Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar sang Pendekar (48), Memupus Dendam

17 Agustus 2024   05:15 Diperbarui: 17 Agustus 2024   06:46 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Begitu memasuki halaman padepokan, mereka disambut oleh puluhan murid berseragam Benteng Naga yang berwarna hijau, berbaris di kiri kanan dokar layaknya prajurit yang siap tempur.

Arum meloncat dari dokar dan begitu menerima laporan mengenai kondisi ayahnya, dia langsung berlari menemuinya. Tulus masih menyimak penjelasan panjang lebar dari para murid senior, sebelum akhirnya menyusul istrinya masuk ke dalam rumah.

Mpu Naga kembali siuman, seolah dia bisa merasakan kehadiran putrinya. "Arum..!"

"Iya, ayah!" jawab Arum dengan air mata tak terbendung.

"Mana suamimu?" tanya Mpu Naga.

Tulus maju dan duduk di samping Arum, "Saya di sini, Ayah!"

"Jaga diri kalian baik-baik!" pesan Mpu Naga dengan suara lemah. Setelah kesempatan yang terakhir kali untuk menatap wajah anak dan menantunya terpenuhi, mantan prajurit Maapahit itu menghembuskan nafas terakir dan menutup mata untuk selamanya. Sore itu juga ia dimakamkan di pemakaman keluarga, di dalam area padepokan.

Pertempuran yang terjadi di pelosok dunia mana pun, dengan dalih apa pun yang membungkusnya, semacam perjuangan membela kehormatan negara, membela kehormatan agama, membela kehormatan suku, keluarga, bahkan membela sebuah harga diri, tetap saja sesungguhnya hanya demi melampiaskan kebencian dan dendam. Semua itu pada akhirnya akan sesuai pepatah, 'Kalah jadi abu, menang jadi arang'.

Semua pertempuran dengan dalih indah itu tidak terlepas dari sebuah kepentingan. Kepentinganku, kepentingan sukuku, kepentingan agamaku, kepentingan kerajaan dan bangsaku. Kepentingan yang sesungguhnya seringkali tidak disadari bersumber dari dalam diri kita sendiri, yakni kepentingan hawa nafsu.

Untungnya, dendam dari kebanyakan murid Padepokan Benteng Naga cukup terobati dengan beredarnya kabar bahwa padepokan milik Ki Demang Wiryo telah diserang oleh pendekar misterius yang menewaskan puluhan anak buahnya. Kemudian ditambah dengan kabar tewasnya Pendekar Cambuk Jahanam di tangan Tulus, Si Pendekar Kebo Kicak. Hukum karma yang berlaku sangat cepat.

***

"Semua macam aliran ilmu silat yang ada di dunia ini, pada dasarnya sama, yaitu membela diri atau bertahan, dan menyerang!" papar Tulus di depan sekitar seratus murid yang sedang duduk bersila di halaman, di bawah terik matahari. "Betapapun tingginya ilmu silat seseorang, namun apabila dasarnya tidak tepat, maka ilmu silatnya itu tidak akan bisa optimal. Segala macam aliran ilmu silat yang kita pelajari itu dasar gerakannya hanya ada lima ratus empat puluh, dan beragam variasi kembangannya. Apabila kita dapat mempelajari semua gerakan dasar tangan dan kaki ini, maka menghadapi ilmu silat dari aliran mana pun juga, kita akan dapat menghadapinya dengan mudah!"

Halaman padepokan yang dikelilingi berbagai pepohonan rindang itu terasa sejuk, apalagi sinar matahari siang itu terjaring gumpalan-gumpalan awan putih.

"Setelah matang di gerakan dasar," sambung Tulus, "Maka masih ada dua hal penting, yaitu kecepatan dan kekuatan stamina. Latihan meringankan tubuh akan membuat kita dapat bergerak cepat dan gesit. Latihan tenaga dalam akan membuat kita memiliki tenaga yang besar dan kuat. Manakala iman kuat, pikiran dan batin bersih, maka tenaga dalam juga akan menjadi kuat!"

Sebagai padepokan ilmu beladiri, selain melatih fisik, Benteng Naga juga menggembleng mental, sebagai unsur paralel yang sangat dibutuhkan dalam membentuk pribadi yang matang dan berbudi pekerti luhur. Pendidikan mental ini justru lebih penting, agar di dalam melaksanakan fungsi hidupnya sebagai umat yang percaya kepada Tuhan, maka mereka akan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan mengutamakan kepentingan umum, disertai rasa rendah hati dan sikap percaya diri.

"Pertempuran abadi bukan pertempuran secara fisik, melainkan secara batiniah. Oleh karena itu para leluhur berpesan pada kita, 'Nglurug tanpa bala', yang artinya menyerbu tanpa pasukan. Apa musuh yang harus kita serbu tanpa pasukan itu, yakni musuh hawa nafsu kita sendiri!" Tulus menutup pelajarannya dengan mengutip ujaran luhur untuk mengobati luka dan memupus dendam yang membara di kebanyakan hati para murid, bahkan di hati istrinya sendiri, Arum Naga.

