Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar sang Pendekar (56), Memasuki Kawah Candradimuka

3 September 2024   06:56 Diperbarui: 3 September 2024   07:02 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Rumah besar yang ditinggali Tulus semasa kanak-kanak berada di tengah-tengah hamparan sawah yang luas. Rumah-rumah warga jaraknya saling berjauhan. Itulah kenapa ia sering bermain hingga jauh dari rumah dan sering kena marah karena dituduh mengabaikan waktu makan.

Suatu hari, ketika sedang mencari teman bermain di kampung, ia melihat seorang gembel tua yang diusir oleh belasan anak-anak. Mereka melempari batu sambil mengolok-olok, "Orang gendeng..! Orang gendeng..!"

"Hei berhenti!" teriak Tulus kecil mencoba menolong gembel tua itu. "Apa kalian tidak punya rasa belas kasihan?"

"Orang gendeng jahat! Dia tidak boleh masuk kampung kami!" teriak anak-anak itu.

"Tapi jangan dilempari batu!" kata Tulus.

Mereka tampak jengkel, tapi tidak ada yang berani membantah. Tulus memang cukup disegani oleh teman-teman sebayanya. Karena kakek gembel itu tiba-tiba terjatuh, maka Tulus mendekati dan membantunya berdiri. Melihat itu anak-anak kampung lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

"Mbah mau ke mana?" tanya Tulus setelah kakek itu mampu berdiri kembali.

"Saya lapar, saya mau cari makan!" jawab kakek dengan suara lemah. Tubuh dan pakaiannya tampak kotor dan menimbulkan bau kurang sedap.

Tulus menuntun kakek itu untuk mencari tempat istirahat yang teduh. Mereka berhenti di sebuah gubuk petani di tengah hamparan persawahan. "Mbah tunggu dulu di sini! Saya mau pulang ambil makanan!" kata Tulus dan segera berlari pulang.

Tidak lama kemudian ia kembali dengan nafas terengah-engah. Tampaknya ia berlari secepat mungkin karena takut kakek tua itu tidak sabar menunggu dan kemudian pergi. "Ini makanannya, Mbah," ujarnya sambil menyodorkan makanan yang terbungkus daun pisang.  "Saya pergi dulu ya!"

"Tunggu! Siapa namamu, Nak?" tanya kakek itu sambil menerima bungkusan.

"Tulus, Mbah. Tulus Pangestu!"

"Siapa nama bapakmu?"

"Ibu saya cerita kalau bapak saya sudah meninggal sewaktu saya masih dalam kandungan, tapi tidak pernah cerita siapa namanya."

"Tulus, kelak kamu akan menjadi orang hebat!" kata Mbah gembel itu dengan mimik muka serius. Ia tahu bahwa di dalam tubuh anak kecil itu mengalir darah orang besar.

Tulus hanya tersenyum mendengarnya. Ia pikir kakek itu mengatakan demikian hanya sebagai ungkapan rasa terima kasih. "Saya pergi dulu Mbah. Mbah hati-hati ya..!"

"Terima kasih, Nak!"

"Sama-sama, Mbah!"

Setelah meniggalkan gubuk beberapa langkah, Tulus menengok ke belakang untuk memastikan bahwa kakek itu mau memakan makanan pemberiannya yang hanya berupa nasi dengan lauk botok teri. Tapi betapa kagetnya ia karena gubuk itu kosong. Ia melihat sekeliling, mencari sosok kakek gembel di hamparan sawah yang luas itu, namun tidak tampak ada seorang pun. Ia kembali mendekati gubuk, dan melihat bungkus makanan itu sudah terbuka dan nasinya juga sudah tidak ada.

Di malam harinya, di dalam mimpi Tulus ditemui kakek gembel di gubuk. Kakek itu memintanya duduk bersila, menyuruhnya memejamkan mata dan bernafas dengan halus. Lalu kedua telapak tangan kakek itu ditempelkan ke dadanya. Ia merasa ada hawa hangat mengaliri sekujur tubuh, hingga semua persendian tulang rasanya ikut bergerak-gerak. Terdengar suara gemeletak di antara persendian.

