Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa di atas genting sebuah rumah ada seseorang yang juga menyaksikan pertempuran hebat itu. Rambutnya yang panjang dan telah memutih digelung ke atas. Tangannya memegang tongkat. Kakinya tidak menggunakan alas sama sekali. Dia adalah Mbah Brantas, pendekar yang merajai wilayah barat. Dia kemudian berkelebat meninggalkan tempat itu, mengurungkan niatnya untuk merebut kitab pusaka yang sudah puluhan tahun diburu oleh para pendekar papan atas.
***
Berita tewasnya Ki Juwaima Subandar dengan cepat sampai di telingah Ki Demang. Dialah yang sebetulnya menyebarkan berita di tengah masyarakat tentang harta karun dan Kitab Serat Sekti Mandraguna yang dikuasai Padepokan Benteng Naga. Dia pula yang menghasut Pendekar Pertapa Sakti untuk menyerang padepokan tersebut.
Sejak Ki Kelabang melarikan harta karun, Ki Demang mulai menyusupkan salah seorang anak buahnya untuk menjadi murid di padepokan Mpu Naga Neraka. Itulah kenapa ia tahu betul keadaan di padepokan yang menjadi musuh bebuyutannya.
Satu-satunya orang yang menjadi harapannya untuk bisa menandingi Pendekar Kebokicak adalah Topo Surantanu. Sayangnya Topo masih merasa segan menghadapi saudara tirinya itu. Ki Demang kini mencari cara bagaimana memanfaatkan Roro Ajeng sebagai alat untuk mengadu domba kedua pendekar besar itu.
***
Pukulan keras yang mengenai lambung membuat Arum mengalami keguguran. Ia memang berduka tapi ia tidak menyesali tindakannya, karena itu demi menyelamatkan lebih banyak nyawa. Harga sebuah pengorbanan yang pantas. Seandainya ia tidak dalam kondisi hamil, barangkali ia masih mampu mengimbangi permainan silat pendekar sinting itu.
"Dinda, kamu ingat pesan Paman Kidang?" tanya Tulus.
"Pesan yang mana?"
"Agar kamu menjaga kandunganmu baik-baik! Mungkin ini yang dulu dimaksud oleh Paman Kidang!"
"Iya aku ingat! Maafkan aku, Kanda!"