu Naga dengan sangat erat. Kakinya melangkah maju.
"Ndoro Putri ingat, anda sedang hamil!" seru Mbok Semi yang berdiri di belakangnya dengan penuh kekhawatiran.
"Tapi saya tidak bisa tinggal diam melihat anak-anak berguguran seperti itu, Mbok! Lebih baik aku yang mati!"
Mbok Semi hanya geleng-geleng kepala. Ia teringat mendiang Mpu Naga yang jelas mewariskan sifat itu kepada putri Arum Naga.
Watak Pendekar Pertapa Sakti memang luar biasa bengis. Sekali amarahnya meledak, ia tidak akan merasa puas sebelum lawannya roboh dalam keadaan binasa. Belasan tubuh murid padepokan telah tergeletak dengan bersimbah darah.
'Kanda, cepat pulang!' batin Arum dengan memusatkan pikirannya lebih kuat, sebelum akhirnya nekad menerjang musuh yang sangat kejam itu. Pedangnya yang berkilauan bergerak laksana naga kesetanan. Nyonya yang masih sangat belia itu cukup cerdik, dengan gesit mata pedangnya hanya mengancam sepasang bola mata Pertapa Sakti.
Ki Juwaima kaget setelah mengetahui bahwa yang menyerangnya kini seorang wanita cantik. Birahinya langsung timbul sehingga ia tidak berniat menghabisi nyawa wanita itu, hanya ingin melumpuhkannya saja.
Tapi tentu saja itu tidak mudah. Arum bergerak sangat lincah dan permainan pedangnya pun cukup cepat, sehingga usaha Pertapa Sakti untuk menangkap pedang itu selalu gagal. Demi menyaksikan itu, semangat murid-murid padepokan kembali bangkit berkobar-kobar. Mereka pun ikut menerjang dari segala arah.
Dugaan Arum ternyata benar, bahwa mata Ki Juwaima itu anggota tubuh yang tidak kebal. Terbukti pendekar sesat itu mati-matian melindungi matanya. Dengan mengorbankan perutnya yang terancam terkena pukulan, Arum pun berhasil menusukan pedangnya ke mata lawan. Pengorbanan yang cukup seimbang.
Terdengar jerit kesakitan Ki Juwaima yang sangat mengerikan. Pedang pusaka itu masih menancap di mata kanannya. Ia lalu mematakan pedang, dengan meninggalkan ujung yang masih menancap.
Sementara itu tubuh Arum terlempar karena pukulan yang sangat keras tadi. Lastri berlari menolong Arum. Nyonya muda yang sedang hamil itu meringis sambil memegang perutnya yang terasa sangat perih. Namun ia berusaha untuk tidak meneteskan air mata, dan malahan dengan sikap gagah berani ia minta agar diambilkan pedang lagi.
"Guru Putri Naga!" seru Lastri, "Serahkan kepada kami! Biarkan kami saja yang menghadapi iblis itu!"
Arum berdiri terpaku. Ia merasakan sesuatu yang mengalir membasahi celananya. Ia curiga itu adalah darah.
Hanya dengan sebelah mata, Pertapa Sakti semakin mengamuk hebat. Ia melakukan serangan-serangan dengan brutal dan tidak mengenal ampun. Semua murid baru sadar dan mengakui kecerdikan Arum, sehingga mereka pun kini mengarahkan serangan senjata ke mata kiri musuh yang masih dapat melihat.
***
Tulus sedang bersemedi di pucuk pohon Gayam yang sangat tinggi di puncak Bukit Lintah. Tubuhnya hanya ditopang oleh beberapa ranting kecil. Dilihat dari kejauhan ia tampak seperti sedang duduk bersila di atas awan. Ia telah mencapai tingkat ilmu meringankan tubuh yang tertinggi.
Tiba-tiba ia seperti mendengar suara istrinya. Ia memusatkan pikiran untuk memastikan bahwa itu bukan bagian dari godaan, dan beberapa detik kemudian ia membuka matanya. Ia kini bisa merasakan dengan lebih jernih. Itu bukan halusinasi. Ia langsung meluncur turun seperti burung garuda. Dalam pikirannya terbayang tubuh-tubuh bersimbah darah bergelimpangan di halaman padepokan.
'Apa yang terjadi?' pikirnya bertanya-tanya.
***
Murid-murid Benteng Naga saling menguatkan satu sama lain, dan bertekad untuk bertempur sampai tetes darah penghabisan. Hujan senjata yang menimpa tubuh Pertapa Sakti menimbulkan suara keras dan percikan bunga-bunga api hingga terlontar jauh.
Tiba-tiba ada bayangan berkelebat melompati pagar dan langsung mengirim tendangan maut ke Pendekar Pertapa Sakti. "Mundur semuanya!"
"Guru!" seru murid-murid padepokan serempak setelah tahu siapa yang muncul itu. Hati mereka dipenuhi suka cita. Tanpa sadar kepalan tinju mereka terangkat di udara. "Iblis itu telah melukai Guru Arum!"
"Kanda!" gumam Arum merasa lega. Telapak tangannya terkenal erat.
Gerakan Pendekar Kebokicak sulit diikuti dengan mata. Hanya terdengar suara-suara pukulan yang sangat keras dan bertubi-tubi. Dengan cepat ia bisa mengambil kesimpulan bahwa musuhnya itu hanya mengandalkan sebelah mata. Sehingga ia pun mengincarnya. Sebuah serangan dua jari lalu berhasil menembus dan menarik keluar biji mata kiri Pendekar Pertapa Sakti.