Ketika bangun tidur di keesokan pagi, pikirannya terasa segar dan tubuhnya terasa begitu bugar. Ia kemudian kembali mengunjungi gubuk di tengah sawah, duduk bersila, menutup mata, mengatur nafas, menikmati hembusan angin dan hangatnya cahaya mentari pagi. Hampir setiap hari ia melakukan itu, dan semakin menikmatinya hingga kadang tidak terasa waktu sudah menjelang siang.

Tidak lama kemudian, tanpa sepengetahuan orang tua, Tulus nekad mendaftarkan diri ke Perguruan Benteng Naga. Dengan jujur ia mengatakan kepada petugas penerima pendaftaran bahwa ia tidak punya uang untuk membayar iuran, tapi ia akan mengganti dengan tenaganya.

"Saya bersedia menyapu halaman dan menyirami tanaman setiap hari!" tawar Tulus kepada petugas dengan penuh harapan agar keinginannya dikabulkan.

Salah seorang petugas mendatangi Mpu Naga dan menceritakan soal itu.

Mpu Naga kemudian memanggil Tulus dan bertanya, "Apakah kamu sudah minta ijin orang tuamu untuk belajar silat di sini?"

"Belum!" jawab Tulus ragu-ragu, merasa takut tidak akan diterima.

"Begini, Nak. Kamu harus minta ijin dulu sama orang tuamu. Ini bukan mengenai kamu harus membayar iuran atau tidak, tapi ijin itu penting. Kalau sudah mendapat ijin, kamu pasti saya terima belajar di sini, tanpa harus bayar!" Rupanya Mpu Naga tertarik dengan Tulus kecil itu. Sebagai seorang pendekar silat yang mumpuni, ia paham betul potensi besar anak kecil yang struktur tulangnya sempurna, dan memiliki aura yang luar biasa itu.

Akhirnya Tulus menceritakan kepada ibunya tentang niatnya untuk belajar silat di Padepokan Benteng Naga. Sayangnya ibunya tidak mengijinkan, dan ia sudah menduga itu sebelumnya, sehingga ia terpaksa berbohong kepada Mpu Naga, dan merahasiakan kegiatannya itu kepada keluarganya.

Di luar waktu latihan, ia mendapat tugas dari Mpu Naga untuk mempersiapkan kayu bakar, menyalahkan api dan menjaganya tetap menyalah untuk membakar besi yang akan ditempah menjadi senjata. Setelah beranjak remaja dan tubuhnya semakin kuat, ia ikut membantu menempah besi. Ia bahkan mendapat upah dari pekerjaannya itu.

Semua orang hampir tahu bahwa Mpu Naga sangat menyayangi dan mengistimewakan Tulus dibandingkan puluhan murid lainnya. "Kelak dia akan menjadi pendekar besar! Bahkan aku pun belum tentu bisa menandinginya!" puji Mpu Naga yang seringkali dilontarkan di depan istri dan putrinya.

Barangkali pujian-pujian ayahnya yang sering didengarnya itu pula yang membuat Arum semakin mengagumi Tulus. Selama ini gadis itu memang sudah menganggap Tulus seperti kakak kandungnya sendiri, dan begitu juga sebaliknya Tulus menganggap Arum seperti adiknya sendiri. Kekaguman itu kemudian lambat laun berubah menjadi rasa cinta.

Semua murid padepokan memanggil Arum dengan sebutan Mbakyu Putri Naga, hanya Tulus yang berani memanggilnya Adik Arum. Sehinga orang yang tidak tahu akan mengira mereka adalah kakak beradik.

Seiring berjalannya waktu, Tulus menjadi orang kepercayaan Mpu Naga dan menjadi salah seorang pengajar di usianya yang masih sangat muda. Ketika Mpu Naga ada urusan keluar kota, tanggungjawab padepokan diserahkannya kepada pemuda itu.

Di kemudian hari, nasib baik membawa Tulus untuk menginap di Langgar Al Akbar dan berkenalan dengan Mbah Kucing, yang kemudian ia menjadi murid kakek sakti itu. Dari Mbah Kucing ia menerima pelajaran ilmu silat tingkat tinggi yang menyempurnakan semua pelajaran yang pernah diterimanya. Ia menjalani latihan-latihan berat yang belum pernah ia temui sebelumnya.

