Oleh: Tri Handoyo
Suatu hari Roro Ajeng mengatakan kepada ibunya bahwa ia ingin menghadiri undangan seorang teman, Topo Surantanu. Undangan itu adalah pesta yang diselenggarakan Ki Demang dalam acara penobatan Topo sebagai pimpinan baru padepokannya. Dengan enggan, Jenar memberi izin. Tetapi Jenar tidak melepaskan putrinya begitu saja. Karena kekhawatiran yang berlebihan, ia akhirnya menyuruh suaminya, Ki Setiaji Brojomusti, untuk menguntit putri mereka.
Sayangnya Ki Lurah Setiaji terlalu ceroboh. Keberadaannya diketahui oleh teman Ajeng yang kemudian menceritakan itu kepada Ajeng. Sekalipun Ki Setiaji berulang kali meminta maaf karena telah mempermalukan Ajeng di depan teman-temannya, masih saja itu belum sepenuhnya memupus rasa jengkel di dalam batin Ajeng.
"Sungguh menyebalkan sekali! Apa Ayah dan ibu tidak mempercayaiku?" gerutu Ajeng setibanya di rumah.
"Ayah percaya sama kamu, tapi pacarmu itu orangnya Ki Demang! Siapa yang tidak kenal si demang bajingan pemeras dan penindas rakyat itu!"
"Apa itu salahnya Cak Topo?"
"Orang yang menjadi pengikut seorang bajingan pasti juga bajingan!"
"Ayah selalu berprasangka buruk sama orang!"
"Itu namanya waspada, Nduk!"
Baru saja situasi mau reda, Jenar malah naik pitam mendengar tuduhan putrinya itu, dengan suara tinggi dia berkata, "Oh..dasar anak keras kepala. Kamu kok susah sekali diatur! Gak seperti kakak-kakakmu. Tidak tahu diuntung!"
Ajeng menanggapi dengan sikap acuh tak acuh dan segera menyeret kakinya melenggang menuju kamarnya.