Kini sudah jelas nasib pendekar sesat yang jumawa itu, karena biar pun ia memiliki kekebalan sepuluh kali lipat daripada yang dimilikinya sekarang, namun dengan keadaan buta, tentu ia tidak bakal dapat meloloskan diri dari serangan Pendekar Kebokicak yang hebat.
Tubuh Pertapa Sakti berguling-guling di tanah dan ketika tubuhnya berhasil bangkit serangan berikutnya menghajarnya hingga kembali terlempar beberapa meter. Tubuhnya yang kebal memang tidak tampak terluka, tapi bentuknya sudah tidak karuhan lagi. Tulang-tulangnya patah di hampir sekujur tubuh, bahkan wajahnya sudah sulit dikenali. Giginya rontok semua dan rahang bagian bawah agaknya terlepas. Pucuk pedang yang menancap di mata kanannya di tendang oleh Tulus hingga tembus ke tengkorak belakang.
Terakhir, tubuh yang tidak berdaya itu disepak dengan sangat keras hingga jatuh di luar area padepokan. Tubuh yang tampak seperti seonggok tulang dan daging tak berbentuk itu masih terlihat bernafas dan mengeluarkan suara seperti orang mendengkur. Darah bergumpal-gumpal akhirnya keluar dari mulutnya. Butuh waktu cukup lama bagi tubuh itu berkelojotan, sampai menghembuskan nafas terakhir, lalu diam untuk selama-lamanya.
Tulus semakin mengerti mengapa Mbah Kucing berpesan agar kitab pusaka itu jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat. Juwaima Subandar adalah contoh orang yang mengamalkan Ajian Tiwikrama tetapi didasari niat yang tidak baik dan ilmu yang diamalkannya tidak sempurna. Untungnya Pendekar Pertapa Sakti itu telah menjalankan pengobatan dengan cara sering bertapa, sehingga sifat angkara murkanya sedikit banyak bisa terkontrol.
Orang-orang yang berkerumun di jalanan berlarian menjauh dengan perasaan ngeri. Masyarakat yang menonton pertempuran itu, dan bahkan murid-murid padepokan sendiri, baru mengetahui sifat asli Pendekar Kebokicak ketika marah. Kalau sudah marah agaknya tidak ada satupun pendekar di muka bumi yang dapat melebihi keganasannya.
Pendekar dari Demak pun mengurungkan niatnya, ia menyelinap di antara kerumunan dan segera menyingkir dari tempat itu. Dia tahu pasti bahwa dia bukanlah lawan bagi Pertapa Sakti, apalagi lawan Pendekar Kebokicak.
Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa di atas genting sebuah rumah ada seseorang yang juga menyaksikan pertempuran hebat itu. Rambutnya yang panjang dan telah memutih digelung ke atas. Tangannya memegang tongkat. Kakinya tidak menggunakan alas sama sekali. Dia adalah Mbah Brantas, pendekar yang merajai wilayah barat. Dia kemudian berkelebat meninggalkan tempat itu, mengurungkan niatnya untuk merebut kitab pusaka yang sudah puluhan tahun diburu oleh para pendekar papan atas.
***
Berita tewasnya Ki Juwaima Subandar dengan cepat sampai di telingah Ki Demang. Dialah yang sebetulnya menyebarkan berita di tengah masyarakat tentang harta karun dan Kitab Serat Sekti Mandraguna yang dikuasai Padepokan Benteng Naga. Dia pula yang menghasut Pendekar Pertapa Sakti untuk menyerang padepokan tersebut.
Sejak Ki Kelabang melarikan harta karun, Ki Demang mulai menyusupkan salah seorang anak buahnya untuk menjadi murid di padepokan Mpu Naga Neraka. Itulah kenapa ia tahu betul keadaan di padepokan yang menjadi musuh bebuyutannya.
Satu-satunya orang yang menjadi harapannya untuk bisa menandingi Pendekar Kebokicak adalah Topo Surantanu. Sayangnya Topo masih merasa segan menghadapi saudara tirinya itu. Ki Demang kini mencari cara bagaimana memanfaatkan Roro Ajeng sebagai alat untuk mengadu domba kedua pendekar besar itu.
***
Pukulan keras yang mengenai lambung membuat Arum mengalami keguguran. Ia memang berduka tapi ia tidak menyesali tindakannya, karena itu demi menyelamatkan lebih banyak nyawa. Harga sebuah pengorbanan yang pantas. Seandainya ia tidak dalam kondisi hamil, barangkali ia masih mampu mengimbangi permainan silat pendekar sinting itu.
"Dinda, kamu ingat pesan Paman Kidang?" tanya Tulus.
"Pesan yang mana?"
"Agar kamu menjaga kandunganmu baik-baik! Mungkin ini yang dulu dimaksud oleh Paman Kidang!"
"Iya aku ingat! Maafkan aku, Kanda!"
"Tapi ini bukan kesalahanmu! Justru menurutku pengorbananmu sungguh luar biasa!"
Dalam perjalanan bersama selama ini, Pendekar Kebokicak telah memberikan gemblengan ilmu silat tingkat tinggi kepada istrinya, sehingga kepandaiannya maju dengan pesat sekali. Di samping itu juga, Kebokicak selalu mencari kesempatan untuk memperluas pengetahuan istrinya tentang falsafah hidup, sehingga mereka bisa selalu ikhlas dalam menghadapi segala persoalan kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H