Kini, setelah menerima Kitab Serat Sekti Mandraguna, ia kembali tertantang untuk memasuki 'Kawah Candradimuka'. Ia menceritakan kepada Arum dan mengutarakan niatnya untuk pergi ke suatu tempat demi mempelajari isi kitab tersebut.

Setelah istrinya mengijinkan, ia mencarikan seorang pembantu lagi khusus untuk membantu segala kebutuhan Arum yang sedang hamil. Sebelumnya mereka sudah punya seorang pembantu rumah yang bertugas mencuci dan memasak.

Tulus memilih tempat 'Kawah Candradimuka' di Bukit Lintah, selain jauh dari pemukiman penduduk, tempat itu juga terkenal angker, sehingga sangat aman dari gangguan manusia.

Pada umumnya kekuatan tenaga dalam diperoleh dengan cara olah pernafasan. Jenis energi itu disebut tenaga dalam keras, yang tujuannya untuk membangun kekuatan, kecepatan, kekebalan menahan pukulan, dan kekuatan pukulan itu sendiri.

Kekuatan pukulan yang dilambari dengan tenaga dalam bisa mencapai ratusan kali lipat bobotnya dibandingkan pukulan yang hanya mengandalkan fisik semata. Teknik pernafasan ini sudah dikuasai Tulus sejak lama.

Latihan pernafasan yang kemudian dikombinasikan dengan olah gerak seperti dalam yoga dan juga meditasi, merupakan tingkatan yang lebih tinggi. Tenaga dalam ini dapat digunakan untuk menyerang dengan hanya menepuk atau menyentuh bagian tubuh lawan, atau dengan merambatkan energinya melalui media perantara seperti tongkat misalnya. Energi ini bisa melumpuhkan, merusak organ tubuh bagian dalam, meremukkan daging dan tulang, cukup dengan cara bersentuhan saja atau bersentuhan dengan benda perantara. Ini pun sudah dikuasai Tulus dengan baik.

Kemudian apabila olah pernafasan dilakukan dengan meditasi dan kekuatan visualisasi fokus untuk membangkitkan kandungan energi di dalam cakra-cakra tubuh, maka energi yang dihasilkan adalah apa yang disebut sebagai tenaga dalam inti.

Dalam olah nafas itu ada gerakan juga, akan tetapi gerakan khusus untuk membangkitkan kandungan energi di cakra-cakra tubuh, yang ditujukan untuk mengolah energi agar bisa dibentuk menjadi bermacam-macam sifat dan bisa digunakan untuk bermacam-macam tujuan, sehingga ini sering disebut sebagai tenaga halus, atau dinamakan 'Prana'.

Daya energi tenaga dalam murni tersebut tidak hanya mengalir di dalam tubuh orang yang bersangkutan, tetapi juga memancar keluar tubuh. Energi ini bisa digunakan untuk menyerang dari jarak jauh, tanpa harus ada persentuhan langsung dan tidak memerlukan suatu benda perantara.

Selain bermanfaat untuk kanuragan, tenaga dalam murni ini juga bermanfaat untuk vitalitas, kesehatan diri dan penyembuhan. Bahkan juga untuk membangun benteng energi dari serangan mahluk halus. Energi ini juga dapat digunakan untuk keperluan gaib, misalnya untuk mengusir, memukul atau menangkap mahluk halus tertentu. Tingkat ini pun sudah dikuasai Tulus dengan baik.

Tenaga dalam murni yang dihasilkan terutama dari cakra di antara pusar dan alat kelamin dan cakra di antara alat kelamin dan tulang ekor tersebut adalah cakra-cakra energi dasar tubuh manusia yang sering disebut samudera prana. Hawa murni ini menjadi penunjang energi kehidupan tubuh manusia, mengisi kehidupan organ-organ, pembuluh darah, urat saraf dan semua sel-sel dan menunjang proses metabolisme tubuh.

Di dalam Kitab Serat Sekti Mandraguna, semua olah pernafasan itu masih tingkat pemula, kini semua itu dikombinasikan dengan merapal ajian, bertapa dan puasa dalam kurun waktu yang ditentukan. Ada bertapa dengan posisi kaki digantung di atas pohon, ada yang bertapa dengan dikubur di dalam tanah hanya dengan menyisahkan kepala, ada yang bertapa di dalam air dengan bantuan pernafasan menggunakan bantuan bambu, dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun