"Tunggu! Siapa namamu, Nak?" tanya kakek itu sambil menerima bungkusan.
"Tulus, Mbah. Tulus Pangestu!"
"Siapa nama bapakmu?"
"Ibu saya cerita kalau bapak saya sudah meninggal sewaktu saya masih dalam kandungan, tapi tidak pernah cerita siapa namanya."
"Tulus, kelak kamu akan menjadi orang hebat!" kata Mbah gembel itu dengan mimik muka serius. Ia tahu bahwa di dalam tubuh anak kecil itu mengalir darah orang besar.
Tulus hanya tersenyum mendengarnya. Ia pikir kakek itu mengatakan demikian hanya sebagai ungkapan rasa terima kasih. "Saya pergi dulu Mbah. Mbah hati-hati ya..!"
"Terima kasih, Nak!"
"Sama-sama, Mbah!"
Setelah meniggalkan gubuk beberapa langkah, Tulus menengok ke belakang untuk memastikan bahwa kakek itu mau memakan makanan pemberiannya yang hanya berupa nasi dengan lauk botok teri. Tapi betapa kagetnya ia karena gubuk itu kosong. Ia melihat sekeliling, mencari sosok kakek gembel di hamparan sawah yang luas itu, namun tidak tampak ada seorang pun. Ia kembali mendekati gubuk, dan melihat bungkus makanan itu sudah terbuka dan nasinya juga sudah tidak ada.
Di malam harinya, di dalam mimpi Tulus ditemui kakek gembel di gubuk. Kakek itu memintanya duduk bersila, menyuruhnya memejamkan mata dan bernafas dengan halus. Lalu kedua telapak tangan kakek itu ditempelkan ke dadanya. Ia merasa ada hawa hangat mengaliri sekujur tubuh, hingga semua persendian tulang rasanya ikut bergerak-gerak. Terdengar suara gemeletak di antara persendian.
Ketika bangun tidur di keesokan pagi, pikirannya terasa segar dan tubuhnya terasa begitu bugar. Ia kemudian kembali mengunjungi gubuk di tengah sawah, duduk bersila, menutup mata, mengatur nafas, menikmati hembusan angin dan hangatnya cahaya mentari pagi. Hampir setiap hari ia melakukan itu, dan semakin menikmatinya hingga kadang tidak terasa waktu sudah menjelang siang.