"Selanjutnya adalah 'Menang tanpa ngasorake', artinya menang tanpa merendahkan atau menjatuhkan!" Tentu semua teori memang mudah diucapkan, tapi sangat sulit dipraktekan. Tulus tahu pasti itu. Sangat sulit.

***

Sejak menginjak usia remaja, Ajeng mulai punya masalah serius dengan kedua orang tuanya. Sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara, ia selalu dibanding-bandingkan dengan kakak-kakaknya. Jenar, ibunya yang ketus itu, kerap kali memperlakukan anak-anaknya dengan cara tidak adil.

Perlakuan Jenar terhadap anak laki-lakinya manakala mereka melakukan kesalahan cenderung lunak. Lebih toleran dan sabar. Seolah-olah lumrah bagi anak laki-laki untuk nakal, tapi itu tidak berlaku untuk anak perempuan. Anak perempuan dilarang keras berulah, apalagi sampai berani membangkang. Wajib bersikap patuh. Tidak ada toleransi sedikit pun.

Ketika kakak-kakak lelaki Ajeng berkelahi dengan anak lain, Jenar acuh tak acuh. Seolah tidak mempermasalahkan. Sementara ketika Ajeng berkelahi, murkanya seperti ia telah melakukan dosa besar. Lalu, soal keluar rumah, kakak-kakaknya bebas pergi ke mana saja, sedangkan Ajeng tidak boleh ke mana-mana tanpa ditemani saudaranya.

Saat mulai semakin tidak betah tinggal bersama orang tua, ia minta diijinkan untuk tinggal di rumah eyang putrinya, dengan alasan ingin masuk perguruan silat, dan rumah eyang putri berdekatan dengan padepokan Jari Suci. Sejak itu pertengkarannya dengan Jenar sudah tidak pernah terjadi lagi.

Sebagai anak gadis yang berkemauan keras, ia memang sering kali mempertanyakan apa alasan-alasan dibalik setiap larangan. Apalagi, kalau yang menjadi alasan tidak sesuai dengan logikanya atau bertolak belakang dengan realitas yang ada, maka ia pasti akan protes. Baginya itu perjuangan untuk melindungi hak-haknya.

Setelah berusia sembilan belas tahun ia kembali tinggal bersama orang tuanya, dan pertengkaran demi pertengkaran mulut kembali terjadi. Seperti senam rutin. Ia kadang bisa berjiwa besar untuk mengakui bahwa ia memang salah. Akan tetapi, menurutnya mereka juga salah. Akhirnya kedua belah pihak saling bersikap keras kepala dengan pendirian masing-masing. Ia akan bertambah jengkel saat mereka sudah bawa-bawa, 'Dasar anak durhaka!' atau 'Dasar keras kepala dan susah diatur!'

Gadis yang kini menginjak usia dua puluh tahun itu belum bisa memejamkan matanya, barangkali karena malam itu udara terasa panas. Ia lalu bangkit dari ranjang dan membuka jendela kamar.

Kabar kematian Pendekar Mpu Naga Neraka membuat ia merasa senang. Tentu saja itu didasari oleh karena Mpu Nagalah yang mengakibatkan ia kehilangan Tulus. Ia juga senang ketika membayangkan betapa akan sedihnya Arum kehilangan ayahnya.

'Kapok..!' batinnya, merasa apa yang terjadi dengan Arum itu adalah balasan yang setimpal dengan apa ia rasakan ketika kehilangan orang yang dicintainya. 'Gara-gara kamu aku sangat menderita sampai detik ini! Rasakan karmanya! Orang yang teraniaya doanya pasti akan dikabulkan!'

Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang aneh. Seketika itu juga timbul hawa panas dari pusarnya, hawa panas yang naik ke atas dan membuat kepalanya pening seperti kekurangan darah.

Pada dasarnya Ajeng adalah seorang gadis yang baik, yang sama sekali bersih, dan pada dasarnya dia memiliki warisan kekuatan batin. Maka begitu ada kekuatan sihir yang amat kuat, dan biar pun ia belum tahu bahwa ada serangan, namun secara otomatis kekuatan hatinya telah menghasilkan hawa panas menolak kekuatan sangat jahat itu. Keringat mulai membutir di kening dan dahinya.

Cak Tulus, tahukah kamu bahwa kamu telah membuat hatiku hancur? batinnya nelangsa. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia benci laki-laki itu. Ia sangat benci keluarga Mpu Naga. 'Arum, kamu manusia yang tidak punya perasaan!'

Ia gagal memupus dendam. Itu membuat serangan sihir kembali datang dan mendobrak pertahanannya. Ia lalu menjatuhkan diri di atas ranjang dan kemudian terkulai pingsan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun