Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (41): Tiga Poros Kekuatan

7 Agustus 2024   08:12 Diperbarui: 7 Agustus 2024   08:14 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Nini Nawangsari adalah salah seorang dayang-dayang istana. Karena kecantikannya, ia kemudian diambil selir oleh seorang pangeran. Ketika suatu hari terjadi perebutan singgasana dan sang pangeran terbunuh, maka Nawangsari yang saat itu dalam keadaan hamil muda terpaksa pulang ke kampung halamannya di Jombang.

Di sebuah kampung yang jauh dari keramaian, seiring berjalannya waktu perut Nawangsari semakin membesar. Tentu saja ini merupakan aib bagi seorang perempuan yang hamil tanpa suami. Aib ini tidak mungkin lagi bisa disembunyikan. Gadis itu mengaku bahwa lelaki yang menghamilinya adalah seorang pangeran, tapi ia bersikukuh merahasiakan namanya.

Di kemudian hari Nawangsari dinikahi oleh seorang tuan tanah di kampungnya. Akhirnya ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat, seorang bayi keturunan darah biru yang kemudian diberi nama Tulus Pangestu. Ketika Tulus baru akan menginjak umur dua tahun, Nawangsari kembali melahirkan seorang anak laki-laki.

Sejak kelahiran sang adik tiri, Tulus merasa bahwa perhatian orang tuannya hanya tercurahkan kepada adiknya. Di usia yang masih butuh banyak kasih sayang dan perhatian, ia dipaksa harus memahami keadaan bahwa ia bukanlah sesuatu yang berharga lagi di rumah. Dua tahun kemudian lahirlah adik tirinya yang kedua. Maka lengkaplah sudah kekalahannya untuk bisa bersaing memperoleh kasih sayang dan perhatian dari orang tua. Anak kecil itu kemudian belajar untuk menerima kenyataan hidup dengan tabah. Ia tidak pernah rewel dan tidak banyak menuntut. Tidak salah jika ia memiliki nama Tulus.

Rumah ayah tirinya yang besar berada di tengah-tengah hamparan sawah yang luas. Rumah-rumah warga masih jarang di daerah itu, dan kalau pun ada, jaraknya saling berjauhan. Kondisi itu membuat Tulus sering bermain hingga jauh dari rumah. Kadang ia sampai lupa makan dan lupa waktu.

Suatu hari ketika pulang dari bermain, Tulus mendengar suara ribut dari halaman rumah. Sunyoto, ayah tirinya, ternyata sedang melatih silat adik-adiknya.

"Ayo maju, tunjukkan pukulanmu?" perintah Sunyoto.

Tulus hanya diam meperhatikan saudara-saudaranya yang sedang berlatih silat. Keinginannya untuk belajar bela diri pun timbul, tapi ia tidak ingin belajar dari ayah tirinya. Maka suatu hari ia meminta izin kepada ibunya.

"Bu, saya minta izin untuk belajar silat!" kata Tulus.  Ia mendengar di daerah kota terdapat seseorang yang terkenal sakti mandraguna, namanya Mpu Naga Neraka. Ia ingin menimba ilmu darinya.

"Bukankah kamu bisa belajar sama ayah! Untuk apa belajar silat jauh-jauh?" tanya Nawangsari.

Tulus yang saat itu sudah menginjak usia sepuluh tahun, tanpa sepengetahuan keluarganya, akhirnya nekad belajar ke Padepokan Benteng Naga.

"Ayo Cak, kita adu silat!" kata adiknya, seperti biasanya ketika ia ingin mempraktekan jurus baru dari ayahnya.

Tulus lalu menuruti ajakan adiknya untuk bermain silat. Adiknya segera mengirim serangan cepat dan ternyata jurus barunya itu gagal menjatuhkan Tulus. Setelah berkai-kali gagal dan bahkan sebaliknya, adiknya itu sendiri yang justru terpelanting dan tersungkur ke tanah. Sambil menangis adiknya melapor ke ayahnya.

Sunyoto tidak terima anaknya yang sudah digembleng silat secara khusus itu bisa dikalahkan oleh Tulus yang tidak pernah belajar silat. Di keluarga itu belum ada yang tahu bahwa Tulus adalah salah seorang murid Perguruan Benteng Naga. Ia membayar iuran padepokan dengan cara bekerja membantu menyiapkan kayu sebagai bahan bakar untuk menempa logam buat senjata pusaka.

"Coba tunjukan bagaimana tadi kamu menyerang!" perintah Sunyoto kepada adiknya dan Tulus harus menerima sebagai bahan latihan.

Adiknya kemudian mengambil ancang-ancang dan Tulus berdiri siap menerima serangan. Pukulan adiknya meluncur cepat, sementara Tulus diam tak bergerak. Serangan itu mengenai dada dan Tulus terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dadanya yang sakit.

"Nah begitu caranya!" seru Sunyoto dengan nada riang.

Tulus menyeringai menahan perih, sementara wajah adiknya terlihat puas dan terselip senyum penuh kemenangan. Adik tirinya yang pertumbuhan tubuhnya lebih cepat dibanding dirinya itu, yang lebih tinggi dan lebih besar itu, bernama Topo Surantanu.

***

Kampung yang hening. Mula-mula dibangunkan oleh kokok ayam jantan yang panjang dan nyaring sekali. Kokok yang lantas terdengar susul-menyusul dari berbagai penjuru, menggugah sebagian penduduk yang sembunyi di bawah selimut hangat mereka. Kini dimulailah aktifitas kehidupan di setiap rumah. Tulus membangunkan anak-anak yang masih tidur pulas di teras langgar. Di dalam, seperti biasanya, sudah ada Cak Japa dan Mbah Kucing yang sedang wiridan setelah shalat malam.

Tulus telah berperan besar melambungkan nama Padepokan Benteng Naga di dunia persilatan. Tentu saja karena ia mampu menaklukan pendekar-pendekar papan atas yang selama ini sangat ditakuti. Ia kini menjadi sumber inspirasi dan idola baru bagi pesilat-pesilat muda, terutama di kampung halamannya. Mereka yang seiman kemudian mencoba meniru kebiasaan-kebiasaan pemuda sederhana itu, salah satunya rajin berjamaah di langgar.

Terdengar kumandang subuh yang dilantunkan dengan merdu oleh Cak Woto. Tidak berselang lama jamaah mulai berdatangan. Sebagian dari mereka ada yang datang dari jauh, yakni murid-murid Padepokan Benteng Naga dan murid-murid Padepokan Jari Suci, yang menempuh perjalanan lebih dari tiga kilometer. Kini ada istilah tiga poros kekuatan yang mulai populer, Padepokan Benteng Naga, Padepokan Jari Suci, dan Langgar Al Akbar.

***

Ki Demang Wiryo Kertosastro membangun Padepokan Macan Kumbang yang masih satu halaman dengan rumahnya dengan arsitektur yang megah dan mewah. Tempat itu dikelilingi pagar tembok setinggi tiga meter yang kokoh seperti markas tentara. Ia ingin segera melihat padepokannya itu menjadi perguruan silat yang paling kuat, terkenal, dan banyak muridnya.

Sebagai pelindung dan penasehat perguruan, yang sebetulnya lebih tepat disebut sebagai pemilik perguruan, dia membuka penerimaan murid baru secara besar-besaran. Anggota baru diterima dari golongan mana pun. Syaratnya hanya satu, bahwa mereka harus bersumpah setia sampai mati kepada perguruan.

Ia berharap perguruannya kelak, dengan kekuatan dan jumlah besar anggotanya, bisa memberikan pengaruh kepada kalangan bangsawan istana. Memang, perguruan silat itu adalah kendaraan yang diharapkan bisa mengantarkannya menduduki sebuah jabatan di istana. Paling tidak untuk anak-anaknya. Ia memiliki ambisi besar dan siap mengejar kemuliaan dan kebesaran dengan segala cara.

Semua impiannya itu kemudian seakan-akan kandas di tahap awal, manakala Pendekar Jeliteng Macan Kumbang yang menjadi jagoannya dihajar hingga babak belur oleh seorang pemuda tidak terkenal. Ia masih belum bebas dari ancaman musuh besar Si Nenek siluman, kini harus memikirkan ancaman baru dari perguruan saingannya.

Pagi itu ia didampingi Pendekar Celurit Setan, melihat kondisi Pendekar Jeliteng di padepokan. Tabib Ki Dewo sedang mengobati kedua pendekar itu.

"Untungnya mereka memiliki 'Ajian Inti Besi', sehingga pukulan tenaga dalam yang sangat kuat itu tidak sampai membahayakan jiwa!" Tabib itu kemudian menceritakan kondisi Pendekar Golok Dewa, seorang kepala keamanan Tumenggung Legowo, "Golok Dewa masih belum bisa bangun. Semua organ di dalam perutnya berubah posisi dan terluka parah! Sebelum bertarung rupanya ia makan banyak sekali. Lambung yang penuh berisi makanan itu keluar bersama darah. Kemungkinan jiwanya bisa tertolong sangat kecil!"

"Keparat! Pemuda itu benar-benar berilmu tinggi!" dengus kedua Pendekar Jeliteng nyaris bersamaan.

Ki Demang tidak henti-hentinya berpikir bagaimana caranya mengumpulkan pendekar-pendekar besar yang mau menjadi kaki tangannya, karena tanpa itu rasanya sulit untuk mewujudkan cita-citanya. Ia berpikir Pendekar Jeliteng sudah tidak bisa diharapkan lagi, sudah tidak berguna lagi.

Kekalahan Pendekar Macan Kumbang itu sangat memalukan perguruan, dan membawa dampak terhadap jatuhnya mental bagi para anggotanya. Beberapa murid bahkan menyatakan keluar dan pindah ke Perguruan Benteng Naga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun